HAK ANAK DALAM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT
Dr. Hj.
Harijah D., M.H.
HAKIM
TINGGI PTA. Gorontalo
E-mail: harijahdamis@gmail.com
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu akad (perjanjian) yang suci dan
kuat antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
(Harijah Damis, 2008, P. 2). Akad (perjanjian) dalam perkawinan
tidak saja sekedar menghalalkan bersatunya seorang laki-laki dan perempuan
dalam membina rumah tangga, tetapi juga ada tujuan yang akan diwujudkan dengan akad tersebut, yakni membentuk keluarga
yang kekal dan bahagia.
Selain itu, untuk sah akad dalam sebuah perkawinan harus
dilaksanakan menurut agama masing-masing, dan agar sebuah perkawinan
menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban antara suami, istri maupun kewajiban
terhadap anak-anak yang telah dilahirkan, maka wajib dicatatkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya di Indonesia.
Di Indonesia, kenyataan yang terjadi di masyarakat bahwa tidak
semua perkawinan dilakukan, tercatat dan memenuhi syarat sebagaimana
dipersyaratkan Undang-Undang atau peraturan yang berlaku, sehingga menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi pasangan suami istri maupun kepada anak-anak telah
dilahirkannya. Perkawinan tidak tercatat
dan atau perkawinan siri merupakan masalah konvensional yang tidak pernah
terselesaikan permasalahannya dari waktu ke waktu.
Perkwinan tidak
tercatat tidak diatur baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 maupun
dalam INPRES Nomor 1 Tentang Kompilasi Hukum Islam, sehingga menimbulkan dampak
dari akibat perkawinan tersebut terutama dampak pada hak-hak perempuan dan anak dalam kehidupan berumah
tangga dan dalam tatanan kenegaraan. Oleh sebab itu, sangat menarik untuk
menganalisis hak-hak anak dalam pekawinan tidak tercatat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah:
1.
Bagaimana status hukum anak
yang lahir dari akibat perkawinan tidak tercatat dalam pandangan hukum negara ?
2.
Bagaimana Pelindungan hak bagi anak
yang lahir dari perkawinan tidak
tercatat ?
C.
Tujuan
1. Untuk menganalisis status hukum anak yang lahir dari dari akibat perkawinan tidak tercatat dalam pandangan hukum negara.
2. Untuk menganalisis solusi pelindungan hak bagi anak yang lahir dari dari akibat perkawinan tidak tercatat.
D.
Tinjauan Pustaka
1.
Perkawinan Sah dan Tercatat
Perkawinan merupakan suatu lembaga yang menyatukan seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan, sebagai langkah awal membangun sebuah rumah tangga. Penyatuan seorang laki-laki dan seorang wanita dalam ikatan perkawinan dimulai dengan adanya sebuah akad yang keabsahan telah diatur dalam agama maupun dalam aturan perundang-undang yang berlaku.
Di Indonesia, keabsahan perkawinan diatur pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut: “perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan”. Pada ayat 2 disebutkan lebih lanjut bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku”. Ketentuan pasal tersebut pada ayat (satu) dan (dua) harus dipahami sebagai satu kesatuan, berimplikasi pada perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum tidak cukup hanya dilaksanakan menurut ajaran agama masing-masing, tetapi juga harus dicatatkan.
Dijelaskan lebih lanjut pada pasal 5 ayat (1) INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus dicatat”. Dari ketentuan pasal tersebut dipahami bahwa latar belakang kewajiban pencatatan perkawinan yang dinyatakan mempunyai kekuatan hukum adalah untuk ketertiban masyarakat dalam membina rumah tangganya masing-masing. Pencatatan perkawinan dilakukan dan dalam pengawasan pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama.
Selanjutnya, sahnya sebuah perkawinan khususnya dalam perkawinan Islam apabila memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun Perkawinan di sebutkan pada pasal 14 INPRES Nomor 1 Tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa “untuk melakukan perkawinan harus ada a. calon suami b. calon istri c. wali nikah d. dua orang saksi e. ijab Kabul. Adapun syarat perkawinan, diatur pada Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974 Tentang Perkwinan Jo. Perubahannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Pasal 6 s/d Pasal 11 yang pada pokoknya mengatur syarat perkawinan sebagai berikut:
a.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya.
c.
Apabila
orang kedua orang tuanya sudah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.
d.
Perkawinan
hanya diijinkan apabila sudah mencapai umur 19 tahun.
e.
Seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali telah mendapat izin untuk berpoligami dari Pengadilan Agama.
f.
Apabila
suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya.
g.
Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Dalam Perkawinan Islam terdapat orang-orang yang dilarang melangsungkan
satu dengan yang lainnya dan hal tersebut diatur pada pasal 8 Undang-undang No.
I/1974 sebagai berikut:
-
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
-
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
-
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
-
Berhubungan sesususan,
yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
-
Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
-
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin
2. Hak-Hak
Anak
Anak merupakan sebuah karunia dari Allah swt. sekaligus sebagai amanah yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya serta akan dipertanggungjawabkan disisi Allah swt. Perlindungan anak disebutkan dalam Al-Qur’an S. al-Tahrim ayat (6) yang artinya: “…..Jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”. Makna kata keluarga dalam ayat tersebut mencakup istri dan anak. Adapun hak-hak anak dalam hukum Islam adalah:
a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
b. Hak anak dalam kesucian keturunannya
c. Hak untuk menerima pemberian nama yang baik
d. Hak menerima susuan
e. Hak Hadhanah
f. Hak dalam bidang pendidikan dan pengajaran. (Abdul Rozaq Husain, 1992, p: 22)
Hak anak seperti yang dikemukakan di atas tidak jauh berbeda dengan
materi hak anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Pada pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen II tanggal
18 Agustus 2000) disebutkan: “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan”. Hak anak secara lengkap dan lebih rinci
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 5 sampai dengan 18 sebagai
berikut:
a.
Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan
berpartisipasi secara wajar.
b.
Hak identitas diri dan status kewarganegsaraan.
c.
Hak untuk beribadah, berpikir dan
berekspresi.
d.
Hak mengetahui orang tuanya.
e.
Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
f.
Hak untuk mendapatkan
pendidikan.
g.
Hak untuk menyampaikan pendapat.
h.
Hak untuk memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, berekspresi dan berkreasi.
i.
Hak untuk mendapatkan
perlindungan.
Selain hak anak yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, diatur pula perinsip perlakukan terhadap anak. dirumuskan pada pasal 2 sebagai berikut:
a.
Non diskriminasi.
b.
Kepentingan terbaik bagi
anak.
c.
Hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan berkembangan.
d.
Penghargaan terhadap
pendapat anak .
Ancaman pidana bagi yang pelanggaran hak-hak anak misalnya di atur pula pada pasal 45 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 bahwa “Setiap orang dilarang melakukan aborsi
terhadap anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tatacara
yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Untuk
ancaman pidananya diatur pada pasal 77 A ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang
masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh
ketentuan perundang-undangan dalam pasal 45 A, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan / atau paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar). Demikian juga pasal 76 E disebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Untuk
ancaman pidananya di atur pada pasal 82 ayat (1) disebutkan “Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pasal 76 E di pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar).
3.
Status Anak
3.1. Anak Sah
Anak sah menurut fiqih ialah yang dilahirkan sekurang-kurangnya dalam enam bulan sesudah
nikah, atau 4 bulan sepuluh
hari sesudah kematian suami. (Andi Tahir Hamid, 2006, P. 32). Jadi Indikatornya, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat dari pernikahan yang sah dan waktu kelahiran anak tersebut
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan setelah perkawinan dan atau sehingga anak yang dilahirkan 4 (empat) bulan 10 (sepuluh)
hari bagi seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
Anak yang sah telah di atur pada pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai berikut: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah”. Hal tersebut juga di atur dalam pasal 99 huruf (a) INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. J. Satrio menjelaskan bahwa keturunan yang sah didasarkan atas adanya perkawinan yang sah, dalam arti bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkankelahiran dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah. (J. Satrio, 2000, P. 5).
Pada pasal 250 KUH Perdata disebutkan bahwa:“Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan
sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai
bapaknya” Dari pasal tersebut dipahami bahwa anak yang dilahirkan
dalam perkawinan yang sah memiliki hubungan hukum/memiliki status sebagai anak
kandung. Dengan adanya hubungan hukum
antara anak dengan ayah kandung, maka hak-hak
keperdataan melekat padanya
serta berhak memakai
nama belakang orang tuanya untuk menunjukkan asal usulnya.
3.2. Anak Lahir Di Luar Perkawinan
Anak yang lahir diluar pernikahan terbagi kepada beberapa kategori, yakni:
a. Anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat. Perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang sah menurut tata cara agama yang dianut masing-masing pasangan suami istri, akan tetapi tidak dicatatkan atau tidak dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat nikah.
b. Anak yang lahir tanpa perkawinan (akibat hamil di luar nikah). Anak yang lahir akibat hamil di luar nikah adalah anak yang lahir dari hubungan biologis antara seorang pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan.
c. Anak yang Di Li’an. Anak akibat adanya li’an dari orang tuanya termasuk kategori anak yang lahir di luar nikah. Kedudukan anak ini sama dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab bapaknya, melainkan mengikuti nasab ibunya. Ketentuan ini juga berlaku dalam hal kewarisan dan perkawinan bagi anak perempuan. (Abdul Manan, 2008, P. 39)
Keturunan yang tidak sah adalah
keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan
yang sah, orang menyebut anak yang demikian ini adalah anak luar kawin. Sehingga membawa konsekuensi dalam bidang
perwarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.( Riduan Syahrani, 1989,
P. 100-101)
II.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, aturan-aturan dan pendapat yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang diteliti. (Ranny Kautan, 2000, hal 38) Sifat penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.(Soerjono Soekanto, 1985: 15).
III.
Pembahasan
A. Sebab-Sebab Terjadinya
Perkawinan Tidak Tercatat.
Perkawinan tidak tercatat adalah
perkawinan yang dilakukan menurut ajaran agama yang dianut, namun tidak
didaftarkan pada pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama. Perkawinan tidak tercatat pada masyarakat
Indonesia biasa juga dikenal dengan istilah perkawinan di bawah tangan atau
perkawinan siri’/rahasia. Sepanjang pengalaman penulis dalam mengadili
perkara-perkara istbath nikah, baik yang digelar dalam bentuk layanan
terpadu/sidang keliling maupun yang disidang di ruang sidang pengadilan agama
tempat menulis bertugas adalah:
a. Imam yang dipercayakan mengurus adminitrasi
perkawinan tidak meneruskan pendaftarannya ke Kantor Urusan Agama yang
bersangkutan.
b.
Calon mempelai pria dan wanita tidak mampu membayar biaya adminitrasi
c.
Calon mempelai perempuan telah hamil di luar nikah
d.
Perkawinan dilakukan bagi mereka yang telah beristri.
B. Akibat Hukum Dari Perkawinan Tidak
Tercatat
Perkawinan tidak
tercatat, tidak diakui sebagai perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum menurut
hukum negara. Akibatnya, akan berdampak tidak saja pada tidak terpenuhinya
hak-hak perempuan yang dinikahi, tetapi juga berakibat tidak terpenuhi hak-hak
sebagai seorang anak yang dilahirkan.
Hak-hak dimaksud sebagai berikut:
a.
Hak Hubungan Nasab/Hubungan
Kekerabatan
Hubungan nasab/hubungan kekerabatan merupakan
peristiwa hukum yang terjadi pada saat adanya kelahiran. Ketika seorang anak lahir, maka ia mempunyai
hubungan kekerabatan/darah dengan ibu yang melahirkan. Apabila diketahui adanya hubungan darah antara
ibu dan anak, maka dicari pula hubungan laki-laki penyebab si ibu hamil.
(Harijah Damis, 2013, P: 67). Adanya hubungan nasab/hubungan darah/hubungan
kekerabatan antara anak dan ayah kandungnya yang diakui oleh negara, sebagai
akibat dari adanya akad nikah yang sah dan tercatat antara si ibu dan ayah si
anak.
Hak nasab anak sekaligus menentukan
sebagai anak sah akibat adanya perkawinan yang sah, diatur pada pasal 42
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah di
ubah dengan anak Undang Nomor 16 Tahun
2019 disebutkan: “anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, sehingga
anak yang lahir di luar lembaga perkawinan yang sah dan tidak tercatat hanya
mempunyai hubungan nasab/darah dengan ibunya yang melahirkan dan tidak ada
hubungan nasab/darah dengan laki-laki penyebab ibunya hamil.
Pada pasal 100 INPRES Nomor 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Adanya kejelasan nasab terhadap
seorang anak menentukan si anak memperoleh hak dari orang tuanya. Hak dimaksud antara lain seperti disebutkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang antara lain menyebutkan
bahwa salah satu hak seorang anak adalah hak untuk mengetahui orang tuanya.
b.
Hak-Hak Kebendaan
Perkawinan tidak tercatat mempersulit data
atau bukti adanya peristiwa perkawinan yang dilakukan oleh seseorang dan
berakibat anak biologisnya, tidak
mengetahui ayah biologisnya atau memungkinkan antara sesama anak biologis tidak
saling mengetahui. Hal lain yang
merupakan dampak dari perkawinan tidak tercatat adalah anak akan kehilangan hak
keperdataan dari ayah biologisnya.
Demikian juga, meskipun si anak
mengetahui ayah biologisnya akibat seorang anak lahir di luar nikah ataupun
mengetahui ayahnya karena perkawinan antara ibu dan ayahnya sah menurut agama
yang dianutnya, namun secara hukum negara status perkawinannya tidak mempunyai
kekuatan hukum, maka hal tersebut pula menjadi penyebab hilang nya hak
keperdataan si anak dengan ayah kandungnya.
Hak keperdataan anak yang tidak dapat
terpenuhi sebagai akibat perkawinan tercatat adalah hak keperdataan yang pada
umumnya harus dipenuhi oleh seorang ayah kandung seperti diatur pada pasal 46
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah di
ubah dengan anak Undang Nomor 16 Tahun
2019 yang pada pokoknya mengatur tentang kewajiban kedua orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya sampai anaknya dewasa
menurut hukum meskipun kedua orang tuanya telah bercerai.
Pada pasal 80 ayat 4 huruf (b dan c) INPRES
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan: “Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung…..biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak. Biaya bagi pendidikan bagi anak”.
Anak yang lahir akibat perkawinan
tidak tercatat atau anak yang lahir di luar nikah, hak nasabnya dan segala hak
keperdataannya hanya dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya.Pada pasal 43
Ayat (1) disebutkan bahwa: :Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”. Ketentuan
pasal tersebut menunjukkan sangat pentingnya pencatatat perkawinan sebagai bukti adanya
hubungan hukum antara seorang pria dan wanita dalam ikatan perkawinan, karena
akan memberikan kepastian hukum bagi istri dan anak terkait dengan hak-hak
keperdataannya. Hubungan perkawinan
maupun hubungan nasab dari akibat perkawinan yang sah dan tercatat memberikan
perlindungan hukum akan hak-hak keperdataan yang timbul misalnya hak
waris.
Hubungan kekerabatan sebagai sebab hubungan kewarisan atau menjadi
sebab seseorang mendapatkan bagian dari harta warisan dari yang ditinggalkan
oleh orang yang telah meninggal dunia. (Harijah Damis, 2013, P: 67). Dalam
al-Qur’an S. al-Nisa/4: 7 yang artinya: “Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari hartapeninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian bagian yang telah
ditetapkan”.
Akan tetapi anak dari perkawinan tidak tercatat, tidak mempunyai
perlindungan hukum untuk memperoleh haknya tersebut sebagai akibat perkawinan
tidak tercatat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam pandanganhuum
negara. M. Quraish Shihab menyatakan
bahwa perkawinan tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap
perempuan karena menghilangkan hak-hak kaum perempuan (M. Quraish Shihab, 2006,
P: 216)
C.
Solusi
1.
Istbath Nikah
Pengajuan perkara isbath nikah ke
Pengadilan Agama dimaksudkan untuk mengesahkan pernikahan khususnya bagi
beragama Islam yang dilakukan menurut tata cara agama Islam tetapi tidak
tercatat. Pengajuan isbath nikah tersebut sekaligus
untuk mendapatkan bukti perkawinan bagi mereka yang telah melakukan perkawinan
yang memenuhi rukun perkawinan. Pada
pasal 7 ayat (3) INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
disebutkan: “Dalam hal perkawinan tidak
dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbath nikahnya Ke
Pengadilan Agama”.
Apabila isbath nikah dikabulkan,
maka bagi pemohon dengan membawa penetapan isbath nikah dari Pengadilan Agama
mengajukan penerbitan buku nikah. Buku
Nikah yang dibuat oleh PPN kantor Urusan Agama Kecamatan merupakan bukti nikah
yang sah.
Bukti nikah berupa surat nikah menjadi dasar hukum bagi perempuan
(istri) untuk memperoleh hak-haknya selama dalam ikatan perkawinan. Bukti nikah
juga menjadi dasar bagi pasangan suami istri memperoleh hak-haknya ketika salah
satunya meninggal dunia, seperti hak waris dan hak harta bersama. Demikian juga anak yang dilahirkan.
2.
Wasiat wajibah
Wasiat wajibah merupakan sebuah
pembaharuan hukum Islam yang dituangkan
pada INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Wasiat wajibah
diperuntukkan bagi anak angkat yang tidak menerima wasiat dari orang tua
angkatnya. Pada pasal 209 ayat (2)
disebutkan: “Terhadap anak angkat yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya”. Latar belakang pemikiran pemberian wasiat
wajibah kepada anak angkat adalah karena orang yang sangat dekat dan bersama
dengan pewaris selama hidupnya tetapi tidak termasuk golongan ahli waris yang
berhak menerima warisan pewaris.
Wasiah wajibah kemudian ditetapkan
juga kepada anak non muslim (beda agama dengan pewaris sehingga terhalang untuk
menerima warisan) berdasarkan putusan Mahkmah Agung RI Nomor 51K/AG/1999,
tanggal 29 September 1999.
Anak yang lahir di luar perkawinan dan
dapat dibuktikan dengan dengan ilmu penetahuan siapa ayah biologisnya, maka
anak tersebut dipandang mempunyai hubungan kedekatan dengan ayah biologis. Oleh sebab itu, wasiat wajibah dapat pula
diterapkan pada kasus anak yang lahir di luar nikah sebagai analogi dari pasal
209 ayat (2) INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dengan
illat hukum yang sama.
IV.
KESIMPULAN
1.
Status hukum anak yang lahir dari dari akibat
perkawinan tidak tercatat dalam pandangan hukum negara hanya
mempunyai hubungan nasab/darah dengan ibunya yang melahirkan dan tidak ada
hubungan nasab/darah dengan laki-laki penyebab ibunya hamil.
2.
Pengajuan isbath nikah, sekaligus untuk
mendapatkan bukti perkawinan bagi mereka yang telah melakukan perkawinan yang
memenuhi rukun perkawinan merupakan bentuk perlindungan hak bagi anak yang lahir dari dari
akibat perkawinan tidak tercatat dan bagi anak yang lahir di luar perkawinan
dan dapat dibuktikan dengan ilmu penetahuan siapa ayah biologisnya, maka anak
tersebut dipandang mempunyai hubungan kedekatan dengan ayah biologis. Oleh sebab itu, wasiat wajibah dapat pula
diterapkan pada kasus anak yang lahir di luar nikah sebagai analogi dari pasal
209 ayat (2) INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dengan
illat hukum yang sama.
Daftar Pustaka
Damis, Harijah, 2009, Meredam prahara
melawan Perceraian, Cet. I; Jakarta:
MT. Al-Itqon.
Damis, Harijah, 2013, Memahami Pembagian Harta Warisan Secara Damai, Cet. I; Jakarta: MT.
Al-Itqon.
Kautan, Ranny, 2000, Metoden
Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, Bandung: Taruna Grafika.
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang.
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.
5.
Manan, Abdul, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam, Jakarta:
Kencana.
Nurudin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan,
2004, Hukum Perdata: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Jakarta:
Kencana.
Rozaq Husain, Abdul, 1992, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta:
Fikahasti Aneska.
Riduan Syahrani, Seluk
Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Penerbit
Alumni, 1989), 100-101.
M. Quraish Shihab, 2006, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati.
Tahir Hamid, Andi, 1996, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama
Dan Bidangnya, Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang dasar 1945 setelah amandemen.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Komentar
Posting Komentar