Perceraian meningkat, solusi atau tragedi
Perceraian, “halal tetapi dibenci oleh Allah swt.” Kalimat singkat, tetapi sarat dengan makna apabila
dikaji secara komperhensip. Halal tapi
dibenci. Halalnya penceraian hanya merupakan solusi untuk mengakhiri
hubungan perkawinan bagi pasangan suami
isteri yang pada kondisi tidak dapat lagi dipersatukan dalam satu rumah tanga
karena pertikaiannya sudah sangat parah.
Perceraian merupakan solusi mengakhiri
pertikaian, dan apabila bercerai
dipandang lebih banyak mamfaat dari pada terikat dalam perkawinan yang malah
menyengsarakan suami atau istri.
Perceraian terjadi tentunya setelah melewati tahap perdamaian, baik di
luar pengadilan (juru damai dari keluarga masing-masing, ulama dan umara) maupun
setelah berproses pada Pengadilan Agama.
Meningkatnya perceraian sebagai
sebuah realita kini, apakah masih merupakan solusi atau tragedi?
Penulis sebagai seorang seorang perempuan, sebagai
seorang ibu, sangat prihatin menyaksikan perobahan pola
pikir dan prilaku masyarakat secara
perlahan-lahan, lamban tapi pasti.
Lenturnya nilai-nilai sakralitas perkawinan, pondasi rumah tangga
semakin rapuh, perceraian dianggap hal yang biasa.
Sebagai praktisi, penulis dapat
menyimpulkan sementara bahwa indikator semakin rapuhnya pondasi rumah tangga dan
lenturnya nilai sakralitas perkawinan yang pada gilirannya perceraian semakin
meningkat antara lain:
1. Perkawinan dilaksanakan tanpa kesiapan dari
masing-masing pasangan. Dari segi
ekonomi misalnya, tidak sedikit perempuan mengajukan gugatan cerai karena sejak
menikah tidak pernah diberi nafkah oleh sang suami karena suami tidak mempunyai
pekerjaan, perkawinan dilaksanakan pada usia masih muda dan belum siap untuk
bekerja mencari nafkah. Dari segi
kesiapan mental, tidak berbilang lagi cerai gugat atau cerai talak diajukan ke
Pengadilan Agama khususnya tempat tugas penulis karena alasan perbedaan
keinginan mengenai tempat tinggal, sang istri tidak mau berpisah dengan orang
tuanya demikian sebaliknya atau ada salah satu pihak yang ingin mandiri. Apabila perkawinan terlaksana oleh pasangan
yang sudah matang pemikirannya dan memahami hak dan kewajiban dalam rumah
tangga, perbedaan tentang tempat tinggal bersama tidak akan menjadi prahara
dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian.
2. Perubahan pola pikir. Pengaruh mas media. Suatu hal yang tidak lepas dari kehidupan
manusia kini adalah pengaruh mas media.
Di berbagai tayangan dipertontonkan pasangan muda yang begitu mudahnya
bercerai. Hal ini disadari atau tidak,
sangat besar pengaruhnya untuk merubah pola pikir dan prilaku masyarakat
umumnya menyangkut perkawinan dan rumah tangga, sehingga persoalan yang hanya
sepele menjadi pemicu perselisihan dan perceraian. Misalnya, sang suami menerima telpon salah
sambung, lalu sang istri mencurigai ada wanita lain, menjadi penyebab
perselisihan dan tidak terselesaikan karena tidak ada komunikasi yang sehat
dalam rumah tangga, berakhir dengan
perceraian.
3. Tanggung jawab terhadap anak tidak
dipahami dan dampak perceraian tidak pernah dipikirkan.
Dari ketiga indikator tersebut, yang
perlu mendapat catatan khusus adalah dampak perceraian bagi anak-anak. Semakin meningkat perceraian semakin meningkat pula jumlah anak sebagai generasi
pelanjut yang secara psikis menderita.
Dari pengalaman penulis sebagai praktisi,
dampak yang paling ringan adalah menurunnya prestasi belajar anak akibat
perceraian orang tuanya. (anak menjadi
bingung mau ikut siapa, ayah atau ibu, kehilangan idola yang harus diteladani
dalam rumah tangga). Gejolak hati tidak
dipahami oleh para orang tua, tetapi
menjadi salah satu indikator ketidak seimbang anak dalam meniti hidup dan
kehidupannya. Ketika perceraian makin
meningkat, semakin meningkat pula anak yang broken home. Hasil akhirnya adalah mengurangi jumlah generasi
(anak bangsa) yang berkualitas.
Anak sangat memerlukan cinta dan kasih
sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah
terpengaruh. Anak adalah miniatur orang
dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Anak sangat butuh cinta dan kasih sayang
kedua orang tuanya dalam pembentukan jati diri dan indentitas diri. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih
sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata.[1]
Dengan latar belakang pemikiran itu, meningkatnya
perceraian merupakan tragedi, dan pantaslah apabila persoalan meningkatnya perceraian menjadi
keprihatinan banyak kalangan.
Keprihatian itu tentu akan menimbulkan berbagai persespsi yang berbeda
sesuai latar belakang kelimuan dan atau latar belakang sosial. Kalau seorang Prof. Dr. Nazaruddi Umar
mengungkapkan rasa ingin tahu mengapa perceraian di Indonesia meningkat dan
menurutnya hakim di Pengadilan Agama
terlalu mudah menceraikan dan kebanyakan hakim mencari kredit point untuk promosi
karir seperti yang ditulis Rahmat
Arijaya S.Ag.M.Ag. dalam artikelnya yang termuat di badilag net dengan judul
mengapa perceraian di Indonesia meningkat.
Apabila berlatar belakang pengajar (dosen dan guru) dengan sistem kredit
point, terutama untuk kenaikan pangkat,
tidak salah anggapan bahwa hakim terlalu mudah untuk menceraikan dengan motivasi mendapat kredit point,
apabila sistem karir hakim didasarkan pada semakin banyak menceraikan, semakin
tinggi kredit pointnya.
Dalam realitas karir hakim tidak
didasarkan pada kredit point, bahkan pernyataan tentang “semakin banyak menceraikan,
semakin tinggi kredit pointnya” sangat
bertolak belakang dengan SEMA RI. Nomor 2 tahun 2008 tentang Proses Mediasai di
Pengadilan.
Pada SEMA RI. tersebut diatur tentang
kewajiban melakukan proses mediasi untuk setiap perkara, termasuk perkara
perceraian. Di samping proses mediasi,
juga upaya perdamaian oleh majelis hakim dengan perdamaian yang sungguh-sungguh.
Oleh
sebab itu dari sudut pandang karir hakim maka, pantaslah Rahmat Arijaya menulis
pernyataan “Apakah benar hakim mencari
kredit point? Ini merupakan tuduhan yang menyakitkan”.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas
dengan sudut pandang yang berbeda, peningkatan perceraian perlu mendapat perhatian
yang serius bagaimana upaya meredam.
Ada beberapa hal yang perlu dikaji menyangkut masalah perkawinan:
1. Tentang Usia Perkawinan. Pada Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan mengatur usia perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun
bagi laki-laki. Pada kenyataannya tidak
sedikit perkara yang penulis tangani
karena menikah dengan usia sekitar itu (usia masih belia). Usia belia, belum matang secara emosional, belum mandiri dari sisi ekonomi dan secara
spiritual (kecenderungan beragama) juga belum mantap.
Adanya kecenderungan beragama
misalnya merupakan hijab untuk berbuat sesuatu yang menjadi pemicu keretakan
rumah tangga. Agama mengajarkan untuk
menjalin komunikasi dengan baik (musyawarah), bertutur sapa dengan lemah
lembut, sederhana dalam segala hal dan lain sebagainya.[2]
Dari segi ekonomi, rumah tangga
dibangun sangat ditopang dengan kemampuan finansial, walau tidak berorientasi
materialistik. Rumah tangga tidak bisa
tenang apabila pada malam harinya pasangan suami istri masih memikirkan apa
yang akan dimakan esok harinya.
2. Penyuluhan/Pembekalan tentang tujuan
perkawinan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga sebelum
menikah kepada calon mempelai pria dan wanita benar-benar dilakukan secara
bersunguh-sunguh.
3. Penyuluh yang akan memberi pembekalan
bagi pasangan yang akan menikah adalah personal yang betul memahami masalah
perkawinan terutama tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan juga dapat
memberi keteladanan.
4. Tayangan tentang kawin cerai
diminimalisir atau sekaligus ditiadakan.
Wallahualam bissawab
Sidrap, 22 Oktober 2011
Komentar
Posting Komentar