Analisis Putusan Kasus Hadhanah

Bio Data Penulis Hj. Harijah Damis, lahir di Suli Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan tanggal 7 Oktober 1962. NIP: 19621231198903201, Pangkat,Gol/Ruang: Pembina Utama Muda/ IV/c. Pendidikan: S-1 Fakultas Syariah IAIN AlAUDDIN Makassar jurusan Tafsir Hadis tahun 1987, S-2 Fakultas Hukum UMI Makasar juruan Hukum Perdata tahun 2000 dan S-3 Fakultas Syariah UIN ALAUDDIN Makassar jurusan Hukum Islam tahun 2012. Pengalaman Kerja: Diangkat sebagai calon hakim pada PA. Enrekang pada Maret 1989, dilantik sebagai hakim pada PA. yang sama pada bulan Maret 1992, diamanahkan sebagai wakil ketua pada PA. Palopo kls II pada Maret 2004, bulan Juni 2008 dilantik sebagai ketua PA. Sidrap Kls II, diamanahkan sebagai ketua PA. Sengkang pada awal tahun 2012 dan dipromosi mejadi wakil Ketua PA. Makassa Kelas I A Sepetember 2013
. Karya tulis buku adalah: Menguak Hak-Hak wanita, terbit 2007. Meredam Prahara Melawan Perceraian, terbit 2009 dan Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai, terbit 2013. Berbagai tulisan yang termuat pada harian Palopo Pos, Mimbar Hukum dan di web site. Berbagai Diklat yang telah diikuti antara lain: Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Pengadilan Bagi Pimpinan Pengadilan Tingkat pertama 4 Lingkungan Peradilan se Indonesia kerjasama MARI dan AIPJT. tahun 2010. Pelatihan BINTEK Kompetensi Ketua Pengadilan TK I Lingkungan Peradilan Agama oleh MARI. tahun 2011. Pelatihan manajemen Ketua sewilayah PTA. Makassar oleh PTA. Makassar 9-10 Juli 2012 dan Sertifikasi Ekonomo Syariah oleh MARI. Tahun 2014.

 HAK HADHANAH ANAK PASCA PERCERAIAN PERSPEKTTIF PERLINDUNGAN ANAK (Analisis Putusan Nomor 1518/Pdt.G/2014/PA. Mks)
 CHILDREN’S HADHANAH RIGHTS AFTER DIVORCE IN CHILDREN PROTECTION PERSPECTIVE (An Analysis Of Decision Number 1518/Pdt.G/2014/PA. Mks) 
 Hj. Harijah Damis Pengadilan Agama Kelas I A Makassar Jln. Perintis Kemerdekaan KM 16 Daya Makassar 90243 Email: harijahdamis@gmail.com
 ABSTRACT
 Children’s with 12 years old hadhanah rights (yet mumayyis) is his/her mother rights as long as the condition met. If the mother died, hadhanah rights turn to women who have vertical bloodline with the mother, and next will be the father. For above 12 years old children, hadhanah rights based on the children discretion. Childrens are our human resource, hope in the nation, and the next generation who will continue our hope and struggle as a nation. Thats why, childrens hold a strategic role in sustaining and developing a nation. In line with that, childrens needs to get enough attention and protection in order to grow as a good citizen as it’s also their basic rights. Children needs their parent utmost attention. Children need love and affection from both parents as people need food to survive. Children soul is fragile and easy to influence. children is an adult minature who do not yet have their own identity. Because of that, love and affection from their parent have a strong influence in their growth. They need a real action of love from their parent. They need to be caressed, gaze at, hugged, and kissed for the interest and protection for the children so they can grow to be a wonderful and goodhearted children. Hadhanah right is a collective right for the father and the mother especially for children under 12 years old to get utmost affection from the parent. Keyword: Children, hadhanah and protection right 
 HAK HADHANAH ANAK PASCA PERCERAIAN PERSPEKTTIF PERLINDUNGAN ANAK (Analisis Putusan Nomor 1518/Pdt.G/2014/PA. Mks)
 ABSTRAK 
Hak hadhanah anak di bawah umur 12 tahun (belum mumayyis) adalah hak ibunya sepanjang memenuhi syarat. Apabila ibunya meninggal dunia, hak hadhanah beralih menjadi hak wanita dari gari lurus ke atas dari ibu, dan diurutan selanjutnya adalah hak ayahnya. Bagi anak yang berusia di atas 12 tahun, hak hadhanah berdasarkan pilihan si anak. Anak merupakan sumber daya manusia, tunas bangsa dan sebagai generasi penerus cita-cita dan perjuangan suatu bangsa. Itulah sebabnya, anak memegang peranan strategi dalam keberlangsungan dan eksistensi suatu bangsa, sehinga sepatutlah apabila anak mendapat perhatian yang cukup dalam upaya memberikan perlindungan menyeluruh agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik sebagai hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Anak membutuhkan perhatian penuh dari orang tua (bapak ibunya) pada masa kanak-kanaknya karena mereka belum mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Anak memerlukan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Olehnya itu, cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sangat berpengaruh pada perkembangannya menuju manusia dewasa yang seutuhnya. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata. Anak dibelai dalam pangkuan kedua orang tuanya, ditatap, dipeluk dan dicium, sehingga demi kepentingan dan perlindungan anak semata agar dapat tumbuh menjadi anak yang baik, hak hadhanah menjadi hak bersama ayah dan ibu agar anak terutama usia di bawah 12 tahun mendapat kasih sayang seutuhnya dari ayah dan ibunya. . Kata Kunci: Anak, hak hadhanah dan perlindungan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dan hal itu merupakan dambaan setiap pasangan suami istri memasuki gerbang perkawinan. Kebahagian rumah tangga akan lebih lengkap dengan kehadiran anak sebagai pelanjut generasi. Namun demikian tidak semua rumah tangga berjalan sesuai yang didambahkan, bahkan terkadang sebuah rumah tangga harus berakhir dengan percerian suami istri. Perceraian menimbulkan masalah hukum, termasuk hak asuh anak. Perkara nomor 1518/Pdt.G/2014/PA. Mks diajukan oleh seorang mantan suami (penggugat), terhadap mantan istrinya (tergugat) dengan gugatan hak hadhanah terhadap seorang anak yang berusia satu tahun lebih karena sejak terjadi perceraian, penggugat tidak pernah bertemu dengan anaknya karena selalu di halang-halangi oleh tergugat dan keluarganya, bahkan pemberian penggugat yang merupakan biaya hidup ditolak oleh tergugat. Penggugat berupaya bertemu dengan anaknya dengan melibatkan cara pejabat setempat (Lurah) sebagai mediator tetap tidak membuahkan hasil, justru penggugat harus berhadapan dengan adik tergugat yang saat itu adik tergugat memukul penggugat dan saat ini adik tergugat telah ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1 Makassar. Majelis hakim memutuskan hak hadhanah sebagai hak bersama antara penggugat dan tergugat, meskipun waktu kebersamaan tergugat selaku ibu lebih lama, yakni 5 hari dan waktu kebersamaan bagi penggugat selaku ayah hanya 2 hari (weekend). Salah satu pertimbangan majelis hakim yang sangat menarik adalah mengesampingkan pasal 105 dan 156 INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sehingga permasalahan-permasalahan yang akan dikaji adalah dasar pertimbangan putusan majelis hakim dan hak perlindungan hukum bagi anak secara komperehensip demi kepentingan tumbuh kembangnya anak menjadi anak yang baik. Hak perlindungan hukum bagi anak, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat telah mendapat perhatian yang di atur dalam berbagai aturan dan regulasinya. Di Indonesia, terdapat beberapa aturan hukum yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan-pemasalahan terkait dengan anak-anak. Kasus-kasus yang banyak mencuat kepermukaan dan telah mendapat penanganan dari berbagai kalangan, antara lain: Pelecehan sexual, trafiking dan masalah kependudukan atau hak identitas hukum. Dalam hal masalah kependudukan, hak identitas anak seperti akta kelahiran telah tertangani dengan baik, dan salah satu bentuk layanannya adalah pelayanan terpadu. Layanan terpadu adalah pelayanan yang waktu dan tempatnya dikoordinasikan sedemikian rupa antara PA, KUA dan Disdukcapil sehingga masyarakat dapat memperoleh dokumen identitas hukum dengan mudah, cepat dan jika dimungkinkan tanpa biaya. (Kementerian Dalam Negeri RI., 2014, p. 5). Meskipun demikian, akses layanan hak identitas hukum dan masalah-masalah anak yang lain, belum seluruhnya menyentuh anak-anak Indonesia. Perhatian khusus terhadap perlindungan demi kepentingan tumbuh kembangnya anak menjadi anak yang baik sangat penting, mengingat anak merupakan bagian tunas bangsa dan generasi penerus yang memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup suatu bangsa. Anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan dan merupakan generasi penentu bagi suatu bangsa, sehingga sudah sepatutnyalah mendapat perlindungan hukum seutuhnya, baik dari segi pisik maupun psikis (jasmani dan rohani), agar anak dapat tumbuh menjadi generasi pelanjut yang berkualitas (generasi yang baik). Kondisi-kondisi yang dibutuhkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah: 1). Lingkungan yang bahagia dan sejahtera. Yang dimaksud adalah sepasang ayah ibu hidup rukun, bahagia dan sejahtera (harmonis), menjadi pelindung dan pembimbing anak, yang memberikan kasih sayang dan dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup kuat serta terciptanya manusia yang baik. 2). Pangan. Pangan harus cukup kualitas dan kuantitasnya, sebab kekurangan dalam bidang ini akan menghambat tumbuh kembangnya anak. 3). Perumahan. Rumah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, halaman rumah yang cukup luas untuk ruang gerak yang bebas mengingat anak sangat aktif. (Suherman, 2000, p. 11). Terwujud lingkungan yang bahagia dan sejahtera merupakan salah satu point penting menopang tumbuh kembangnya anak menjadi anak yang baik (berkualitas). Untuk mewujudkan lingkungan yang harmonis (bahagia) bagi anak, adalah adanya kasih sayang orang tua (ibu dan bapaknya) terhadap anaknya dalam tindakan yang nyata. Sayangnya, kondisi tersebut pada umumnya dapat terwujud bagi pasangan suami istri yang rukun, sehingga bagi pasangan yang tidak rukun apalagi terjadi perceraian akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi anak. Di Indonesia, perceraian semakin meningkat, berarti semakin meningkatnya jumlah yang anak secara psikologis menderita dan bermasalah, pada gilirannya akan berpengaruh pada kualitas generasi. Kondisi seperti itu, perlu penangan serius untuk memberikan solusi. Sepanjang pengamatan penulis, sampai saat ini hal tersebut belum mendapat perhatian apalagi perlindungan seperti halnya apabila terjadi masalah-masalah anak yang cenderung kepada masalah populer di masyarakat saat ini seperti Pelecehan sexual, trafiking, masalah kependudukan dan lain sebagainya. Bagi anak-anak yang korban perceraian ibu bapaknya, perlu perlindungan oleh lembaga untuk melakukan pendampingan. Anak, terutama anak-anak balita membutuhkan perhatian penuh dari orang tua (bapak ibunya) pada masa kanak-kanaknya karena mereka belum mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Anak memerlukan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Olehnya itu, cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sangat berpengaruh pada perkembangannya menuju manusia dewasa yang seutuhnya. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata. Anak dibelai dalam pangkuan kedua orang tuanya, ditatap, dipeluk dan dicium. (Harijah Damis, 2009, p. 81). Dari sudut pandang psikologis, juga dibuktikan bahwa anak menerima cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya, selama masa pertumbuhannya, ternyata lebih cerdas dan lebih sehat ketimbang anak yang tumbuh di asrama dimana ia jauh dan terpisah dari orang tuanya. (Ibrahim Amini, 2006, p. 134.) Apabila perceraian terjadi, kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya tidak lagi utuh dari kedua orang tuanya, sehingga anak berpotensi berprilaku menyimpang. Oleh sebab itu, diperlukan suatu upaya agar anak tetap mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya (bapak ibunya) pasca perceraian. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hak hadhanah bagi anak korban perceraian ? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi anak korban perceraian ? B. Tujuan Dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan hak hadhanah pada perkara nomor 1518/Pdt.G/2014/PA. Mks. b. Untuk mengalisis hak perlindungan hukum bagi anak korban perceraian agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkualitas (baik). 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi masyarakat dalam hal: a. Kegunaan Praktis Sebagai masukan bagi masyarakat secara umum dalam upaya penanganan masalah anak korban perceraian orangtuanya b. Kegunaan teoritis 1). Dapat memberi masukan dan sekaligus sebagai yurisprudensi bagi para praktisi hukum dalam menyelesaikan perkara hah hadhanah. 2). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran hukum atau ilmu pengetahuan hukum serta masukan bagi eksekutif dan legislatif dalam merumuskan atau merubah peraturan-peraturan yang mengatur tentang perkawinan. 3). Sebagai bahan perbandingan dalam penanganan perkara yang sama. E. Studi Pustaka 1. Hak Perlindungan Anak. Anak merupakan sumber daya manusia, tunas bangsa dan sebagai generasi penerus cita-cita dan perjuangan suatu bangsa. Itulah sebabnya, anak memegang peranan strategi dalam keberlangsungan dan eksistensi suatu bangsa, sehinga sepatutlah apabila anak mendapat perhatian yang cukup dalam upaya memberikan perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik sebagai hak Asasi Manusia yang melekat pada dirinya. Allah swt. mengingatkan dalam QS. Al-nisa/4: 9 sebagai berikut: •               
 Terjemahnya:
 Dan hendaklah kamu takut kepada Allah orang-oramg yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.  Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah an hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. 
       Ensensi ayat di atas antara lain: (1). Setiap orang tua hendaknya merasa khawatir jika meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah. (2). Mewujudkan generasi berkualitas merupakan tanggung jawab orang tua. (3). Bekal yang paling utama disediakan pada generasi muda adalah taqwa dan pendidikan. (http://saifuddinnas.com/2012, akes 6 Januari 2015) Dari esensi ayat tersebut dipahami bahwa para orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya untuk menjadi generasi yang berkualitas. Hal itu berarti bahwa pada diri setiap anak melekat hak untuk dilindungi sebagai jaminan untuk tumbuh kembangnnya menjadi generasi yang berkualitas dan sebagai manusia yang bermartabat. Hak perlindungan anak yang melekat pada diri setiap anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari HAM (human rights). Hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap orang termasuk anak dijelaskan pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi anak dijabarkan pada Konvensi Hak-Hak Anak di Jenewa (Convention On The Right of The Child) adalah: 
1. Setiap anak berhak mendapat jaminan perlindungan dan perawatan yang dibutuhkan untuk kesejahteraan anak.
 2. Setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup.
 3. Negara menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan anak. 
4. Bagi anak yang terpisah dari orangtuanya, berhak mempertahankan hubungan pribadi dan kontak langsung secara tetap.
 5. Setiap anak berhak mengembangkan diri, menyatakan pendapatnya secara bebas, kemerdekaan berpikir dan beragama.
 6. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, perlakuan salah, termasuk penyalahgunaan seksual.
 7. Setiap anak berhak mendapat pelayanan kesehatan, perawatan dan pemulihan kesehatan, dengan sarana yang sebaik-baiknya. 
8. Setiap anak berhak mendapat pendidikan dasar secara Cuma-cuma, yang dilanjutkan pendidikan menengah, umum, kejuruan, pendidikan tinggi sesuai sarana dan kemampuan. 
9. Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, perlindungan atau perawatan kesehatan rohani dan jasmani secara berkala dan semaksimal mungkin. 
10. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam rekreasi yang sesuai dengan usia anak, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang telah merativiasi konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 dengan Keputusan Presiden nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. 
        Selanjutnya bahwa hak perlindungan anak diatur dalam berbagai aturan sebagai berikut:
 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 
 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakat Anak.
 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak 
 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak 
 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdaganga Orang.        Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak pada pokoknya mengatur tentang: 
1. Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat ekmanusian dan mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
 2. Hak atas sebuah nama sebagai identitas diri dan status kerwarganegaraan.
 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan bereks[resi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.
 4. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh oraang tuanya sendiri.
 5. Apabila karena sesuatu hal orang tuanya tidak bisa mengasuh sendiri, anak tersebut berhak diasuh dan diangkat oleh orang lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
 6. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan pengajaran. 
7. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
 8. Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya.
 9.Hak untuk istirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai minat dan bakatnya. 
2. Kewajiban Orang Tua terhadap anak.
            Salah satu tujuan disyariatkan perkawinan adalah untuk mendapatkan anak sebagai pelanjut generasi akan datang. (Amir Syarifuddin, 2005, p. 80.) Anak merupakan amanah dan titipan Alah swt. kepada kedua orang tuanya (ayah dan ibunya). Allah swt. berfirman dalam Q.S at tahrim/66: 6 sebagai berikut:         ••               
 Terjemahnya:
 Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai (perintah) Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
        Ayat tersebut memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memelihara diri dan keluarganya dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama. Ancaman atau balasan bagi yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama adalah neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Keluarga terbagi kepada dua macam, keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti terdiri dari suami, istri dan anak. (Mahkamag Agung RI., 2012, p. 114.) Anak-anak yang telah dilahirkan termasuk dari keluarga inti. Itulah sebabnya, orang tua berkewajiban untuk memelihara, mendidik dan membina anak-anaknya dengan benar. Kewajiban orang tua terhadap anaknya bukan hanya mencarikan nafkah dan memberinya pakaian, atau kesenangan-kesenangan yang sifatnya duniawi, tetapi orang tua juga harus mengarahkan anak-anaknya untuk mengerti kebenaran, mendidik akhlaqnya. Anak merupakan titipan Allah swt. kepada kedua orang tuanya (ayah dan ibu). Anak merupakan sumber dayamanusia, sebagai tunas bangsa dan sebagai generasi penerus cita-cita dan perjuangan suatu bangsa, sehingga menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya menjadikan anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang kuat. Allah swt berfirman dalam QS. Al-nisa/4: 9 sebagai berikut:
 •                 
Terjemahnya:
 Dan hendaklah kamu takut kepada Allah orang-oramg yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah an hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
            Salah satu esensi ayat tersebut adalah agar para orang tua mendidik dan membina anak-anaknya menjadi generasi yang berkualitas. Kehawatiran untuk meninggalkan anak dalam keadaan lemah tidak saja diahami dari segi ekonomi, iman dan ilmu, namun harus dipahami bagi para prang tua untuk tidak meninggalkan anak-anak dalam keadaan lemah secara menyeluruh, yakni lemah fisik, rohani, ekonomi, intelektual, iman dll agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada tataran perundang-undangan di Indonesia, kewajiban orang tua terhadap anak di atur pada: Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut: a. Baik ibu atau pun ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya terebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Garis hukum yang yang terkadung pada pasal tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab pemeliharan yang mengandung nilai materil dan tanggung jawab mengandung nilai non materil atau yang mengandung nilai kasih sayang. (Zainuddin Ali, 2012, p. 67.) Selanjutnya diatur pula pada pasal 77 ayat (3) INPRES Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut: (1). Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. (2). Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Berdasarkan pasal tersebut, orang tua (ayah dan ibu) mengembang tanggung jawab untuk mengasuh dan memelihara anak-anaknya dengan baik dari segi jasmani dan rohani serta pendidikan dan kecerdasannya agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, dan salah satu kondisi yang menunjang adalah terwujudnya rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagai pilar dari tatanan masyarakat. Keluarga adalah salah satu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat. Dalam mewujudkan kesejahteraan mayarakat, sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagian keluarga. (Titik Triwulan Tutik, 2010, p. 105) Selanjutnya, dari ketentuan dua pasal tersebut, dipahamai bahwa ada keterkaitan antara kewajiban suami istri untuk mewujudkan rumah tangga harmonis (sakinah, mawaddah dan rahmah) dengan kewajiban suami istri mengasuh daan memelihara anak-anaknya. Salah satu kondisi yang menopang tumbuh kembangnya anak menjadi anak yang baik dan berkualitas berawal dari rumah tangga yang harmonis, penuh dengan kasih sayang. Kasih sayang yang tercipta antara suami dan istri serta kasih sayang ayah dan ibu terhadap anak-anaknya. Selanjutnya, apabila terjadi perceraian dan pasangan suami istri mempunyai anak, baik ibu maupun bapaknya sama-sama memiliki kewajiban untuk membesarkan, memelihara, memberi nafkah dan mendidik anak-anak mereka, bukan saja karena mereka pernah memiliki ikatan perkawinan, tapi hal itu semata-mata dilakukan demi kepentingan anak. (http://seputaribudan bayi.blogspot.com/201209/, akses 16 Februari 2015) 
3. Hak Hadhanah Pasca Perceraian Dan Dampak Perceraian bagi Anak.
 A. Hak Hadhanah Pasca Perceraian.
         Hadhanah adalah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya. (Mahkamah Agung RI, 2000, p. 3) Menurut As-Shan’ani, pemeliharan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikan termasuk pemeliharaan dari segala sesuatu yang membahayakan jiwanya. (As-Shan’ani, 1992, p. 819). Hadhanah merupakan tugas mengasuh, menjaga dan mendidik anak. Seorang anak sejak dilahirkan ke dunia sampai batas umur tertentu memerlukan orang lain untuk mengasuhnya hingga tumbuh menjadi seseoarang yang sehat secara pisik dan dapat mandiri, memerlukan pendidikan untuk pembentukan watak dan kepribadiannya, dan pemegang hadhanahlah yang dominan menentukan hal tersebut. (Harijah Damis, 2008, p. 61). 
      Tugas hadhanah menjadi tanggung jawab ayah dan ibu. Jalinan kerjasama ayah dan ibu dalam mengasuh, menjaga dan mendidik anak-anaknya dapat terwujud tanpa menimbulkan kendala-kendala selama masih terikat dalam perkawinan yang harmonis. Apabila terjadi perceraian hak hadhanah diatur pada:
 1. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadihan memberi keputusannya. b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
 2. Pasal 105 INPRES Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam: a. “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur dua belas tahun adalah hak ibunya dan anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan ibunya digantikan oleh ayah tersebut” b. “pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”.
 3. Pasal 156 INPRES Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam: a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu 2. Ayah 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara-saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ibu. 6. Wanita-wanita sedarah menurut garis samping ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hak hadhanah dari ayah atau ibunya.; c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan Agamadapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lainnya yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sam[ai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b) dan (c); f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya
 B. Dampak Perceraian Bagi Anak.
            Secara global, trend perceraian cenderung meningkat dari tahun ketahun. Di Amerika Serikat, 43 % dari pernikahan pertama berakhir dengan perceraian. Sekitar 60 % dari pernikahan kedua menderita nasib yang sama. Bandingkan itu dengan tahun 1952, ketika hanya 1 dari 250 pernikahan atau 0,4 %, yang berakhir dengan perceraian. (Gary & Barbara Rosberg, 2014, p. 19). Trend meningkatnya jumlah perceraian juga terjadi di Indonesia. 
         Salah indikator meningkatnya angka perceraian di Indonesia adalah rapuhnya nilai-nilai sakralitas perkawinan. Tingginya angka perceraian yang terjadi dalam masyarakat dengan alasan-alasaan yang melatarbelakangi terjadinya perceraian tidak lagi sekedar solusi untuk mengakhiri komplik dalam rumah tangga, tetapi sudah menjadi tragedi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Pemikiran itu dilatar bekangi, antra lain:
 1. Perceraian meningkat akan menimbulkan persoalan bagi anak-anak bangsa. Biasanya perceraian terjadi bagi pasangan suami istri yang telah melahirkan 1 sampai 3 orang anak, bahkan ada pasangan suami istri yang telah dikarunia 6 sampai 7 orang anak. Hal itu akan menimbulkan permasalahan besar bagi pemenuhan kebutuhan dasar anak, menyangkut kebutuhan nafkah, pendidikan, figure yang dapat diteladani dalam rumah tangga, perlindungan dan pengawasan dari hal-hal negative.
 2. Perceraian juga menimbulkan dampak bagi pasangan suami istri (janda dan duda) terutama yang masih muda.
 3. Perceraian rentang menimbulkan konplik karena perebutan harta gonogini dan masalah-masalah yang terkait dengan gonogini, perebutan hak pemeliharaan anak dan lain sebagainya. (Harijah Damis, 2013 WWW.badilag.net.suara) Perceraian kini cenderung dianggap sebagai hal biasa menyebabkan indek perceraian khususnya di Indonesia semakin tinggi dari tahun ke tahun. Para orang tua yang bercerai cenderung melupakan bahwa ana-anak yang menjadi korban. Salah satu alasan perceraian adalah tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga atau terjadi pertengkaran terus menerus, bahkan perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama lebih dominan karena alasan pertengkaran. Di tahun 2012 misalnya, perceraian terjadi karena pertengkaran suami istri sebanyak 91.388 (Mahkamag Agung RI., 2013, p. 453) dan pertengkaran yang dilakukan berulang-ulang di depan anak-anak tanpa memperhatikan etika interaksi suami istri akan berpengaruh negatif terhadap kondisi kesehatan jiwa anak. Anak-anak hidup dalam kegelisaan dan ketegangan, sehingga bagi anak yang usia sekolah tidak dapat menyerap pelajaran dan tidak mampu melakukan kewajibannya, bahkan dapat menyebabkan gagal dalam belajar. (Adil Fathi Abdullah, 2005, p. 229). 
        Dampak menyeluruh pada anak-anak ketika kedua orang tuanya tidak dapat menjalin hubungan yang harmonis atau terjadi perselisihan terus menerus antara lain:
 1. Anak mulai menderita kecemasan dan ketakutan. 
 2. Anak merasa terjepit di tengah-tengah. Karena dalam hal ini anak sulit sekali memilih papa atau mama.
 3. Anak sering kali mempunyai rasa bersalah. 4. Kalau kedua orang tuanya bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci salah satu orang tuanya. (http//www.facebook.com ahmadridwanhypnotherapy, akses tanggal 15 Februari 2015). Apabila pertengkaran suami istri berlanjut dan harus berakhir dengan perceraian, situasi itu menjadi situasi kritis bagi anak, terutama terkait hubungan salah satu dari kedua orang tua yang tidak tinggal bersama dengan anaknya. Berbagai hal negatif berkecamuk di dalam bathin anak-anak. Pada kondisi itu, anak diperhadapkan dengan perubahan hidupnya yang baru. Kondisi-kondisi itu menyebabkan anak mengalami hal-hal sebagai berikut: - Merasa tidak aman dan nyaman. - Anak merasa tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuannya yang pergi. - Marah Sedih dan kesepian, kehilangan, merasa sendiri, menyalahkan diri sendiri. - Sulit untuk memilih salah satu dari ayah atau ibunya. - Anak kehilangan panutan dalam hidupnya. Hal-hal yang dialami anak pada masa perceraian orang tuanya akan berakibat pada masa dewasa, seperti takut gagal atau takut menjalin hubungan dengan orang lain. Para orang tua terkadang melupakan bahwa perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan suami istri, tetapi anak-anak sebagai buah cinta kasih pasangan dan merupakan amanah Allah swt. kepada para orang tua untuk dipelihara dengan kasih sayang, akan terkena dampaknya, terutama bagi anak-anak usia balita yang masih membutuhkan kasih sayang dan sangat tergantung dengan orang tuanya. Kondisi seperti itu, disadari ataupun tidak akan mempengaruhi kepribadian anak. Rasa aman, nyaman dan kehangatan keluarga yang menjadi kebutuhan dasar anak dan apabila tidak didapatkan akan begitu berpengaruh dalam kehidupannya baik semasa anak-anak maupun setelah dewasa. Anak sangat memerlukan cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Anak sangat butuh cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya dalam pembentukan jati diri dan indentitas diri. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata. Terkadang, perceraian merupakan satu-satunya solusi terbaik mengakhiri komplik suami istri, namun tetap berakibat pada anak, baik secara psikologis maupun secara fisik. Banyak pula kasus yang terjadi yaitu ketika anak bermasalah di sekolah, tak dapat dikontrol dan tak mau menurut ternyata setelah ditelaah lebih lanjut ada permasalahan pada latar belakang keluarganya. 
        Biasanya kasus perceraian ini juga merupakan contoh kasus yang banyak ditemukan di kalangan masyarakat. Apa yang dapat mengakibatkan anak – anak itu menjadi begitu bermasalah ? Jawabannya adalah keegoisan para orang tua yang sibuk sendiri, memikirkan masalah pribadinya, lupa bahwa ada anak – anak yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa disadari anak – anak tersebut menjadi terbengkalai, kurang dipedulikan oleh mereka sehingga mereka menjadi lepas control dan suka mencari perhatian dengan cara – cara yang salah. (Edukasi, Kompasiana.com/2014/02/24, akses 16 Februari 2015). Anak, terutama untuk anak usia dini ataupun yang masih remaja memerlukan perhatian dan kasih sayang lebih oleh orang tuanya. Semua tingkah laku dan kepribadian anak bisa jadi dia teladani dari orang tua sebagai sosok yang paling dekat dengannya. Sosok yang menemaninya mulai sejak dia membuka mata dan menghirup udara segar dunia. Karena itu untuk para orang tua seharusnya bisa lebih bijaksana dalam bertutur kata, bertingkah laku ataupun mengambil keputusan. Kalaupun toh perceraian merupakan satu – satunya jalan yang harus ditempuh karena itu dianggap dapat membuat kehidupan menjadi lebih baik, perhatian kepada anak seharusnya tak boleh berkurang. Berikan perhatian besar sama halnya dengan perhatian yang diberikan ketika dia lahir, berikan pengertian secara jelas mengenai keputusan yang diambil dan alas an-alasan yang dapat dimengerti anak. Jangan sampai anak merasa terabaikan, tak nyaman dan merasa kehilangan keluarga yang merupakan lingkungan terdekatnya. Karena itu semua akan mempengaruhi kehidupan sang anak. Kondisi jiwa dan psikologis yang berdampak pada kepribadiannya ditentukan oleh bagaimana lingkungan di sekelilingnya. Semua itu hendaknya harus dipikirkan matang – matang oleh para orang tua. (Edukasi, Kompasiana.com/2014/02/24, akses 16 Februari 2015). 
          Akibat perceriaan yang tinggi, sesuatu yang tidak terlelakkan pula bahwa sebagai kobannya adalah istri. Janda-janda yang hidup dalam frustrasi, janda-janda yang harus hidup dengan beban memelihara dan membiayai anak sendiri pasca perceraian. Persoalan keluarga seperti ini sangat memungkinkan menjadi tragedi nasional karena dapat menjadi salah satu sumber kemiskinan, kebodohan dan pengangguran karena korbannya muda kehilangan semangat untuk menciptakan prestasi dan inovasi. (Harijah Damis, 2011, WWW.badilag.net.data/artikel/perceraian).
 II. METODE PENELITIAN 
1. Sumber Data 
      Sumber data yang diperlukan berasal dari bahan-bahan tertulis dan studi kasus, sehingga metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Karena kajian ini terkait dengan hak hadhanah pasca perceraian yang dasar hukumnya dari al-Qur’an, peraturan perundang-undangan yang terkait dan pendapat ahli, maka sumber utamanya untuk penelitian kepustakaan adalah al-Qur’an, peraturan-peraturan dan buku-buku yang relevan. Penelitian lapangan menggunakan studi kasus di Pengadilan Agama Makasar kelas I A. Data primernya adalah putusan perkara gugatan hak hadhanah nomor 1518/Pdt.G/2014/PA. Mks.
 2. Jenis Penelitian. Penelitian ini dikategorikan sebagai case study. Studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif di samping fenomologi, biografi dan etnografi. (Djam’an Satori & Aan Komarih, 2010, p. 22).           Penelitian ini adalah studi kasus tenang hak hadhanah anak pasca perceraian orang tuanya. Peneletian ini bertujuan untuk menggambarkan gejala sosial atau prilaku hukum masyarakat menyangkut hak hahanah anak pasca perceraian orang tuanya. Penelitian ini disebut penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang atau prilaku hukum yang diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada suatu penomena atau gejala sosial yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan suatu teori.
 3. Pendekatan Penelitian Pada hakekatnya hak hadhanah pasca perceraian ditetapkan berdasarkan kepentingan anak semata. Hal tersebut didasarkan pada penggalian makna yang terkandung dalam al-Qur’an dan peraturan perundang-undangan yang berkalu dengan mempertimbangkan berbagai aspek, sehingga pendekatan digunakan multidispliner. Pendekatan digunakan meliputi pendekatan sosiologi, dan normatif.
 4. Tehnik Pengumpulan Data a. Tehnik partisipasi adalah pengumpulan data dilakukan dengan keterlibatan langsung penulis terhadap obyek yang diteliti. Penulis terlibat langsung sebagai majelis hakim yang menangani perkara yang dianalisis/dikaji. b. Studi dokumen atau kepustakaan, yakni penelusuran dokumen atau kepustakaan.
 5. Pengolahan Data Dan Analisis Data Data pokok yang dihadapi dalam penelitian ini terdiri atas data kulitatif yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Teori-teori tentang hak hadhanah yang lebih banyak merupakan pendapat ulama dan juga tertuang dalam berbagai aturan yang berlaku. Dari hasil penelitian kepustakaan akan diperbandingkan dengan data yang diperoleh berdasarkan penelitian lapangan berupa putusan majelis hakim yang dianalisis, lalu dirumuskan rumusan baru tentang hak hadhanah bagi anak korban perceraian. Adapun metode analisis data adalah yang digunakan adalah content analiysis. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa data yang akan dianalisis bersifat deskriptif berupa pernyataan verbal yang dihimpun melalui kajian kepustakaan berupa ayat al-Qur’an, Peraturan perundang-undangan yang terkait serta teori hukum. Sedangkan dalam menafsirkan ayat dan peraturan terkait menggunakan beberapa interpretasi, yakni: a. Interpretasi tekstual adalah penafsiran ayat dan atau peraturan yang dikutip berdasarkan teks ayat atau suatu peraturan. b. Interpretasi liguistik adalah menafsirkan ayat yang dikutip dengan menggunakan kaidah bahasa arab. c. Interpretasi sosio historis adalah menafsirkan pasal peraturan-peraturan terkait dengan kasus tertentu.
 III. HASIL DAN PEMBAHASAN
 1. Kasus Posisi.
       Penggugat dan tergugat telah bercerai sebagai suami istri berdasarkan Akta Cerai Nomor: 0577/AC/2014/PA/Mks tanggal 24 April 2014 Masehi. Penggugat dan tergugat telah dikaruniai seorang anak perempuan, Lahir tanggal 07 Maret 2013, dan selama terjadi perceraian, anak tersebut berada dalam asuhan tergugat (mantan istri). Sejak terjadi perceraian, penggugat tidak pernah bertemu dengan anaknya karena selalu di halang-halangi oleh tergugat dan keluarganya, bahkan pemberian penggugat yang merupakan biaya hidup ditolak oleh tergugat. Penggugat berupaya bertemu dengan anaknya dengan melibatkan cara pejabat setempat (Lurah) sebagai mediator tetap tidak membuahkan hasil, justru penggugat harus berhadapan dengan adik tergugat yang saat itu adik tergugat memukul penggugat dan saat ini adik tergugat telah ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1 Makassar. Itulah sebabnya penggugat (mantan suami) mengajukan gugatan hadhanah dengan petitum: 1. Mengabulkan gugatan penggugat. 2. Menetapkan Hadhanah anak yang bernama Azzahra Abadi T jatuh pada penggugat. 3. Menghukum tergugat untuk menyerahkan anak yang bernama Azzahra Abadi T kepada penggugat. 4. Membebankan biaya perkara sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain dalam kaitannya dengan perkara ini mohon putusan yang seadil adilnya (ex aequo et bono). 
       Majelis hakim mempertimbangkan bahwa acuan yuridis untuk mendapatkan hak hadhanah didasarkan pasal 105 hurup (a) Jo. pasal 156 INPRES Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur dua belas tahun adalah hak ibunya dan anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan ibunya digantikan oleh ayah tersebut” Di samping itu, dipertimbangkan pula tentang fakta yang terungkap di persidangan, Azzahra Abadi T binti Yasir, Lahir tanggal 07 Maret 2013 (belum mencapai umur 12 tahun, selama dalam pemeliharaan tergugat tetap dalam kondisi sehat, terpelihara dan senantiasa terjaga dengan baik oleh tergugat dan anak tersebut masih dalam keadaan menyusui karena baru berumur kurang dari dua tahun serta berada dalam lingkungan keluarga tergugat yang taat beragama, sehingga secara yuridis tergugat berhak untuk mendapatkan hak hadhanah terhadap anak tersebut. Namun demikian, majelis hakim dalam putusannya memutuskan membagi hak asuh anak dengan amar putusannya: MENGADILI - Mengabulkan gugatan penggugat sebagian. - Menetapkan penggugat mendapat hak hadhanah terhadap anak yang bernama Azzahra Abadi T binti Yasir, lahir 07 Maret 2013 sekurang kurangnya 2 (dua) hari dalam sepekan sampai anak tersebut mumayyiz. 
Putusan majelis hakim tersebut didasari pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
 1. Bahwa penggugat tidak mendapat akses selama ini untuk bertemu dengan anaknya dan fakta tersebut sangat terkait dengan fakta lain bahwa adik tergugat diproses secara hukum dan telah ditahan di Rumah Tahanan Kelas 1A Makassar terkait dengan kedatangan penggugat ke rumah tergugat untuk bertemu anaknya dan tergugat melarang penggugat ke rumah orang tuanya untuk menghindari keributan, sehingga dapat disimpulkan akses pertemuan penggugat dengan anaknya sangat sulit. 
2. Bahwa tergugat telah memfasilatasi pertemuan penggugat dengan anaknya di dua tempat selain rumah kediaman tergugat akan berdampak negatif terhadap perkembangan psikolgis anak apabila hal itu berlanjut terus menerus, karena pertemuan ditempat khusus dengan pembatasan waktu dengan kehadiraan pihak lain menjadikan pertemuan yang tidak nyaman.
 3. Bahwa meskipun kondisi Azzahra Abadi T binti Yasir selama dalam pemeliharaan tergugat tetap dalam kondisi sehat, terpelihara dan senantiasa terjaga dengan baik oleh tergugat dan anak tersebut masih dalam keadaan menyusui karena baru berumur kurang dari dua tahun serta berada dalam lingkungan keluarga tergugat yang taat beragama, namun untuk kepentingan hak anak dan perlindungan anak seutuhnya, tumbuh kembang seorang anak tidak dapat dipandang dari segi pisiknya saja, tetapi yang tak kalah penting adalah kasih sayang kedua orang tuanya, ayah dan ibunya yang harus terpenuhi untuk kebutuhan perkembangan psikis (rohani) anak yang akan berpengaruh di dalam kehidupan, kepribadian dan watak anak di masa depan.
 4. Bahwa secara pisikis, satu hal yang sangat mendukung seseorang anak tumbuh dan berkembang dengan baik adalah adanya kasih sayang baik ayah maupun ibunya meskipun telah terjadi perceraian. 5. Bahwa dalam berbagai aturan dan regulasi tentang kedudukan anak dalam kehidupan keluarga bahwa anak adalah amanah dan karunia Allah SWT yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hal ini sejalan dengan ketentuan umum tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (12) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002.
 6. Bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 4 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam hubungannya dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak yang menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anak mereka dengan sebaik-baiknya, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ketentuan ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus karena perceraian sesuai maksud Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
 7. Bahwa hak anak berdasarkan pasal 12 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah “bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tuanya, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara” dan yang dimaksud dengan orang tua atau keluarga adalah ayah atau ibu (Pasal 3 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Oleh sebab itu, untuk mendapatkan hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam perkara a aquo anak yang bernama Azzahra Abadi T. haruslah mendapat perlindungan yang dapat menjamin tumbuh kembangnya dengan baik. Dari segi pisik, berupa jaminan nafkah dari ayah dan ibunya tanpa diskrimninasi dan dari segi rohani, salah satu hal yang menopang adalah kasih sayang ayah dan ibunya. Hal itu dapat terwujud apabila penggugat dapat bertemu dengan anaknya dalam kondisi dan situasi yang nyaman.
 8. Bahwa untuk menjamin terwujudnya suasana pertemuan yang nyaman antara penggugat dan anaknya maupun antara tergugat dan anaknya perlu pengaturan waktu kebersamaan sebagai salah satu upaya meminimalisir dampak perceraian bagi anak. 
9. Bahwa untuk menekan atau memperkecil dampak dari perceraian terhadap kondisi psikis anak adalah tidak menutup akses salah satu dari ibu atau ayahnya memberikan kasih sayang kepada anak. 10. Bahwa demikian pula ayah dalam perkara a quo penggugat mempunyai hak yang sama dari segi HAM (hak asasi manusia) untuk mencurahkan kasih sayang kepada anak dan oleh karena penggugat tidak mendapat akses bertemu, dan mencurahkan kasih sayang yang cukup setelah perceraian, sehingga demi kepentingan anak tersebut majelis berpendapat perlu memberi waktu paling tidak 2 hari dalam sepekan bagi penggugat untuk mengasuh, memelihara dan mencurahkan kasih sayangnya. 11. Bahwa dari berbagai pertimbangan tersebut diatas, maka majelis hakim berpendapat bahwa demi kemaslahatan anak Azzahra Abadi T binti Yasir adalah lebih baik dan sangat bijaksana apabila antara penggugat dan tergugat masing masing tidak melepaskan hak dan tanggung jawabnya atas pemeliharaan anak tersebut secara bersama sama dengan ketentuan bahwa antara penggugat dan tergugat bersedia mengatur waktunya masing masing untuk merawat dan memelihara anak, secara bergantian sekurang kurangnya penggugat sebagai ayah kandung anak tersebut diberi kesempatan dan akses yang seluas luasnya dengan memperhitungkan waktu sekurang kurangnya dua kali seminggu berada dalam pemeliharaan penggugat dan selebihnya tetap berada dalam pemeliharaan tergugat sebagai ibu kandung yang telah melahirkan.
 12. Bahwa dari jadwal waktu yang telah ditentukan diatas, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut adalah merupakan tanggung jawab bersama antara penggugat dan tergugat sesuai tingkat kebutuhan primer dan sekunder terhadap si anak dengan berdasar kepada kemampuan dan kesanggupan ekonomi penggugat dan tergugat masing masing selama anak tersebut belum mumayyiz atau belum mencapai umur dewasa dan apabila anak tersebut telah mampu berdiri sendiri atau telah mencapai umur dewasa, anak tersebut berhak untuk menentukan pilihannya sendiri.
        Dalam putusan perkara nomor 1518/Pdt.G/2014/PA/Mks. majelis memutuskan hak asuh anak pasca perceraian merupakan hak bersama penggugat (ayah) dan tergugat (ibu), meskipun waktu hak asuh bagi tergugat lebih lama (ibu), yakni selama 5 hari dalam sepekan, selebihnya (weekend) hak pengugat (ayah). Putusan majelis hakim dalam perkara itu berbeda dengan putusan hakim pada umumnya yang mendasarkan hak hadhanah pada pasal 105 hurup (a) Jo. pasal 156 INPRES Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur dua belas tahun adalah hak ibunya dan anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukan ibunya digantikan oleh ayah tersebut”
           Meskipun berbeda dengan putusan hakim pada umumnya, namun secara kasuistik putusan hakim tersebut sangat tepat dengan dasar demi kepentingan perlindungan anak semata agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai anak yang baik. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Jumhur Ulama, hadhanah menjadi hak bersama, kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah al-Zuhalili dala Ensiklopedi Hukum Islam, hak Hadhanah itu hak berserikat antara ayah, ibu dan anak. Apabila terjadi pertentangan, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh, (Abdul Azis Dahlan , 2001, p. 415), dalam pengertian apabila terjadi perbendaan pendapat atau rebutan hak Hadhanah anak, yang harus dikedepankan adalah kepentingan perlindungan anak. Selain itu, apabila hak hadhanah ditetapkan hanya kepada tergugat selaku ibu dari anak dalam perkara tersebut, penggugat selaku ayah dari anak itu tidak mendapat akses untuk bertemu dengan anaknya. Alasan-alasan lain yang menjadi dasar putusan tersebut adalah:
 1. Perlindungan anak secara komperehensip. Bahwa anak dalam perkara tersebut masih berusia di bawah 2 tahun. Anak seusia itu sangat memerlukan perlindungan menyeluruh, baik dari segi pisik maupun psikis. Anak membutuhkan perhatian penuh dari orang tua (bapak ibunya) pada masa seperti itu karena mereka belum mampu untuk mengurus dirinya sendiri walau dapat dilakukan oleh tergugat (ibunya), namun anak seusia itu memerlukan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Olehnya itu, cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya sangat berpengaruh pada perkembangannya menuju manusia dewasa yang seutuhnya. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata. Anak dibelai dalam pangkuan kedua orang tuanya, ditatap, dipeluk dan dicium. Sebaliknya, hati yang kosong dari rasa cinta dan kasih sayang terhadap anak-anak, pertanda hati tersebut kasar dan keras. Perlakuan dari hati yang kasar hanya akan menyebabkan anak-anak tumbuh dalam kubangan kebodohan dan kemalangan, karena memang sudah menjadi tabiat anak-anak sejak dilahirkan selalu membutuhkan bimbingan, arahan, perhatian dan asuhan, (Mahmud Mahdi al-Istambuli, 2003, p. 231).
         Di samping itu, perlindungan hukum bagi anaak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melingdungi anak-anak Indonesia, masalahanya tidak semata-mata didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya. (Abdul Hakim Garuda, 1986. p. 22). Dalam kasus tersebut, anak tidak pernah bertemu dan dipertemukan dengan ayahnya pasca perceraian ayah ibunya, sehingga anak itu tidak mendapatkan refleksi kasih sayang dari penggugat (ayahnya). Pada kasus ini, upaya pertemuan ayah dan anak mendapat hambatan dari pihak tergugat, bahkan terjadi permasalahan yang menyebabkan saudara lelaki tergugat harus mendekan dalam tahanan. Kondisi seperti ini apabila dibiarkan berlanjut dan apabila secara hukum penggugat selaku ayahnya tidak diberi hak untuk bertemu dengan anaknya, penggugat sangat sulit mendapatkan akses pertemuan yang nyaman bagi si anak, dan hal itu merupakan salah satu indikator menjadikan anak tumbuh menjadi anak dalam kebimbangan. Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya untuk kepentingan kemaslahatan dan kesejahteraan anak secara hukum terlindungi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain: a. Hak asasi anak dijabarkan pada Konvensi Hak-Hak Anak di Jenewa (Convention On The Right of The Child) pada point
 (a): Setiap anak berhak mendapat jaminan perlindungan dan perawatan yang dibutuhkan untuk kesejahteraan anak, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang telah merativiasi konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 dengan Keputusan Presiden nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. 
b. Konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republuk Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. 
         Untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. 
c. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang yang baik dalam keluarganya maupun dalan asuhan khusus, untuk tumbuh kembang dengan wajar.
 d. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani mupun sosial. 
 e. Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. 
f. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
 g. pasal 12 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah “bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tuanya, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara” h. Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
 2. Hak Penggugat Selaku ayah dari anak tersebut. Dari segi hak asasi manusia, penggugat selaku ayah yang selalu beri’tikad baik untuk berupaya bertemu dan memberi nafkah kepada anaknya haruslah terlindungi. Memutuskan untuk memberikan hak mengasuh dan atau bersama dengan anaknya selama 2 hari dalam sepekan adalah perwujudan hak Asasi manusia yang harus selalu dijunjung tinggi. 
3. Pembelajaran untuk mengendalikan diri. Pasangan suami istri yang bercerai cenderung masing-masing egois, dan sikap egois biasanya terlefsikan dengan tindakan saling menjelekkan-jelekan yang satu dengan yang lain. Apabila hak asuh hanya ditetapkan pada salah satu pasangan (ayah atau ibu sianak), dan pasangan yang tinggal bersama anak menjelek-jelekkan pasangan yang lain pada sianak, sangat rentang untuk menimbulkan kebencian anak pada orang tuanya yang tidak tinggal bersamanya. 
4. Mengurangi dampak perceraian orang tua bagi anak. Salah satu upaya untuk meminimalisir dampak perceraian orang tua terhadap anak adalah anak tetap diasuh secara bersama-sama dengan cara mengatur waktu kebersamaan anak dengan ibunya dan dengan ayahnya. Menetapkan pembagian waktu hak asuh anak untuk ibu dan ayahnya berarti telah merancang kebersamaan dan pertemuan anak, baik untuk ibunya maupun untuk ayahnya secara rutin, pasti dan konsisten, sehingga anak merasa tetap dicintai oleh kedua orang tuanya meskipun telah bercerai. Selain itu, orangtua sebisa mungkin tidak terlibat konflik di depan anak-anak mereka, orangtua juga harus berupaya sering mengadakan pertemuan keluarga agar anak tetap merasakan kehadiran kedua orangtuanya meskipun sesibuk apapun dan yang paling penting orangtua mendengarkan keluhan anak serta membantu menyelesaikan masalah dan kegelisahan anak.
        Anak-anak memerlukan perhatian dan kasih sayang lebih oleh orangtuanya. Semua tingkah laku dan kepribadian anak bisa jadi anak teladani dari orangtua sebagai sosok yang paling dekat dengannya. Sosok yang menemaninya mulai sejak dia membuka mata dan menghirup udara segar dunia. Karena itu untuk para orangtua seharusnya bisa lebih bijaksana dalam bertutur kata, bertingkah laku ataupun mengambil keputusan. Kalaupun toh perceraian merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh karena itu dianggap dapat membuat kehidupan menjadi lebih baik, perhatian kepada anak seharusnya tidak boleh berkurang. Berikan perhatian sebesar-besarnya sama halnya dengan perhatian yang diberikan ketika anak lahir. (http//kompasiana.com/herrda payumi akses 20 februari 2015).
 IV. KESIMPULAN: 
 1. Dari segi normatifnya, hak hadhanah anak di bawah umur 12 tahun (belum mumayyis) adalah hak ibunya sepanjang memenuhi syarat. Apabila ibunya meninggal dunia, hak hadhanah beralih menjadi hak wanita dari gari lurus ke atas dari ibu, dan diurutan selanjutnya adalah hak ayahnya. Bagi anak yang berusia di atas 12 tahun, hak hadhanah berdasarkan pilihan si anak.
 2. Dari segi hak perlindungan hukum dan kepentingan anak semata agar dapat tumbuh menjadi anak yang baik (berkualitas), hak hadhanah bagi anak korban perceraian menjadi hak bersama ayah dan ibunya dengan pembagian waktu kebersamaan sepanjang ayah dan ibunya memenuhi syarat hadhanah. bagi anak-anak usia dini yang masih perlu belaian kasih sayang dan begitu tergantung dengan orang tuanya, hal tersebut tentu baik disadari ataupun tidak akan mempengaruhi kepribadian anak. Rasa aman, nyaman dan kehangatan keluarga yang menjadi kebutuhan dasar anak dan apabila tidak didapatkan akan begitu berpengaruh dalam kehidupannya baik semasa anak-anak maupun setelah dewasa. Anak sangat memerlukan cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah terpengaruh. Anak adalah miniatur orang dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Anak sangat butuh cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya dalam pembentukan jati diri dan indentitas diri. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata. V. SARAN: 
1. Diperlukan adanya lembaga pendamping anak pasca perceraian untuk pemulihan trauma psikologis dan pemenuhan hak-haknya.
 2. Diperlukan pula adanya lembaga pendamping bagi janda-janda korban perceraian untuk memulihkan kepercayaan dirinya agar dapat beraktitivitas dan berinovasi.
 3. Diperlukan revisi aturan yang mengatur hak hadhanah menjadi hak bersama suami istri (ayah dan ibu) untuk kepentingan tumbuh kembangnya seorang anak sepanjang keduanya memenuhi syarat hadhanah.
 DAFTAR PUSTAKA
 Abdullah, Adil Fathi, 2005, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah, terjemahan dari judul asli Akhtaa’ Syaa-i’atun Yaqa’u Fiha al-Azwaj Wa Thuruq ‘ilaajiha, Cet. I; Jakarta: Gema Insani.
 AIPJ., Kementerian Dalam Negeri RI., PUSKAPA UI., 2014, Hak Identitas Anak, Akses Keadilan Untuk Anak, Bulletin Edisi 01. Amini,
 Ibrahim, 2006, principle of up bringing children, anakmu, amanatnya, cet. 1 jakarta: Al-huda. As-Shan’ani, 1992, Subulussalam, jilid III, diterjemahkan oleh Abu Bakar Ahmad Surabaya: Al-Ikhlas. Ali, Zainuddin, 2012, Hukum Perdata Islam Di Indoneia (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika Offet. Al-Istambuli , Mahmud Mahdi, 2003, Nisa’ Haula al-Rasul diterjemahkan oleh Ahmad Sarbaini dengan judul isteri-isteri dan Puteri-Puteri Rasulullah saw serta Peranan Beliau Terhadap Mereka Cet. II; Bandung: Irsyad batus Salam. 
 Garuda, Abdul Hakim, 1986, Prospek Perlindungan Anak, Makalah, Jakarta: Seminar Perlindungan Hak-Hak Anak.
 Gary & Barbara Rosberg, 2014, Pernikahan anti Cerai, judul asli Divorce Proof Your Marriage, Cet: V, Yokyakarta: Andi.
 Dahlan, Abdul Azis et.al, 2001, Ensiklopedi hukum Islam, jilid 2, Cet. V; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
 Djam’an Satori & Aan Komarih, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatuf, Cet. II; Bandung: Alfaneta. Edukasi, Kompasiana.com/2014/02/24 Dampak Perceraian Terhadap Kondisi Psikologis Anak, akses 16 Februari 2015.
 Damis, Harijah, 2008, Menguak Hak-Hak Wanita, Cet. II; Jakarta: Two Fublisher.
 ---------- 2009, Meredam Prahara Melawan Perceraian, cet. I Jakarta: MT-al-Itqon.
 ---------- WWW.badilag.net.suara pembaca/14379/janda dan anak korban perceraian perlu diperhatika serius, 2013. 
 ------------ WWW.badilag.net.data/artikel/perceraian meningkat solusi atau tragedi, 2011. http://saifuddinnas.com/2012, Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya oleh Saifuddin ASM. akses 6 Januari 2015, 
 http://seputaribudan bayi.blogspot.com/201209/Pembiayan Hidup Anak Pasca Perceraian, akses 16 Februari 2015.
 http//www.facebook.com ahmadridwanhypnotherapy, akses tanggal 15 Februari 2015 http//kompasiana.com/herrda payumi akses 20 februari 2015 
Mahkamah Agung RI, 2000, Analisis Yurisprudensi Peradilan Agama Tentang Hadhanah, Harta Bersam, Wasiat, Hibah Dan Wakaf , Jakarta: Mahkamah Agung RI.
 Mahkamag Agung RI., 2012, Membangun Peradilan Agama Yang bermartabat, Jakarta: Dirjen BADILAG MARI.
 Mahkamag Agung RI., 2013, Himpunan Statistik Perkara Di Lingkunga Peradilan Agama, Jakarta: Dirjen BADILAG MARI.
 Syarifuddin, Amir, 2005, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet II; Jakarta: Predana Media. 
 Suherman, 2000, Buku Saku Perkembangan Anak, Kodokteran EGC. 
Titik Triwulan Tutik, 2010, Hukum Perdata Dalam Sitem Hukum Nasional, Jakara: Kencana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA