HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

(KAJIAN HAK NASABAH TERHADAP PENENTUAN NILAI LIMIT DAN PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETANYA)

Oleh: Hj. Harijah D.

(Hakim Tinggi pada PengadilanTinggi  Agama Makassar)

 

EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

PENENTUAN NILAI LIMIT

ABSTRAK

        Hukum ekonomi syariah merupakan hukum mengatur  kegiatan ekonomi syariah. Di Indonesia, perkembangannya sangat pesat seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah.  Antusias masyarakat ditandai menjamurnya pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik dalam bentuk Bait at-Tamwil, BPRS atau perbankan syariah.  Perningkatan tersebut menjadi peluang meningkatnya sengketa.  Sumber permasalahannya antara lain, penetapan limit sangat rendah dalam proses eksekusi Hak Tanggungan dan Pilihan penyelesaian sengketa yang dirumuskan dalam klausula baku.  Penetapan limit rendah merugikan pihak debitor karena hak menetukan nilai limit, hak sepihak dari kreditor sehingga cenderung menetapkan limit harga obyek jaminan berdasarkan kepentingannya, yakni senilai utang debitur harus dibayar tanpa mendasarkan pada nilai likuiditas berdasarkan NJOP. Permasalahan lain, penyelesaian sengketa dinarasikan dalam klausula baku tidak mencermikan adanya hak seimbang kreditor dengan debitor. Rumusan akad baku hanya dalam bentuk formulir, tidak memberikan opsi lain kepada calon nasabah untuk bersepakat, bernegosiasi dan tawar menawar, kecuali hanya dapat menyatakan pendapat menyetujui atau tidak perjanjian tersebut.  Untuk meminimalisir terjadinya sengketa, seharusnya dibuat regulasi baru, memberikan hak kepada  debitor untuk ikut memberikan pendapat dalam proses penetapan nilai limit obyek jaminan agar terpenuhi asas keadilan dalam proses lelang eksekusi Hak Tanggungan. Demikian juga, dalam merumuskan bentuk formulir klausula baku, narasi pasalnya belum mencermikan adanya keseimbangan hak para pihak, seharusnya dirumuskan ulang.

Kata Kunci:  Ekonomi syariah, nilai limit, klausula baku dan pilihan penyelesaian senegketa.

I.     PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

       Hukum Ekonomi syariah adalah serangkaian aturan yang mengikat mengenai kegiatan ekonomi dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dengan perinsip syariah berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.[1]Kegiatan ekonomi merupakan bagian dari aktivitas (hubungan) antar manusia dengan manusia lain kaitan dengan ekonomi syariah yang terimplementasi dalam bentuk hubungan untuk mengadakan perjanjian, hubungan dengan obyek ekonomi atau hukum yang berkaitan dengan benda-benda yang menjadi obyek ekonomi.

      Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sangat maju seiring  dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, baik pada tataran hukummnya maupun bidang produksi, distribusi, dan komsumsi.  Di bidang hukum misalnya, lahirnya Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Surat berharga Syariah Negara sebagai landasan yuridis melakukan kegiatan ekonomi syariah terkait dengan perbankan syariah dan surat-surat berharga syariah.

       Meningkatnya kegiatan ekonomi syariah di Indonesia merupakan salah satu bagian dari semakin meningkatnya kesadaran sebagian umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah,  Perkembangan ini memberikan harapan baru bagi pelaku usaha untuk menjalankan bisnis yang tidak hanya beroerintasi pada keuntungan materil semata, tetapi juga sesuai spirit hukum syariah yang menjanjikan kebutuhan batiniyah.[2] Antusias masyarakat terhadap pertumbuhan praktek ekonomi syariah sangat tinggi, terlebih dengan menjamurnya pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik dalam bentuk Bait at-Tamwil, BPRS atau perbankan syariah.  Perbankan syariah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai perinsip syariah.  Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah merupakan perinsip utama bagi bank syariah. Oleh karena itu bank syariah menerapkan ketentuan dengan menjauhkan diri dari unsur riba dan menjalankan prinsip bagi hasil dan sistem jual beli.[3]

        Kehadiran lembaga-lembaga keuangan syariah sekarang yang menunjukkan adanya perkembangan sangat signifikan, berpeluang terjadinya sengketa menjadi semakin meningkat.  Penyebab terjadinya sengketa ekonomi syariah sama halnya dengan sengketa pada umumnya. Lazimnya sengketa pada perbankan syariah terjadi setelah kedua belah pihah melakukan akad atau perjanjian dengab perinsip syariah, namun salah satu pihakmelakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukumsehingga mengakibatkan pihak yang lainnya merasa dirugikan.[4]

        Untuk kepastian hukum penyelesaian sengketa dan penegakan hukum atau penyelesaian sengketa terkait ekonomi syariah, telah diperkuat dengan amandemen pertama Undang-Undang  No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang menambah ruang lingkup tugas dan wewenang peradilan agama untuk memeriksa, mengadili, maupun menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah meliputi: Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, suratberhargaberjangkamenengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiunlembagakeuangan syariah, dan bisnis syariah.

        Orang-orang yang beragama Islam yang dimaksud, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang beragama Islam yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

         Undang-Undang No. 3 tahun 2006 secara normatif memberi kepastian hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan mutlak Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal tersebut berarti, Pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litagasi yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dalam implementasinya, kewenangan tersebut juga diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang menghapus adanya dualisme kewenangan sengketa ekonomi syariah antara peradilan umum dan peradilan agama.

        Sumber sengketa yang terjadi dalam masyarakat kaitannya dengan kegiatan ekonomi syariah, lebih pokus lagi pada kegiatan pembiayaan syariah, antara lain karena adanya kredit macet. Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. Pada pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa : "Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah (debitur) untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, tersirat makna bahwa kemampuan serta kesanggupan nasabah (debitur) untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan merupakan faktor utama dan syarat utama dalam pertimbangan pemberian kredit. Penilaianpemberian pasilitas pembiayaan dilakukan bank (kreditur) biasanya terhadap watak(characteristic), kemampuan(capacity), kondisi usaha (condition), modal (capital) dan jaminan (collateral).[5]

         Perinsip kehati-hatian terkait dengan watak(characteristic), kemampuan(capacity), kondisi usaha (condition), modal (capital) dan jaminan (collateral) menjadi acuan yang digunakan dalam pengajuan pembiayaan dari nasabah untuk dianalisi layak tidaknya mendapat pasilitas pembiayaan.  Berdasarkan perinsip 5 C, bank akan menentukan kelayakan kemampuan nasabah terhadap pembiayaan yang diterimanya sehingga nasabah mampu membayar berdasarkan waktu yang ditentukan.[6]

        Meskipun undang-undang telah menentukan berbagai faktor dan syarat dalam hal pemberian kredit atau pembiayaan dengan jaminan tertentu, namun kenyataan kredit macet masih saja terjadi, tidak sedikit jumlahnya dan menimbulkan berbagai permasalahan hukum ketika dalam proses lelang atau eksekusi hak tanggungan.  Ada dua hal yang menjadi permasalahan konvensional yang terjadi dalam proses lelang ekseskusi hak tanggungan, yakni: Pertama,  penetapan limit harga obyek jaminan terlalu rendah yang tentunya dirasakan sangat tidak adil dan merugikan nasabah (debitor).  Kedua. pilihan hukum penyelesaian sengketa yang diperjanjikan dalam klausula baku/akad bakudiakibatkan oleh rumusan yang dituangkan dalam akad tidak tegas dan jelas, bahkan terkadang hak menentukan pilihan hukum antara nasabah dan kreditor tidak seimbang.

       Penetapan nilai limit menjadi hak penjual (pihak pembiayaan), dan oleh karena menjadi hak sepihak, maka dalam menetapkan nilai limit berdasarkan sisa utang tanpa mempertimbangkan nilai likuiditas obyek jaminan yang menimbulkan ketidak adilan bagi nasabah. Di samping itu, pilihan penyelesaian sengketa yang telah dirumuskan dalam klausula baku tidak tegas dan tidak berimbangnya hak debitor dan kreditor, sehingga dapat menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan praktisi hukum maupun pelaku ekonomi syariah.  Oleh sebab itu, sangat menarik untuk mengkaji dua hal penting tersebut dan dalam tulisan ini penulis pokus terhadap penetapan nilai limit dan pilihan penyelesaian sengketa eksekusi hak tanggungan dalam klausula baku pada akad baku.

 

B.        Permasalahan

        Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka pokok masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah:

1.    Bagaimana hak nasabah terhadap penetapan nilai limit dalam proses eksekusi hak tanggungan ?

2.    Bagaimana hak nasabah menentukan pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa eksekusi hak tanggungan yang telah dirumuskan dalam klausula baku pada akd baku ?

3.    Bagaimana solusi bagi nasabah untuk mendapatkan yang seimbang terhadap penetapan nilai limit dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah ?

C.        Tinjauan Pustaka

1.    Eksekusi Hak Tanggungan

a.       Pengertian Hak Tanggungan

             Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak-hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. (Pasal 1 ayat(1) UU No. 4 Tahun 1996).

                  Selain jaminan dibebankan pada tanah, hak tanggungan dapat juga dibebankan kepada benda-benda atau bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, apabila benda-benda atau bangunan tersebut adalah juga milik dari pemilik atas tanah yang dibebankan hak tanggungan tersebut. Tetapi apabila benda-benda atau bangunan yang ada di atas tanah yang dibebani hak tanggungan itu bukan milik dari pemilik tanah yang dianggungkan, maka pembebanan hak tanggungan atas benda-benda atau bangunan yang di atas tanah tersebut dan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik benda-benda atau bangunan tersebut atau yang di berikuasa olehnya dengan akta otentik dan ikut bertanda tangan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan. (Pasal 4 ayat(4 dan 5) UU. No. 4 Tahun 1996)

b.      Spesifikasi Hak Tanggungan

        Sebagai jaminan pemenuhan kewajiban debitor kepada bank, Hak Tanggungan mempunyai ciri yang spesipik sebagaiberikut:

-          Hak Tanggungan memberikan hak preference (Droit De Preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu dari pada kreditur lain. Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor memperoleh hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditor yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain akan sangat menguntungkan pada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali pinjaman uang yang diberikannya kepada debitor yang cidera janji (Pasal 6 UU. No. 4 Tahun 1996).

-          Hak Tanggungan mengikuti tempat benda berada (Droit De Suite). Hal tersebut merupakan salah satu kekuatan lain Hak Tanggungan. Jadi, walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak lain atau orang lain (dalam hal ini misalnya di jual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan (dalam praktiknya dikenal dengan istilah dilakukan “roya”) oleh pemegang Hak Tanggungan dimaksud. Peralihan Hak Tanggungan bisa terjadi melalui proses hukum: merger (penggabungan perusahaan), akuisisi (pengambil alihan perusahaan), hibah, maupun pewarisan (Pasal 7 UU. No. 4 Tahun 1996).

-          Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada. Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada saat di buat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya (Pasal 2 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996).

-          Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan dengan cara penjualan di muka umum (Pasal 14 ayat (3) UU. No. 4 Tahun 1996).

-          Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas. Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak preference kreditur. Dengan adanya publisitas tersebut, pihak ketiga bisa mengecek status tanah melalui kantor pertanahan setempat. Tujuannya untuk menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan (pasal 13 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996).

-          Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu. Jadi apabila perjanjian pokok berakhir maka secara otomatis perjanjian Hak Tanggungan juga berakhir.

c.       Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan.

      Eksekusi Hak Tanggungan dilakukan apabila debitor cidera janji (wanprestasi). Eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan cara obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum.  Adapun  jenis eksekusi obyek hak tanggungan adalah:

1.  Parateexecutie. (eksekusilangsung) obyek hak tanggungan diatur pada:

       Pasal 6 UUHT sebagai berikut: “apabila debitor wanprestasi maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu”. 

       Pasal 11 hurup (e) sebagai berikut: “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”

        Pasal 20 ayat (1) hurup a sebagai berikut: “hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6”.

         Dari pasal-pasal tersebut di atas dipahami bahwa parate executie mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van eigenmachtig verkoop). Eksekusi parate dilakukan apabila debitor wanprestasi.

         Apabila debitor wanprestasi, maka kreditor sebagai pemegang hak tanggungan berhak untuk langsung mohon kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).  Walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun demikian, pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur pemegang hak tanggungan, tetapi harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi Hak Tanggungan.

         Pejabat lelang memproses pelaksanaan lelang berdasarkan permohonan eksekusi pemegang hak tanggungan, yang diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.

2. Eksekusipenjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan

             Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur pada:

       Pada pasal 20 ayat (2)  UUHT disebutkan:  Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkans emua pihak”.

       Pada pasal 20 ayat (3) UUHT disebutkan: Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewatwaktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.

        Pasal tersebut mengatur eksekusi penjualan di bawah tangan yang dapat dilakukan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semuapihak. Dengan kata lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa penjualan melalui pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parate atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksud pada Pasal 20 (1) a dan b UUHT tidakakan mencapai harga tertinggi.

        Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah yang bersangkutan serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. (Rum Nessa, dkk., 2015, P 269).

       3.  Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Melalui Pengadilan

            Eksekusi obyek hak tanggungan melalui Pengadilan di atur pada:

      Pasal ayat 20 (1) hurupb UUHT sebagai berikut:“titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya”.

       Pasal 14 ayat(2) dan (3) UUHTsebagaiberikut: Ayat (2): “Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memuatn irah-irahdengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANANYANG MAHA ESA".Ayat (3):“Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah

        Prosedur eksekusi melalui Pengadilan dilakukan dengan cara kreditor mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan, selanjutnya Pengadilan melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Prosedur eksekusi hak tanggungan melalui Pengadilan berpedoman pada Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

d.   Kredit macet

         Secara umum, kredit seperti dijelaskan pada pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah “penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam memimjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Dari ketentuan tersebut dipahami bahwa kredit merupakan sejumlah tagihan atas pinjaman sesuai perjanjian yang telah disepakai untuk melunasi hutang dalam jangka waktu tertentu yang terdiri dari utang pokok dan bunga.

        Pada (12) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 terdapat istilah pembiayaan syariah yang diatur pada pasal 1 ayat (12) bahwa “pembiayaan berdasarkan perinsip syariah  adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai  untuk menembalikan  uang atau tagihan tersebut setelah jangka  waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

        Mencermati kedua isi pasal tersebut di atas, pada dasarnya istilah kredit pada bank umum dan pembiayaan syariah  pada bank syariah, merupakan penyediaan uang atau tagihan yang jumlahnya didasarkan atas persetujuan bersama yanag dirumuskan dalam perjanjian, namun terdapat perbedaan tentang jenis tagihan yang harus dibayarkan dalam waktu tertentu, yakni pada bank umum disebutkan bunga, akan tetapi pada bank syariah disebut imbalan atau bagi hasil.   

       Kredit atau pembiayaan yang tidak tersedia sesuai waktu yang disepakati menjadi kredit bermasalah.  Kredit bermasalah juga dapat diartikan kredit yang tergolong kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet.[7]  Kredit macet dapat terjadi karena kelalaian nasabah (debitor) tidak membayar kewajiban kepada pihak yang kreditor. Kelalaian nasabah (debitor) tidak membayar kewajiban kepada pihak yang kreditor secara umum dipahami dalam masyarakat sebagai wanprestasi. Wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi suatu prestasi seperti yang telah diberikan peringatan atau somasi terhadapnya lebih dahulu.[8]

         Penyelesaian kredit macet dapat ditempuh melalui penyelesaian sengketa litgasi dan non litagasi.  Penyelesaian litigasi melalui non litigasi dapat ditempuh dengan menggunakan 10 cara sebagai berikut:

1.      Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

2.      Pengambilan agunan debitur (asset settlement).

3.      Penjualan piutang macet (cessie).

4.      Penggantian kreditor (subrogasi).

5.      Pembaharuan kredit (novasi).

6.      Pelunasan via penjamin utang.

7.      Penjualan agunan oleh debitor secara sukarela.

8.      Pelelangan agunan melaluk pelelangan secara sukarela.

9.      Penjualan agunan di bawah tangan.

10.  Penjualan agunan melalui parate eksekusi.[9]

Apabila Penyelesaian kredit macet dapat ditempuh melalui penyelesaian sengketa litigasi dapat ditempuh dengan menggunakan cara-cara sebagai berikut:

1.      Mengajukan permohonan eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan melalui Pengadilan Agama.

2.      Mengajukan permohonan eksekusi Grose Akta Pengakuan utang melalui Pengadilan Agama.

3.      Pihak kreditur mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Agama

e.  Penetapan limit harga dalam proses eksekusi hak Tanggungan

         Nilai Limit adalah harga minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh pemohon lelang. Penetapan limit harga merupakan merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon lelang pada setiappelaksanaan lelang.  Pada pasal 74 PMK Nomor 213/PMK06/2020 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dijelaskan sebagai berikut:

Ayat (1): Setiap pelaksanaan lelang disyaratkan harus terdapat nilai limit”.

Ayat (2): “Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penetapannya menjadi kewenangan dan tanggun jawab penjual”.

Ayat (4):  “Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus dicantumkan dalam pengumuman lelang”.

         Pemohon lelang bertanggung jawab terhadap penetapan nilai limit.[10] Pada pasal 13 ayat (1) hurup e PMK nomor 213/PMK06/2020 ditegaskan bahwa penjual bertanggung jawab terhadap kebenaran formil dan materil nilai limit.

2.  Pilihan Penyelesaian Sengketa dalam klausula Baku

a.       Klausula Baku

       Klasula baku adalahisi atau keketentuan yang terdapat dalam kontrak baku.[11] Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standar kontract, baku berarti patokan atau acuan.[12]Menurut  Mariam  Darus Badrulzaman klausula baku dapat didefinisikan  suatu  perjanjian  yang  telah dibakukan  atau  dituangkan  dalam  bentuk  formulir Klausula baku.[13] Klausula baku diatur pada Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokemendan /atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

        Dari ketentuan pasal tersebut dipahami bahwa Klausula baku merupakan salah satu jenis dari bentuk perjanjian, namun perjanjian tersebut telah dipersiapkan lebih dahulu dalam bentul formulir, sehingga bentuk dan isi perjanjiannya ditetapkan hanya secara sepihak oleh pelaku usaha. Akibat dari perjanjian baku beserta klausula baku yang terdapat dalam perjanjian itu menjadikan kedudukan pelaku usaha lebih dominan dan lebih kuat, sehingga klausula-kalausula dari perjanjian baku tersebut dirancang dan dirumuskan   untuk melindungi hak-hak atau kepentingan pelaku usaha atau pihak pemberi jasa.

         Penerapan perjanjian yang tidak seimbang  hanya menguntungkan pelaku usaha  sering muncul dalam bentuk perjanjian baku dan/atau klausula baku karena format dan isinya telah ditentukan sebelumnya secara sepihak.  Perjanjian semacan ini umumnya dicantumkan dalam setiap dokumenyang dibuat salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya.  Dikatakan bersifat baku karena baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan oleh pihak lainnya.[14]

          Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir dan hampir seluruh klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan[15].  Perjanjian baku yang berkembang dalam masyarakat antara lain:

1.       Bentuknya tertulis

      Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan  dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku.  Kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak  yang termuat dalam syarat-syarat baku, dibuat secara tertulis berupa akta outentik atau akta di bawah tangan.

2.       Formatnya dibakukan

      Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran dibakukan, artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya. Sehingga tidak dapat diganti, dirubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak.  Model perjanjian dapat berupa blangko naskah perjanjian lengkap atau blangko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku.

3.       Syarat-syaratnya ditentukan oleh pelaku usaha secara sepihak

        Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak oleh pelaku usaha atau organisasi pelaku usaha karena ssyarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh pelaku usaha, maka sifatnya lebih menguntungkan pihak pelaku usaha dari pada pada pelaku konsumen.  Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung jawab tersebut beralih menjadi beban konsumen.

4.       Konsumen hanya dapat menerima atau menolak

       Apabila konsumen menerima syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan kepadanya, maka harus menandatangani perjanjian tersebut.  Penadatanganan Perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia memikul beban tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajiban pelaku usaha. Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan tersebut, ia dapat menolak, namun tidak dapat melakukan negoisasi syarat-syarat yang sudah distantarisasikan tersebut.

5.       Isinya selalu menguntungkan pelaku usaha

       Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pelaku usaha, sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian isinya akan selalu menguntungkan pihak pelaku usaha.[16]

       Klausula baku banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam bahasa umum disebut juga sebagai disclaimer, yang bertujuan untuk melindungi pihak yang memberikan jasa tertentu.[17] Oleh sebab itu, pada Pasal 18 ayat (3 dan 4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2 dinyatakan batal demi hukum.  Pelaku usaha wajib menyusaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini”

b.    Pilihan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.

        Pilihan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat ditempuh dengan dua cara, litigasi dan non litigasai.  Penyelesaian sengketa melalui litigasi mejadi kewenangan mutlak Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.  Hal tersebut diatur pada pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 perubahan pertama Undang-Undang  No. 7 tahun 1989 TentangPeradilan Agama.

        Undang-Undang No. 3 tahun 2006 secara normatif memberi kepastian hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan mutlak Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal tersebut berarti, Pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litagasi yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.

         Kewenangan mutlak tersebut menjadi sebuah polemik pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.  Pada pasal 55  menentukan bahwa:

1.        Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

2.        Dalam hal para pihak memperjanjikan penyelesaian sengketa sebagaiman dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

3.        Penyelesaian sengketa senagaiman dimaksu pada ayat (2) tidak bertentangan dengan perinsip syariah.

       Konflik pilihan penyelesaian sengketa ekonomi syariah lahir akibat dua Undang-Undang yang isinya terdapat disharmonisasi, terselesaikan dengan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang menghapus adanya dualisme kewenangan sengketa ekonomi syariah antara peradilan umum dan peradilan agama.

        Penyelesaian sengketa melalui non litigasi dapat ditempuh dengan cara:

a.       Musyawarah.

b.      Mediasi perbankan

c.       Melalui Badan Arbutrasi Syariah Nasional atau lembaga arbitrasi lainnya.

II.      METODE

        Metodologi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh peneliti untuk melakukan suatu penelitian.  Salah satu tujuan dilakukan penelitian adalah untuk menemukan penemuan-penemuaan baru serta informasi-informasi yang dianalisis bertujuan memperoleh dalaman data.[18]  Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis emperis.  Penelitian hukum emperis (emperical law research) adalah penelitian hukum positif mengenai prilaku (behavior) anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarat.[19].

        Metode ini dipilih dalam tulisan ini karena mengetahui hak-hak nasabah (debitor) dalam penetapan limit harga obyek jaminan dalam proses eksekusi hak tanggung yang cenderung menimbulkan permasalahan antara dibitor dan kreditot dalam implementasinya di masyarakat.  Deminikian juga tentang pilihan penyelesaian sengketa yang tertuang dalam klausula baku pada akad baku yang masih menimbulkan persepsi yang berbeda oleh para pihak yang terkait.

III. PEMBAHASAN

A. Hak Nasabah (debitur) Dalam penetapan limit harga Dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam Klausula Baku

1.  Hak Nasabah (debitur) Dalam Penetapan Limit Harga Obyek Jaminan

          Penetapan limit harga obyek jaminan merupakan bagian dari salah satu syarat untuk mengajukan permohonan  lelang ke Kantor KPKNL.  Penentapan nilai limit oleh penjual seharusnya ditetapkan berdasarkan nilai yang layak dan dapat dipertanggung jawabkan agar terpenuhi asas-asas dalam yang harus dipenuhi dalam proses lelang.  Adapun asas yang dimaksud adalah:

a. Asas keterbukaan.  Asas ini menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama mengikuti lelang sesuai dengan aturan yang yang berlaku.  Karenanya, setiap lelang didahului pengumuman lelang.  Asas ini untuk mencegah terjadi rekayasa lelang antara pihak-pihak yang terkait dan mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).   (pasal 1 ayat 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme).   Penjabarannya, diatur pada  pasal 1 ayat (4) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan lelang  disebutkan: “Pengumuman lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan”;

b. Asas keadilan mengandung pengertian bahwa proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan.  Asas ini mencegah terjadinya keperpihakan pejabat lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya kepada kepentingan penjual, khusus menyangkut lelang eksekusi, penjual tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi.  Penjabaran asas ini, penentuan limit berdasarkan metode yang dapat dipertanggung jawabkan.  Hal tersebut djabarkan pada  pasal 47 ayat (3)  PMK. RI No. 213/PMK.06/2020, yakni penegasan penentuan limit dengan metode yang dapat dipertanggung jawabkan, agar pihak terutama pemilik obyek jaminan tidak dirugikan dan mendapatkan keadilan harga yang ditentukan oleh penjual;

c. Asas kepastian hukum. Asas ini menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang.  Setiap pelaksanaan lelang dibuat risalah lelang oleh pejabat lelang yang merupakan akte otentik.  Risalah lelang digunakan penjual/pemilik barang, pembeli dan pejabat lelang untuk mempertahankan hak, melaksanakan hak dan kewajiban.  Kewajiban membuat risalah lelang diatur pada pasal 87 ayat (1) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020;

d. Asas Efisiensi. Yaitu asas yang akan menjamin pelaksanaaan lelang dilakukan dengan cepat dan biaya ringan/relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan.  Pembeli/pemenang disahkan pada saat itu juga.

e. Asas akuntabilitas menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh pejabat lelang dapat dipertanggung jawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan.  Pertanggungjawaban pejabat lelang meliputi adminitrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.[20]

        Asas keadilan dalam proses lelang dimaksudkan, dalam pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan.  Asas ini mencegah terjadinya keperpihakan pejabat lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya kepada kepentingan penjual. Penjual tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi.  Dalam berbagai perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama yang menjadi sumber sengketa adalah penetapan nilai limit yang sangat rendah dengan hanya mempertimbangkan kepentingan kreditor berdasarkan sisa utang yang harus dibayar tanpa mempertimbangakan nilai likuiditas obyek jaminan sesuai NJOP.  Tindakan sepihak seperti itu mengakibatkan Debitor (pihak tereksekusi tidak mendapatkan keadilan dalam penentuan harga (penetapan limit) obyek jaminan, karena hanya di tetapkan secara sepihak oleh pihak kreditor yang dengan sendirinya dilandasasi kepentingannya tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain.

       Permasalahan yang muncul dalam penetapan limit harga obyek jaminan karena pihak kreditur menetapkan limit harga yang terlalu rendah, sehingga pihak nasabah mersakan adanya ketidak adilan.  penetapan limit harga obyek jaminan yang sangat rendah dan menjadi sumber sengketa disebabkan:

1.      Adanya hak yang tidak seimbang dalam menetukan limit harga pada tataran hukum normatif. Hak menentukan limit harga menjadi hak/kewenangan tanggung jawab penjual (kreditor) sebagaimana diatur pada pasal 47 ayat (2) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020.

      Hak seimbang yang diperuntukkan bagi nasabah (debitor) untuk ikut serta dalam penentuan nilai limit sama sekali tidak diatur dalam aturan normatif yang berlaku.  Dengan tidak adanya perimbangan hak antara Debitor dan Kreditor kaitannya dengan penetapan nilai limit tersebut, menjadikan Debitor dalam posisi lemah dan rentang mendapatkan ketidak adilan harga obyek yang dijadikan Hak Tanggungan.

2.      Metode yang digunakan oleh pihak Pembiayaan/Perbankan dalam melakukan penilaian terhadap obyek jaminan debitur yang akan dilelang diatur secara tegas dan jelas, yakni patokan penetapan limit harga apakah metode penetapan nilai limit berdasarkan nilai likuiditas objek jaminan, atau sebatas pada utang yang ditanggung oleh debitur atau menggunakan harga pasar yang diperoleh dari survei langsung pasaran.  Kecenderungan penetapan limit harga obyek jaminan didasarkan pada nilai utang debitur tanpa memperimbangkan kepentingan dan keadilan bagi debitur yang menimbulkan sebagai sumber sengketa dalam penanganan kredit macet.

 

         Pada praktiknya banyak sekali ditemukan kreditor menetapkan limit harga barang jaminan hak tanggungan di bawah harga yang wajar bahkan sering ditemukan kreditur menjual jaminan  bukan menggunakan nilai likuidasi yang sesungguhnya, namun nilai utang.[21]

        Penetapan nilai limit dalam proses lelang hak tanggungan berpeluang menimbulkan permasalahan hukum (sengketa) ketika dalam menetapkan limit harga obyek jaminan yang terlalu rendah, dimana pihak debitor (nasabah) merasa mendapat perlakuan tidak adil dari pihak kreditor (pembiayaan).  Penetapan limit harga obyek sengketa hanya keputusan sepihak untuk kepentingan pihak kreditor, tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak nasabah.

       Contoh kasus pada Akad Pembiayaan Murabahah no. 65 yang di buat di hadapan Hj. Siti Reynar, S.H., notaris di Lamongan pada tanggal 12 Desember 2013, diajukan gugatan oleh pihak nasabah (debitur) ke Pengadilan Agama setempat karena pihak kreditor telah menetapkan limit harga obyek jaminan sebesar Rp. 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), di lelang sebesar Rp. 74.795.000,- (tujuh puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah)untuk pembayaran sisa utang sebesar Rp. 65.346.620. (enam puluh lima juta tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus dua puluh rupiah.  Hasil lelang tersebut hanya cukup untuk membayar sisa utang debitor berikut biaya-biaya yang dikeluarkan kreditor dalam proses lelang dan biaya adminitrasi.

        Atas penetapan limit harga obyek jaminan oleh pihak kreditor (pembiayaan) tersebut,  nasabah (debitur) merasa sangat dirugikan dan atau tidak mendapatkan keadilan.  Penetapan nilai limit oleh pihak kreditor (penjual) dipandang hanya akal-akalan saja untuk sekedar melunasi hutang debitor dan biaya-biaya adminitrasi lainnya karena obyek jaminan berupa sebuah tanah Tanah seluas 1407 M2 dan atasnya terdapat bangunan rumah dan penggilingan padi.

        Dalam proses persidangan, pada tahap pembuktian, pihak debitor mengajukan bukti surat berupa laporan penilaian obyek sengketa dari Kantor Jasa Penilaian Publik Sugianto Prasodjo dan Rekan dengan wilayah kerja KJPP. yang dilakukan pada tanggal 20 Februari 2019 terhadap Sebidang tanah berikut bangunan yang terurai dalam sertifikat hak milik (SHM) nomor 297, seluas 1.407 M2 yang menjadi jaminan dengan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) dan menyimpulkan nilai pasar sejumlah Rp. 800.950.000,- (delapan ratus juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) dengan rincian:Tanah seluas 1407 M2 senilai Rp. 492.450.000,-Bangunan seluas 314 M2 senilai Rp. 304.000.000,- dan Sarana pelengkap Rp.4.500.000.

       Perbedaan harga ditetapkan oleh penjual (kreditur) selaku pemohon lelang sangat jauh selisihnya dengan penilaian obyek sengketa dari Kantor Jasa Penilaian Publik Sugianto Prasodjo dan Rekan dengan wilayah kerja KJPP.  Hal tersebut diakibatkan pihak debitor tidak dilibatkan dan atau didengar pendapatnya sebelum ditetapkan penetapan limit harga obyek jaminan.  Penetapan limit harga obyeks jaminan oleh penjual hanya didasarkan pada nilai utang debitor tyang tersisa ditambah dengan biaya-biaya lainnya yang harus dikeluarkan pihak penjual dalam proses lelang. 

B.  Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam Klausula Baku

         Salah bagian yang tidak seimbang antara hak nasabah (debitor) dengan hak kreditor dalam rumusan klausula baku adalah tentang pilihan penyelesaian sengketa. Ketidak seimbangan hak dalam menetapkan pilihan penyelesaian sengketa  terdapat pada rumusan klausula penyelesaian sengketa yang tidak tegas dan jelas.  Akibatnya, masih menimbulkan perbedaan pendapat atau penafsiran, menjadikan adanya ketidak pastian bagi nasabah menentukan pilihan penyelesaian sengketanya.

         Contoh kasus, pada Akad Jual Beli–Murabahah No. 009/ULS-MROS/PP-MRB/II/2019 tanggal 26 Februari 2019. Permasalahan pada Akad Jual Beli tersebut diawali dari kredit macet. Pada proses laleng, pihak debitor merasa sangat dirugikan dari hasil penjualan obyek jaminan dalam proses lelang.  Objek jaminan berupa rumah dan toko dijual dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga pasar. Obyek jaminan terjual dalam proses lelang dengan harga Rp.220.000.000 (dua ratus dua puluh juta rupiah) sesuai nilai limit yang ditetapkan penjual (kreditor).

          Permasalahan nilai limit memunculkan permasalahan selanjutnya terkait dengan pilihan penyelesaian sengketa.  Hal itu terjadi karena tidak disebutkan adanya hak seimbang antara debitur dengan kreditur untuk menentukan pilihan penyelesaian sengketa dalam akad yang diperjanjikan.  Oleh karena rumusan dalam klausula baku dalam perjanjian baku tersebut hanya menyebut “tidak mengurangi hak Penjual berdasarkan pertimbangannya sendiri, untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan tersebut melalui proses Pengadilan Agama Maros” tidak menyebut hak yang sama bagi debitur untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa secara litigasi. 

        Rumusan klausula pilihan penyelesaian sengketa pada akad tersebut menimbulkan multi persepsi/penafsiran, sehingga pihak debitur mengajukan sengketanya ke Pengadilan Negeri Maros. Namun demikian, Pengadilan Negeri Maros menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara tersebut karena kewenangan Pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama dengan putusan Nomor: 4/Pdt.Bth/2022/PN.Mrs yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim tanggal 30 Mei 2022 dan telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor : 255/PDT/2022/PT.MKS tanggal 25 Agustus 2022.

       Selanjutnya, sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Maros, namun eksepsi tentang kewenangan dari pihak kreditur dikabulkan dengan pertimbangan para pihak sepakat dalam hal terdapat sengketa atau perselisihan yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melalui dan menurut prosedur peraturan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

       Pada akad/perjanjian baku tersebut terdapat klausula baku yang merumuskan tentang penyelesaian sengketa bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian. Pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 dari isi perjanjian tersebut di rumuskan penyelesaian sengketa sebagai berikut:

Ayat (1) “Para Pihaksepakatdalamhalterdapatsengketaatauperselisihan yang ada hubungannya dengan Akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melalui dan menuru tprosedur peraturan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dimana putusan BASYARNAS merupakanputusan final dan mengikat Para Pihak.”

Ayat (2) “Pemilihan prosedur penyelesaian sengketa dimaksud dalam ayat 1 tersebut di atas, tidak mengurangi hak PENJUAL berdasarkan pertimbangannya sendiri, untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan tersebut melalui Proses Pengadilan Agama Maros dimana sengketa terjadi dalam wilayah Negara Republik Indonesia”.

        Rumusan klausula baku terkait pilihan penyelesaian sengketa, dipahami secara umum, pada tataran normatifnya mengikat debitur dan kreditur serta mempunyai konsekwensi hukum yang harus dipatuhi berdasarkanPasal 1313 KUHPerdata bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

        Isi perjanjian itu mengikat sebagai Undang-Undang bagi penggugat dan Tergugat yang membuat perjanjian tersebut (pacta sunt servanda) berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang isi pasalnya sebagai berikut:“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

        Meskipun telah diperjanjikan, namun secara teoritis kalausula baku masih mengandung perdebatan, khusus kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)dan syarat-syarat perjanjian.  Dalam perjanjian baku, kebebasan dan pemberian kesepakatan untuk melakukan kontrak tidak dilakukan sebebas dengan perjanjian secara langsung, dengan melibatkan para pihak untuk menegoisasikan klausula perjanjian.[22]

        Selain itu, klausula baku dalam perjanjian baku seperti contoh kasus tersebut di atas tidak memenuhi asas keadilan dan kebebasan berkontrak karena tidak terpenuhi tawar-tawar para pihak yang seimbang.  Isi perjanjiannya tidak bisa dikompromikan lagi karena sudah dalam bentuk formulir, hanya ada dua pilihan kemungkinan bagi calon nasabah (debitor), yakni setuju atau tidak setuju.  isi perjanjiannya juga tidak dapat dinegosiasikan walaupun ada yang hak yang tidak seimbang antara debitor dan kreditor dalam menentukan pilihan penyelesaian sengketa.  Kreditur dapat mengajukan sengketa ke Pengadilan Agama setempat apbila atas kehendak dan atas pertimbangannya sendiri, sementara debitor tidak disebutkan haknya dalam klasula perjanjian.

        Dari contoh kasus tersebut tidak selain tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak pada tataran hukum normatif juga tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak menurut hukum perikatan Islam.

Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perikatan Islam dituangkan dalam perinsip “antradhin minkum” sebagaimana diatur  dalam Q.S. al-Nisa (4) ayat 29, dan hadis Nabi Saw yaitu sesuatu perkara atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila kesepakatan (antradhin) yang terwujud dalam 2 (dua) pilar, yaitu ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan).[23]

 

IV.        PENUTUP

A.      Kesimpulan

          Berdasarkanpembahasan tersebut di atas diperoleh simpulan sebagai berikut:

1.        Nasabah tidak mempunyai hak untuk ikut serta dalam mentukan nilai limit (limit harga obyek jaminan) dalam proses pengajuan permohonan eksekusi hak eksekusi hak tanggungan ke KPKNL.  Hak mentukan atau membuat penetapan nilai limit (limit harga obyek jaminan) menjadi hak sepihak oleh pihak kreditur (penjual) selaku pemohon lelang berdasarkan ketentuan pada PMK. RI No. 213/PMK.06/2020, sehingga penetapan limit harga obyek jaminan hak tanggungan cenderung untuk memenuhi kebutuhan kepentingan kreditur untuk pemenuhan pembayaran utang nasabah.

2.        Hak nasabah menentukan pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa  eksekusi hak tanggungan terhadap klausula baku sesuai yang telah diperjanjikan dalam perjanjian yang telah disepakati bersama masih tidak seimbang dengan hak kreditor.

3.        Solusi bagi nasabah untuk mendapatkan hak yang seimbang terhadap penetapan nilai limit (limit harga obyek jaminan) yang tidak merugikan baginya, seharusnya dibuat regulasi pada tataran normatifnya agar nasabah diberi hak untuk memberikan pendapat dan atau masukan terhadap penetapan limit harga obyek jaminan yang akan dilelang. Untuk mendapatkan hak yang seimbang antara debitor dan kreditu dalam menentukan pilihan penyelesaian sengketa, maka seharusnya dalam klausula baku dirumuskan secara jelas dan pilihan penyelesaian sengketa   litigasi dan non litigasi dengan hak yang sama.

B.       Rekomendasi

1.        Penetapan nilai limit dalam proses eksekusi hak tanggungan merupakan hak sepihak kreditor sebagaimana diatur pada PMK. RI No. 213/PMK.06/2020, dan dalam implementasinya ditemukan permasalahan yang berdampak pada tidak terpenuhinya asas keadilan berkontrak terutama dirasakan oleh pihak debitor, sehingga dibutuhkan adanya regulasi yang memberikana hak seimbang kepada pihak debitor agar tercipta iklim berusaha yang seimbang pada masyarakat.

2.        Agar terpenuhinya keseimbangan hak dalam menentukan pilihan penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang telah dirumuskan dalam klausula baku pada akad baku dan agar terwujudnya keadilan dan kebebasan berkontrak, para pihak memperhatikan kedudukan masing, isi perjanjian yang dilakukan serta adanya pemahaman terkait dengan klausula yang diperjanjikan.  Hak tersebut menghindari terjadinya ada pihak merasa dirugikan, perlu digagas pertemuan ataupun seminar tentang perumusan legal drafting terkait dengan perjanjian (akad) dengan mempertegas pilihan hukum litgasi ke Pengadilan Agama dengan hak sama antara debitor dan kreditor serta pilihan hukum melalui non litagisi yang kedudukan terdapat didaerah- daerah yang dapat dijangkau oleh masyarakat ketika terjadi sengketa.

3.        Masih perlu diadakan seminar atau FGD khususnya bagi para hakim Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang dilaksanakan oleh HISSI dan Badilag untuk memperdalam pemahanan terkait penyelesaian sengketa ekonomi syariah dari berbagai sudut kajian agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum tentang penyelesaian sengketa yang dirumuskan tidak tegas dan masih samar pada klausula baku dan akad baku.

DAFTAR PUSTAKA

Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Penemuan Hukum Dan Kaidah Hukum, Jakarta: Predana Media Group, 2018.

----------, Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah, Cet; I, Jakarta: Kencana, 2020.

Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuanagan Syariah, Yokyakatra: GrahaIlmu, 2010.

Hamonangan, Analisis Perinsip 5 C Dalam Penyaluran Pembiayaan Pada Bank Muamalat KCU Padang Sidempuang, Jurnal Ilmiah MEA Vol. 4 No. 2, Agustus 2020

Hariyani,Iswi Restrukturisasi &Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Oandang Hukum Bisnis), Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006.

Iskandar, M. Roji Pengaturan Kalusula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen dan Hukum Perjanjian Syariah, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, Vol. 1 No. 2, 2017.

Dewi, Gemala; Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007,

https://news,detik,com, Egran Eko Budianto, Utang Rp55 Juta, Rumah Mewah eks Kades Dilelang Danamon Rp 55 Juta, , diakses pada tanggal

http://mas-marto.blogspot.co.id/2014/11/eksekusi-hak-tanggungan, Sumarto, 2014, PelaksanaanEksekusiHakTanggunganBerdasarkan UU No. 4 Tahun 1996, diaksesdari. html.

http://id.wikipedia.org/wiki/kredit_(keuangan), akses pada tanggal 17 Januari 2017.

https://journal.uinsgd.ac.id. Dudang Gojali, Implementasi Hukum Ekonomi SyariahPada Lembaga Keuanga Syariah, akses

https://www.cermati.com. Perinsip 5 C Bank dan Cara Kredit, diakses

https://Journal.uho.ac.id/index.php/holresch. Penerapan Asas Keadilan Terhadap Penetapan Limitpada Proses Pelelangan Hak Tanggungan Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLP) Kota Kendari, diakses

https://ojs.unud.ac.id/index.ph/kerthasemaya/article/view/45887Ratna Sari, et.alPerlindungan HukumKepada Konsumen TerhadapPenggunaan Klausula Baku Yang Tercantum Pada Toko Online,

https://www.kajianpustaka.com /2020/05/lelang-pengertian-fungsi-jenis-asas-dan-prosedur.htmlMuchlisinRiadi, Lelang/PenjualanUmum (Pengertian, Fungsi, Jenis, Asas dan Prosedur), 2020,

Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Secara Online Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, aks

https://www.kajianpustaka.com /2020/05/lelang-pengertian-fungsi-jenis-asas-dan-prosedur.html,MuchlisinRiadi, Lelang/PenjualanUmum (Pengertian, Fungsi, Jenis, Asas dan Prosedur), 2020, diakses pada tangga

Mardani, 2010, Hukum Acara Peradilan Agama &Mahkamah Syariah, Cet. II; Jakarta: SinarGrafika

Muhammad, A. K., Perjanjian Baku Dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992

Nessa, Rum, dkk., 2016, Membumikan Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. I; Yokyakarta: UII Press.

Kristiyanti, C.T.S. (Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika,2009

Perwataatamaja, Karnaenet al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Wjayanti & Ahmad, Strategi Penulisan Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2011.



       [1]. https://journal.uinsgd.ac.id. Dudang Gojali, Implementasi Hukum Ekonomi SyariahPada Lembaga Keuanga Syariah, akses pada tanggal 7 Februari 2023.

       [2]. Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuanagan Syariah (Yokyakatra: Graha Ilmu, 2010), hlm 2.

         [3]. KarnaenPerwataatamaja, et al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), halaman 17-18.

         [4]. Amran Suadi, Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah (Cet; I, Jakarta: Kencana, 2020), halanan 41.

        [5]. https://www.cermati.com. Perinsip 5 C Bank dan Cara Kredit, diakses pada tanggal 7 Februari 2023.

        [6].Hamonangan, Analisis Perinsip 5 C Dalam Penyaluran Pembiayaan Pada Bank Muamalat KCU Padang Sidempuang, Jurnal Ilmiah MEA Vol. 4 No. 2, Agustus 2020, Hlm 455.

[7]. Iswi Hariyani, Restrukturisasi &Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010, hlm 35.

         [8]. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Penemuan Hukum Dan Kaidah Hukum (Jakarta: Predana Media Group, 2018), hlm 131-132

         [9]. Iswi Hariyani, Op.cit., hlm 203.

        [10]. https://Journal.uho.ac.id/index.php/holresch. Penerapan Asas Keadilan Terhadap Penetapan Limitpada Proses Pelelangan Hak Tanggungan Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLP) Kota Kendari, diakses pada tanggal 7 Februari 2023.

         [11]. Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Oandang Hukum Bisnis, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm 76.

        [12].M. Roji Iskandar, Pengaturan Kalusula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen dan Hukum Perjanjian Syariah, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah, Vol. 1 No. 2, 2017, hlm. 203.

       [13].https://ojs.unud.ac.id/index.ph/kerthasemaya/article/view/45887,, Ratna Sari, et.al PerlindunganHukumKepada Konsumen TerhadapPenggunaan Klausula Baku Yang Tercantum Pada Toko Online, akses pada tanggal 7 Februari 2023.

[14]. Ibid. h. 96

[15]. Kristiyanti, C.T.S. (Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika,2009), hlm. 139.

       [16].Muhammad, A. K., Perjanjian Baku Dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 6.

         [17].https://ojs.unud.ac.id, Ari Dwipayana, Kadek , Pengaturan klausula Baku Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Secara Online Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, akses

       [18] . Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 38.

       [19] . Wjayanti & Ahmad, Strategi Penulisan Hukum, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm 97

       [20].https://www.kajianpustaka.com /2020/05/lelang-pengertian-fungsi-jenis-asas-dan-prosedur.html, MuchlisinRiadi, Lelang/PenjualanUmum (Pengertian, Fungsi, Jenis, Asas dan Prosedur), 2020, diakses pada atanggal 7 Februari 2023.

       [21]. https://news.detik.com/berita -jawa-timur , Egran Eko Budianto, Utang Rp55 Juta, Rumah Mewah eks Kades Dilelang Danamon Rp 55 Juta, diakses pada tanggal 7 Februari 2023.

         [22]. M. Roji Iskandar, op.cit. hlm. 207.

         [23]. lihat Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. hlm. 204-208

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA

Analisis Putusan Kasus Hadhanah