Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA
Al-Takharruj
pada perinsipnya merupakan salah
satu bentuk pembagian harta warisan secara damai berdasarkan musyawarah antara para
ahli waris. Al-Taharruj adalah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak
yang dimilikinya, dan hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang
tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya.[1]
Al-Takharruj merupakan perjanjian yang diadakan antara para ahli
waris untuk mengundurkan diri atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan
suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan dengan ikhlas, sukarela dan tanpa
paksaan.[2]
Jadi, takharuj adalah suatu perjanjian damai antar para ahli
waris atas keluarnya atau mundurnya
salah seorang ahli waris atau sebagaian ahli waris untuk tidak menerima hak
bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan
tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain.
Dasar hukumnya
Pembagian harta warisan dalam
bentuk Takharuj tidak dijumpai dasar
hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Dasar hukumnya merupakan hasil ijtihad (atsar
sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan. Atsar tersebut sebagai
berikut:
ﻋﻦ ﺍﺒﻰ ﻴﻮﺴﻒ ﻋﻤﻦ ﺤﺪﺜﻪ
ﻋﻤﺮﻮﺒﻦ ﺪﻴﻨﺎﺮ ﻋﻦ ﺍﺒﻦﻋﺒﺎﺲ : ﺃﻦﺍﺤﺪﻲ ﻨﺴﺎﺀ ﻋﺒﺪ ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺒﻦ ﻋﻮﻒ ﺼﻠﺤﻮﻫﺎﻋﻠﻰ ﺜﻼﺜﺔ ﻮﺜﻤﺎﻨﻴﻦ ﺃﻠﻔﺎ ﻋﻠﻰﺃﺨﺮﺠﻮﻫﺎ ﻤﻦ ﻤﻴﺮﺍﺚ.
Artinya:
Dari Abi Yusuf dari seseorang yang
menceritakan kepadanya, dari Amru bin Dinar dari ibnu Abbas: Salah seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf diajak untuk berdamai oleh para ahli waris
terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari
pembagian harta warisan.[3]
Dari atsar sahabat tersebut,
dipahami bahwa pembagian harta waris dengan menggunakan perinsip musyawarah dan
damai dilakukan oleh para janda dan anak Abdurrahman bin ’Auf dengan cara salah
seorang jandanya menyatakan keluar dari haknya untuk menerima harta warisan
suaminya, namun dengan imbalan pembayaran uang sejumlah delapan puluh tiga ribu
dinar dan ada yang menyatakan delapan puluh tiga ribu dirham.
Istri (janda) almarhum Abd. Rahman bin ’Auf berjumlah 4
orang, dan salah seorang di antaranya bernama Thumadhir binti al-Ashbag
menyatakan mengundurkan diri dari bagian yang seharusnyaa diterima dengan
imbalan pembayaran sejumlah uang. Bagian
Thumadhir adalah ¼ dari 1/8 atau 1/32
dari keseluruhan harta warisan pewaris. Baagian
tersebut dinilai dengan uang sejumlah 83 dirham atau ada yang menyatakan 83
dinar.
Selain atsar sabahat, dasar hukum al-takharruj
adalah analogi terhadap setiap terjadi muamalah jual beli dan tukar menukar
atas dasar kerelaan masing-masing, sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan
kesepakatan, perjanjian pembagian harta
warisan dengan metode takharruj
hukumnya boleh.
Jadi, takharuj adalah pembagian harta warisan secara damai dengan perinsip
musyawarah. Pembagian harta warisan
dengan metode tersebut, para ahli warislah
yang berperan dan berpengarauh dalam menentukan, baik cara pembagiannya maaupun
besar bagian para ahli waris. Pembagian
harta warisan dalam bentuk ini dapat saja keluar dari ketentuan pembagian harta
warisan yang telah ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw.,
namun atas dasar kesepakatan dan kerelaan antara para ahli waris untuk
kemaslahatan para ahli waris.
Pembagian harta warisan dengan cara
perjanjian takharuj telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum warisan Mesir pada pasal 48, yang menjelaskan
tentang definsisnya, bentuknya dan cara pembagian harta warisan kepada ahli
waris apabila terdapat ahli waris yang mengadakan perjanjian takharuj.[4]
Bentuk-Bentuk Takharuj
Takharuj
merupakan perjanjian antara para ahli waris, ahli waris yang
menyatakan diri keluar, mendapat imbalan atau pembayaran dari ahli waris
lain. Bentuknya adalah:
1.
Perjanjian dua pihak. Pembagian harta warisan dalam
bentuk ini adalah terdapat dua pihak,
pihak pertama adalah ahli waris yang menyatakan diri keluar dari hak untuk
menerima warisan dan menyerahkan bagian warisannya kepada pihak kedua atau ahli
waris lain. Selanjutnya pihak kedua (ahli waris lain) menyerahkan sesuatu
sebagai tebusan atas harta warisan yang telah diserahkan kepada ahli waris
pihak pertama.
2.
Perjanjian jual beli.
Takharuj dalam bentuk ini
adalah seakan-akan terjadi trasanki jual beli.
Pihak ahli waris pertama yang telah menyerahkan bagian harta warisannya
kepada pihak ahli waris kedua menerima pembelian atau harta yang diberikan oleh pihak ahli waris yang kedua.
3.
Perjanjian tukar menukar.
Al-takharuj juga dapat berbentuk tukar menukar barang
harta warisan atau barter. Dalam bentuk
ini, pihak yang telah menyatakan keluar
atau mundur dari menerima harta warisan pewaris menerima tebusan atau barter sebagai alat penukar dari harta
warisan yang seharusnya menjadi bagiannya.
Tebusan atau barter itu diberikan oleh ahli waris lain yang tidak
mengundurkan diri.
Adapun
cara pembagiannya adalah:
a.
Para ahli waris yang berhak menerima harta warisan
pewaris terlebih dahulu ditentukan besar bagian masing-masing termasuk ahli
waris yang keluar atau mengundurkan diri.
b.
Pihak ahli waris yang mundur/keluar ditetapkan besar
bagiannya dari harta warisan pewaris.
c.
Bagian ahli waris yang keluar atau mundur dibayar atau ditebus
atau dibarter oleh ahli waris yang tidak mengundurkan diri.
d.
Sisa yang dijadikan barter atau tebusan, dibagi oleh ahli
waris yang tidak keluar menurut besar bagian masing-masing.
B. Wujud Pelaksanaan Pembagian Harta
Waris
Secara
Damai
di Pengadilan Agama
Pembangian harta warisan dapat
dilakukan dengan jalan damai (islah) antara
para ahli waris. Islah dapat dipahami sebagai
upaya untuk mengakhiri sengketa atau perselisihan antara pihak ahli waris
secara damai berdasarkan kesepakatan-kesepatan antara dua pihak
Upaya perdamaian pada tataran hukum
positif di Indonesia yang telah dintegrasikan dalam proses beracara di
pengadilan secara substansial sama yang dipraktekkan dalam peradilan Islam. Upaya perdamaian dipraktikkan pada masa
Khalifah Umar binKhattab dengan dasar hukum risalat
al-Qada yang dikirim kepada Abu Musa al-Asy’ari, haakim di Kufah atas perintah
Khalifah Umar bin Khatab. Risalah
tersebut isinya mengandung pokok-pokok hukum yang harus diperpegangi oleh hakim
dalam menyelesaikan perkara sebagai hukum acara. Risalah ini sangat terkenal dan kini
dijadikan pegangan/pedoman pokok oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya
termasuk di Indonesia.[5]
Pada perkara perdata, wajib bagi
majelis hakim untuk mendamaikan pihak yang bersengketa sebelum memuliai
pemeriksaan pokok perkara. (Pasal 154 Rbg./130 HIR), bahkan Mahkamah Agung RI.,
mengintensipkan proses perdamaian dengan cara mengintegrasikan prose mediasi ke
dalam prosedur beracara di Pengadilan melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia (PERMA RI.) nomor 1 Tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Pelaksanaan pembagian harta
warisan secara damai setelah terjadi sengketa pada Pengadilan Agama, dapat
ditempuh dengan dua cara, yaitu:
a.
Dilakukan atau diupayakan oleh mediator yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa, baik mediator dari kalangan hakim maupun dari
mediator kalangan luar hakim.
b.
Dilakukan atau diupayakan oleh majelis hakim yang menangani
perkara yang bersangkutan.
Upaya damai yang dilakukan oleh mediator maupun oleh majelis hakim yang
bersangkutan setelah perkara disidangkan oleh majelis hakim yang ditunjuk oleh
ketua Pengadilan Agama.
Adapun prosedur penerimaan perkara harta warisan, sama dengan perkara
lainnya, seperti perkara perceraian, baik yang diajukan oleh seorang istri
maupun yang diajukan oleh seorang suami dan perkara harta bersama, yaitu:
a.
Para pihak datang ke Pengadilan Agama menyerahkan surat
gugatan kepada petugas meja 1[6]. Surat gugatan yang diserahkan sebanyak jumlah
pihak ditambah tiga rangkap untuk majelis hakim yang ditunjuk menangani perkara
yang bersangkutan.
b.
Petugas meja II melengkapi berkas dan menulis dalam buku register
induk gugatan, lalu menyerahkan kepada
ketua Pengadilan Agama untuk ditetapkan majelis hakim yang menangani perkara
tersebut dengan terlebih dahulu melalui wakil panitera dan panitera.
c.
Paling lambat dua hari kerja, ketua Pengadilan Agama
menetapkan majelis hakin yang akan menangani perkara tersebut.
d.
Majelis hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang
pertama, dengan memerintahkan jurusita untuk memanggil para pihak berperkara datang
menghadiri sidang pada hari yang telah ditentukan atau pada hari sidang pertama.[7]
e.
Pada hari sidang pertama, majelis hakim mengarahkan
kepada para pihak bersengketa untuk menempuh proses mediasi dan untuk
kepentingan itu majelis hakim menunda sidang.
Proses mediasi di Pengadilan Agama umumnya dipimpin oleh mediator dari
kalangan hakim[8]
yang dipilih oleh para pihak yang berperkara/bersengketa karena belum ada pihak
luar yang memenuhi syarat menjadi
mediator.[9] Tenggang waktu yang diberikan kepada mediator
untuk melaksanakan proses mediasi adalah selama empat puluh hari, dan dapat ditambah lima belas hari lagi jika
dibutuhkan.
Mediator yang memimpin upaya perdamaian berdasarkan pasal 15 ayat (4),
wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan para pihak
dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian terbaik bagi para pihak yang bersengketa.
Apabila terjadi perdamaian, mediator merumuskan isi kesepakatan-kesepakatan
para pihak yang bersengketa dan dibuat akte perdamaian. Setelah akte perdamaian selesai dan dibacakan
kepada para pihak, mediator melaporkan
hasil kesepakatan yang telah dibuat kepada majelis hakiim yang menangani
perkara tersebut.
Majelis hakim yang menerima laporan perdamaian dari mediator, membacakan
hasil perdamaian yang telah dilaporkan dan dimasukkan dalam putusan akhir.
Adapun wujud pelaksanaan pembagian harta warisan secara damai oleh majelis hakim
yang menangani perkara dimaksud adalah:
a.
Setelah majelis
hakim menerima laporan dari mediator[10]
bahwa proses mediasi tidak berhasil mendamaikan para pihak, pada sidang yang telah ditetapkan majelis hakim
berupaya mendamaikan pihak yang berperkara sebelum memasuki pemeriksaan pokok
perkara.
b.
Apabila terjadi kesepakatan atau perdamaian oleh majelis
hakim, perdamaian itu dimasukkan dalam
putusan akhir majelis hakim tersebut.
c.
Amar putusan majelis hakim menghukum para pihak untuk
menaati perdamaian yang telah disepakati.
Untuk wujud pembagian harta warisan di luar sengketa adalah:
a.
Para ahli waris mendaftarkan permohonan pertolongan
pembagian harta warisan pada petugas yang telah ditunjuk di bagian meja I.
b.
Pendaftaran permohonan tersebut oleh meja I dicatat dalam
buku pendaftaran secara khusus, yakni buku register permohonan pertolongan
pembagian harta peninggalan di luar sengketa (P3HP) yang terpisah dengan buku
register perkara gugatan maupun permohonan secara umum.
c.
Ketua Pengadilan Agama menentukan hari pertemuan para ahli
waris untuk upaya pembagian harta warisan berdasarkan hukum kewarisan Islam.
d.
Setelah terjadi pembagian harta warisan berdasarkan hukum
kewarisan Islam, dibuat akta komparisi (akta keahliwarisan).
e.
Akta komparisi menjadi bukti telah terjadi pembagian
harta warisan di luar sengketa melalui pertolongan ketua Pengadilan Agama
C. Analisis
Al-Takharuj Dan Pembagian Harta Warisan Secara Damai Pada Praktik
Pengadilan Agama
Secara substansi, pembagian harta warisan dengan metode al-takharuj
sama dengan praktik pembagian harta warisan secara damai di Pengadilan Agama
yang menjadi obyek penelitian penulis.
Sisi persamaannya adalah pembagian harta warisan secara damai
berdasarkan perinsip musyawarah. Para ahli waris bermusyawarah dan bersepakat
tentang bagian masing-masing ahli waris.
Pembagian harta warisan dalam bentuk ini berdasarkan keinginan para ahli
waris yang telah disepakati secara bersama-sama.
Kebolehan pembagaian harta
warisan secara damai didasarkan pada atsar sahabat sebagai berikut:
ﻋﻦ ﺃﺒﻲ ﻴﻮﺴﻒ ﻋﻤﻦ ﺤﺪﺜﻪ ﻋﻦﻋﻤﺮﻮﺒﻦ ﺪﻴﻨﺎﺮﻋﻦﺍﺒﻦ ﻋﺒﺎﺲ:
ﺃﻦ ﺍﺤﺪ ﻲ ﻨﺴﺎﺀ ﻋﺒﺪ ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ ﺒﻦ ﻋﻮﻒ
ﺼﻠﺤﻮﻫﺎﻋﻠﻰ
ﺜﻼﺜﺔ ﻮﺜﻤﺎﻨﻴﻦ ﺃﻠﻔﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻦ ﺃﺨﺮﺠﻮﻫﺎ ﻤﻦ ﺍﻠﻤﻴﺮﺚ
Selain itu, dasar
hukumnya adalah analogi terhadap perjanjian jual beli dan perjanjian tukar
menukar barang yang syarat kebolehannya adalah adanya keridhaan (kerelaan)
masing-masing pihak yang mengadakan trasanksi.
Hal tersebut didasarkan pada Q.S. al-Nisa/4:
29 sebagai berikut:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4
¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman
jaanganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu dan
janganlah kam membunuh dirimu sesungguhnya Allah
Ayat di atas memberi
petunjuk tata cara memperoleh harta yang halal untuk dimakan, yakni dengan
jalan perniagaan (trasanksi jual beli) atas keridhaan masing-masing pihak. al-takharruj
dan praktik pembagian harta warisan secara damai di pengadilan Agama dilakukan
atas dasar keridhaan (kerelaan) masing-masing pihak.
Selain itu, tujuan al-Takharruj maupun pembagian harta warisan
secara damai di Pengadilan Agama adalah untuk kemaslahatan para ahli
waris. Hal tersebut sejalan dengan kaidah pikih
ﺍﻴﻦﻤﺎ ﺘﻜﻮﻦ ﺍﻠﺼﻠﺤﺔ ﻔﺜﻢ ﺸﺮﻉ ﷲ
Kaidah fikih tersebut menjelaskan bahwa apabila sesuatau perbuatan
hukum menghasilkan kemaslahatan, disanalah hokum Allah. Hakekat maslahat adalah segala sesuatu yang
mendatangkan keuntungan dan menjauhkan dari bencana.[11]
Dalam pandangan ahli ushul maslahat adalah memberikan hukum syara’ kepada
sesuatu yang tidak terdapat dalam nash
dan
ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.[12] Kemaslahatan yang dihasilkan dari pembagian
harta warisan secara damai adalah:
- Persengketaan antara ahli waris bisa berakhir. Berakhirnya persengketaan ahli waris, berarti merajut dan terjalin hubungan silaturrahim antara ahli waris.
- Menghindari konplik keluarga yang berkelanjutan. Apabila sengketa warisan berlanjut, sepanjang itu pula konplik akan mewarnai kehidupan para ahli waris yang sedang bersengketa, bahkan konplik keluarga dapat berlanjut kepada keturunan masing-masing, karena bibit permusuhan akan menurun kepada keturunan masing-masing.
- Harta warisan segera terbagi dan dapat dinimakti oleh semua ahli waris dengan segera, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan memberi kebahagian bagi kehidupan keluarga karena untuk mewujukkan rumah tangga yang bahagia, salah satu harus ditopang oleh harta yang cara perolehannya dengan jalan yang halal, dan hal itu pula menjadi tujuan pewaris yang berjuang dalam kehidupannya memperoleh harta untuk dinikmati anak keturunannya, bukan untuk dipertentangkan dan melahirkan silang sengketa.
Namun demikian, dalam praktik pembagian harta warisan secara damai pada Pengadilan Agama yang menjadi obyek penelitian
penulis ditemukan perbedaan-perbedaan dengan teori takharruj, sehingga ada beberapa hal yang perlu disebutkan pada
pasal-pasal perdamaian pembagian harta warisan yang tentunya atas petunjuk dan
arahan mediatar maupun majelis hakim yang menanganai perkara yang
bersangkutan. Hal-hal yang perlu
dilengkapi sebagai berikut:
1.
Terlebih dahulu terdapat pasal yang menyebut kedudukan
dan besar bagian masing-masing ahli waris berdasarkan hukum kewarisan Islam.
2.
Apabila dalam pembagian yang disepakati terdapat ahli
waris yang menerima kurang dari porsi bagiannya, misalnya untuk anak laki-laki
dan perempuan disepakati menerima bagian yang sama besar, harus ada pernyataan rela menyerahkan
bagiannya kepada ahli waris lain. Kerelaan adalah syarat dalam trasanksi
bermuamalah, termasuk muamalah pembagian harta warisan.
Penyebutan kedudukan dan besarnya porsi bagian masing-masing ahli waris
dalam akta perdamaian merupakan salah
satu bentuk sosialisasi tentang hukum kewarisan Islam, sekaligus realisasi
pelaksanaan perintah untuk memepelajari dan mengajarkan hukum kewarisan
Islam. Putusan hakim khususnya perkara
warisan paling tidak dibaca oleh pihak yang bersengketa, sehingga yang
membacanya dapat memahami kedudukan dan bagianya dalam hukum kewarisan Islam.
[5]Lihat
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam
Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia (Jakarta: Kencana Predana Media group, 2008), h. 150.
[6]Sistem
pelayanan pada Pengadilan Agama menggunnakan sistem meja, yaitu sistem kelompok
kerja yang terdiri dari meja I, meja II dan Meja III. Meja I bertugas menerima gugatan/permohonan,
menaksir biaya perkara, menerima setoran bukti pembayaran penggugat dari bank,
memberi nomor perkara dan menyerahkan berkas kembali kepada penggugat ke Meja
II untuk didaftar perkaranya dalam buku induk register perkara.
[9]Syarat
untuk menjadi mediator berdasarkan PERMA
RI. Nomor 1 Tahun 2008 adalah telah
mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi
dikeluarkan oleh lembaga yang telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung
RI.
maaf numpang, setahu saya dalam ilmu ushul fiqh jika ada dalil yang lebih rendah (apalagi hanya atsar sahabat)bertentangan dengan nash yang qath`i, maka dalil yang lebih rendah itu wajib ditinggalkan dan wajib menjalankan nash yang qath`i. dalam pembagian hukum waris jelas hukumnya wajib mengikuti ketentuan dari Allah, bahkan di ujung pembahasan tentang pembagian waris Allah mengancam dgn siksanya orang-orang yang berpaling dari ketentuan (hukum waris)-Nya.
BalasHapus