HUKUM EKONOMI
SYARIAH DI INDONESIA
(KAJIAN HAK NASABAH TERHADAP PENENTUAN NILAI LIMIT
DAN PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETANYA)
Oleh: Hj.
Harijah D.
(Hakim Tinggi
pada PengadilanTinggi Agama Makassar)
EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
PENENTUAN NILAI LIMIT
ABSTRAK
Hukum
ekonomi syariah merupakan hukum
mengatur kegiatan ekonomi syariah. Di
Indonesia, perkembangannya sangat pesat seiring semakin meningkatnya kesadaran umat Islam
untuk melaksanakan Islam secara kaffah. Antusias masyarakat ditandai menjamurnya pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik dalam
bentuk Bait at-Tamwil, BPRS atau perbankan syariah. Perningkatan tersebut menjadi peluang
meningkatnya sengketa. Sumber permasalahannya antara lain, penetapan limit sangat rendah dalam proses eksekusi Hak Tanggungan dan
Pilihan penyelesaian sengketa yang dirumuskan dalam klausula baku. Penetapan limit rendah merugikan pihak debitor
karena hak menetukan nilai limit, hak sepihak dari kreditor sehingga cenderung
menetapkan limit harga obyek jaminan berdasarkan kepentingannya, yakni senilai
utang debitur harus dibayar tanpa mendasarkan pada nilai likuiditas berdasarkan
NJOP. Permasalahan lain, penyelesaian sengketa dinarasikan dalam klausula baku
tidak mencermikan adanya hak seimbang kreditor dengan debitor. Rumusan akad
baku hanya dalam bentuk formulir, tidak memberikan opsi lain kepada calon
nasabah untuk bersepakat, bernegosiasi dan tawar menawar, kecuali hanya dapat
menyatakan pendapat menyetujui atau tidak perjanjian tersebut. Untuk meminimalisir terjadinya sengketa,
seharusnya dibuat regulasi baru, memberikan hak kepada debitor untuk ikut memberikan pendapat dalam
proses penetapan nilai limit obyek jaminan agar terpenuhi asas keadilan dalam
proses lelang eksekusi Hak Tanggungan. Demikian juga, dalam merumuskan bentuk formulir
klausula baku, narasi pasalnya belum mencermikan adanya keseimbangan hak para
pihak, seharusnya dirumuskan ulang.
Kata Kunci:
Ekonomi syariah, nilai limit, klausula baku dan pilihan penyelesaian
senegketa.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum
Ekonomi syariah adalah serangkaian aturan yang mengikat mengenai kegiatan
ekonomi dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dengan perinsip syariah
berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.[1]Kegiatan ekonomi merupakan bagian dari aktivitas
(hubungan) antar manusia dengan manusia lain kaitan dengan ekonomi syariah yang
terimplementasi dalam bentuk hubungan untuk mengadakan perjanjian, hubungan
dengan obyek ekonomi atau hukum yang berkaitan dengan benda-benda yang menjadi
obyek ekonomi.
Perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia sangat maju seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, baik
pada tataran hukummnya maupun bidang produksi, distribusi, dan komsumsi. Di bidang hukum misalnya, lahirnya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Surat berharga
Syariah Negara sebagai landasan yuridis melakukan kegiatan ekonomi syariah
terkait dengan perbankan syariah dan surat-surat berharga syariah.
Meningkatnya kegiatan ekonomi syariah di
Indonesia merupakan salah satu bagian dari semakin meningkatnya kesadaran sebagian
umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah, Perkembangan ini memberikan harapan baru bagi
pelaku usaha untuk menjalankan bisnis yang tidak hanya beroerintasi pada
keuntungan materil semata, tetapi juga sesuai spirit hukum syariah yang
menjanjikan kebutuhan batiniyah.[2] Antusias masyarakat terhadap pertumbuhan praktek ekonomi syariah sangat
tinggi, terlebih dengan menjamurnya pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
baik dalam bentuk Bait at-Tamwil, BPRS atau perbankan syariah. Perbankan syariah menjadi wadah terpercaya bagi
masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai
perinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan
bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah merupakan perinsip
utama bagi bank syariah. Oleh karena itu bank syariah menerapkan ketentuan dengan
menjauhkan diri dari unsur riba dan menjalankan prinsip bagi hasil dan sistem jual
beli.[3]
Kehadiran lembaga-lembaga keuangan syariah
sekarang yang menunjukkan adanya perkembangan sangat signifikan, berpeluang terjadinya
sengketa menjadi semakin meningkat.
Penyebab terjadinya sengketa ekonomi syariah sama halnya dengan sengketa
pada umumnya. Lazimnya sengketa pada perbankan syariah terjadi setelah kedua
belah pihah melakukan akad atau perjanjian dengab perinsip syariah, namun salah
satu pihakmelakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukumsehingga
mengakibatkan pihak yang lainnya merasa dirugikan.[4]
Untuk kepastian hukum penyelesaian sengketa dan penegakan hukum atau penyelesaian
sengketa terkait ekonomi syariah, telah diperkuat dengan amandemen pertama Undang-Undang
No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang No. 3
tahun 2006 yang menambah ruang lingkup tugas dan wewenang peradilan agama untuk
memeriksa, mengadili, maupun menyelesaikan perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang ekonomi syariah meliputi: Bank syariah, lembaga keuangan
mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah,
obligasi syariah, suratberhargaberjangkamenengah syariah, sekuritas syariah,
pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiunlembagakeuangan syariah, dan
bisnis syariah.
Orang-orang yang beragama Islam yang
dimaksud, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang beragama Islam yang
mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang
dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 secara
normatif memberi kepastian hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan mutlak Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Hal tersebut berarti, Pengadilan dalam lingkungan
peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litagasi yang menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Dalam implementasinya, kewenangan tersebut juga
diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang
menghapus adanya dualisme kewenangan sengketa ekonomi syariah antara peradilan
umum dan peradilan agama.
Sumber sengketa yang terjadi dalam
masyarakat kaitannya dengan kegiatan ekonomi syariah, lebih pokus lagi pada
kegiatan pembiayaan syariah, antara lain karena adanya kredit macet. Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang
memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk
dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. Pada pasal 8 ayat
(1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :
"Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau
itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah (debitur) untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan”.Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, tersirat makna bahwa kemampuan
serta kesanggupan nasabah (debitur) untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan merupakan faktor utama dan syarat utama dalam pertimbangan pemberian
kredit. Penilaianpemberian
pasilitas pembiayaan dilakukan bank (kreditur) biasanya terhadap watak(characteristic), kemampuan(capacity), kondisi usaha (condition), modal (capital) dan jaminan (collateral).[5]
Perinsip kehati-hatian terkait dengan watak(characteristic),
kemampuan(capacity), kondisi usaha (condition), modal (capital) dan jaminan (collateral) menjadi acuan yang digunakan dalam pengajuan pembiayaan dari nasabah untuk
dianalisi layak tidaknya mendapat pasilitas pembiayaan. Berdasarkan perinsip 5 C, bank akan
menentukan kelayakan kemampuan nasabah terhadap pembiayaan yang diterimanya
sehingga nasabah mampu membayar berdasarkan waktu yang ditentukan.[6]
Meskipun
undang-undang telah menentukan berbagai faktor dan syarat dalam hal pemberian
kredit atau pembiayaan dengan jaminan tertentu, namun kenyataan kredit macet
masih saja terjadi, tidak sedikit jumlahnya dan menimbulkan berbagai
permasalahan hukum ketika dalam proses lelang atau eksekusi hak
tanggungan. Ada dua hal yang menjadi
permasalahan konvensional yang terjadi dalam proses lelang ekseskusi hak
tanggungan, yakni: Pertama, penetapan
limit harga obyek jaminan terlalu rendah yang tentunya dirasakan sangat tidak
adil dan merugikan nasabah (debitor).
Kedua. pilihan hukum penyelesaian sengketa yang diperjanjikan dalam klausula
baku/akad bakudiakibatkan oleh rumusan yang dituangkan dalam akad tidak tegas
dan jelas, bahkan terkadang hak menentukan pilihan hukum antara nasabah dan
kreditor tidak seimbang.
Penetapan nilai
limit menjadi hak penjual (pihak pembiayaan), dan oleh karena menjadi hak
sepihak, maka dalam menetapkan nilai limit berdasarkan sisa utang tanpa
mempertimbangkan nilai likuiditas obyek jaminan yang menimbulkan ketidak adilan
bagi nasabah. Di samping itu, pilihan penyelesaian sengketa yang telah
dirumuskan dalam klausula baku tidak tegas dan tidak berimbangnya hak debitor
dan kreditor, sehingga dapat menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan praktisi
hukum maupun pelaku ekonomi syariah.
Oleh sebab itu, sangat menarik untuk mengkaji dua hal penting tersebut
dan dalam tulisan ini penulis pokus terhadap penetapan nilai
limit dan pilihan penyelesaian sengketa eksekusi hak tanggungan dalam klausula
baku pada akad baku.
B.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut di atas, maka pokok masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana hak nasabah terhadap penetapan nilai
limit dalam proses eksekusi hak tanggungan ?
2. Bagaimana hak nasabah menentukan pilihan hukum
dalam penyelesaian sengketa eksekusi hak tanggungan yang telah dirumuskan dalam
klausula baku pada akd baku ?
3. Bagaimana solusi bagi nasabah untuk mendapatkan
yang seimbang terhadap penetapan nilai limit dan kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa ekonomi syariah ?
C.
Tinjauan Pustaka
1.
Eksekusi
Hak Tanggungan
a.
Pengertian
Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak-hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. (Pasal 1
ayat(1) UU No. 4 Tahun 1996).
Selain jaminan
dibebankan pada tanah, hak tanggungan dapat juga dibebankan kepada benda-benda
atau bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, apabila
benda-benda atau bangunan tersebut adalah juga milik dari pemilik atas tanah
yang dibebankan hak tanggungan tersebut. Tetapi apabila benda-benda atau
bangunan yang ada di atas tanah yang dibebani hak tanggungan itu bukan milik
dari pemilik tanah yang dianggungkan, maka pembebanan hak tanggungan atas
benda-benda atau bangunan yang di atas tanah tersebut dan yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik
benda-benda atau bangunan tersebut atau yang di berikuasa olehnya dengan akta
otentik dan ikut bertanda tangan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan. (Pasal 4
ayat(4 dan 5) UU. No. 4 Tahun 1996)
b.
Spesifikasi
Hak Tanggungan
Sebagai
jaminan pemenuhan kewajiban debitor kepada bank, Hak Tanggungan mempunyai ciri yang
spesipik sebagaiberikut:
-
Hak Tanggungan memberikan hak preference
(Droit De Preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu dari pada
kreditur lain. Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor memperoleh hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditor yang
mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain akan sangat menguntungkan pada pihak yang
bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali pinjaman uang
yang diberikannya kepada debitor yang cidera janji (Pasal 6 UU. No.
4 Tahun 1996).
-
Hak Tanggungan mengikuti tempat benda berada (Droit De
Suite). Hal tersebut merupakan salah
satu kekuatan lain
Hak Tanggungan.
Jadi, walaupun tanah yang
dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak lain atau
orang lain (dalam hal ini misalnya di
jual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut,
sepanjang belum dihapuskan (dalam praktiknya dikenal dengan istilah dilakukan
“roya”) oleh pemegang Hak Tanggungan dimaksud. Peralihan Hak Tanggungan bisa terjadi melalui
proses hukum: merger (penggabungan perusahaan), akuisisi (pengambil alihan
perusahaan), hibah, maupun pewarisan (Pasal 7 UU. No. 4 Tahun 1996).
-
Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan
sebelumnya. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau
yang akan ada. Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada
saat di buat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan
jumlah ataupun bentuknya (Pasal 2 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996).
-
Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Sertipikat
Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan
dengan cara penjualan di muka umum (Pasal 14 ayat (3) UU. No. 4 Tahun 1996).
-
Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan
publisitas. Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak preference kreditur.
Dengan adanya publisitas tersebut, pihak ketiga bisa mengecek status tanah melalui kantor pertanahan setempat. Tujuannya untuk menghindari terjadinya suatu
transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku
pemegang Hak Tanggungan (pasal 13 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996).
-
Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah merupakan accecoir
dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian
lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian adalah
perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu. Jadi
apabila perjanjian pokok berakhir maka secara otomatis perjanjian Hak Tanggungan
juga berakhir.
c.
Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan.
Eksekusi Hak Tanggungan dilakukan
apabila debitor cidera janji (wanprestasi). Eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan
cara obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum. Adapun jenis eksekusi obyek hak tanggungan adalah:
1. Parateexecutie. (eksekusilangsung) obyek hak tanggungan diatur pada:
Pasal 6 UUHT sebagai berikut: “apabila debitor wanprestasi maka
kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan itu”.
Pasal 11
hurup (e) sebagai berikut: “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan
apabila debitor cidera janji”
Pasal 20
ayat (1) hurup a sebagai berikut: “hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6”.
Dari
pasal-pasal tersebut di atas dipahami bahwa parate executie mensyaratkan adanya
janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding
van eigenmachtig verkoop). Eksekusi parate dilakukan apabila debitor
wanprestasi.
Apabila debitor
wanprestasi, maka kreditor sebagai pemegang hak tanggungan berhak untuk langsung
mohon kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan
tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang
hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun
demikian, pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh
kreditur pemegang hak tanggungan, tetapi harus dilakukan oleh pejabat lelang
pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan
lelang eksekusi Hak Tanggungan.
Pejabat lelang
memproses pelaksanaan lelang berdasarkan permohonan eksekusi pemegang hak tanggungan,
yang diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan
lelang dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh
biaya dan pelunasan utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut
harus diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.
2. Eksekusipenjualan di
bawah tangan obyek hak tanggungan
Eksekusi penjualan di bawah tangan
obyek hak tanggungan diatur pada:
Pada pasal
20 ayat (2) UUHT disebutkan: “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika
dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkans emua
pihak”.
Pada pasal
20 ayat (3) UUHT disebutkan: Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewatwaktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar
yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak
ada pihak yang menyatakan keberatan”.
Pasal tersebut
mengatur eksekusi penjualan di bawah tangan yang dapat dilakukan apabila ada kesepakatan
antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek
hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semuapihak.
Dengan kata lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa
penjualan melalui pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parate
atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksud pada Pasal 20 (1) a dan b
UUHT tidakakan mencapai harga tertinggi.
Penjualan
di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar
yang beredar pada daerah yang bersangkutan serta tidak ada pihak yang
menyatakan keberatan. (Rum Nessa, dkk., 2015, P 269).
3.
Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Melalui Pengadilan
Eksekusi
obyek hak tanggungan melalui Pengadilan di atur pada:
Pasal ayat 20
(1) hurupb UUHT sebagai berikut:“titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului
dari pada kreditor-kreditor lainnya”.
Pasal 14 ayat(2)
dan (3) UUHTsebagaiberikut: Ayat (2): “Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)memuatn irah-irahdengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANANYANG MAHA ESA".Ayat (3):“Sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah”
Prosedur eksekusi
melalui Pengadilan dilakukan dengan cara kreditor mengajukan permohonan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan, selanjutnya Pengadilan melaksanakan eksekusi sebagaimana
melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti
(in
kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap sertifikat hak tanggungan
yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI KEADILAN BERDSARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA. Prosedur eksekusi hak tanggungan melalui Pengadilan berpedoman
pada Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.
d. Kredit macet
Secara
umum, kredit seperti dijelaskan pada pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan adalah “penyedian uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
memimjam antara bank dengan pihak yang lain yang mewajibkan peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan”. Dari ketentuan tersebut dipahami bahwa kredit
merupakan sejumlah tagihan atas pinjaman sesuai perjanjian yang telah disepakai
untuk melunasi hutang dalam jangka waktu tertentu yang terdiri dari utang pokok
dan bunga.
Pada (12)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 terdapat istilah pembiayaan syariah yang diatur pada pasal 1
ayat (12) bahwa “pembiayaan berdasarkan perinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk menembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil”.
Mencermati
kedua isi pasal tersebut di atas, pada dasarnya istilah kredit pada bank umum
dan pembiayaan syariah pada bank
syariah, merupakan penyediaan uang atau tagihan yang jumlahnya didasarkan atas
persetujuan bersama yanag dirumuskan dalam perjanjian, namun terdapat perbedaan
tentang jenis tagihan yang harus dibayarkan dalam waktu tertentu, yakni pada
bank umum disebutkan bunga, akan tetapi pada bank syariah disebut imbalan atau
bagi hasil.
Kredit atau
pembiayaan yang tidak tersedia sesuai waktu yang disepakati menjadi kredit bermasalah. Kredit bermasalah juga dapat diartikan kredit
yang tergolong kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet.[7] Kredit macet
dapat terjadi karena kelalaian nasabah (debitor) tidak membayar kewajiban
kepada pihak yang kreditor. Kelalaian nasabah (debitor) tidak membayar kewajiban
kepada pihak yang kreditor secara umum dipahami dalam masyarakat sebagai
wanprestasi. Wanprestasi adalah suatu hak kebendaan yang dikarenakan kelalaian
atau kesalahan salah satu pihak tidak dapat memenuhi suatu prestasi seperti
yang telah diberikan peringatan atau somasi terhadapnya lebih dahulu.[8]
Penyelesaian kredit macet dapat ditempuh melalui penyelesaian sengketa
litgasi dan non litagasi. Penyelesaian
litigasi melalui non litigasi dapat ditempuh dengan menggunakan 10 cara sebagai
berikut:
1. Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS).
2. Pengambilan agunan debitur
(asset settlement).
3. Penjualan piutang macet
(cessie).
4. Penggantian kreditor (subrogasi).
5. Pembaharuan kredit (novasi).
6. Pelunasan via penjamin
utang.
7. Penjualan agunan oleh
debitor secara sukarela.
8. Pelelangan agunan melaluk
pelelangan secara sukarela.
9. Penjualan agunan di bawah
tangan.
10. Penjualan agunan melalui
parate eksekusi.[9]
Apabila Penyelesaian
kredit macet dapat ditempuh melalui penyelesaian sengketa litigasi dapat
ditempuh dengan menggunakan cara-cara sebagai berikut:
1. Mengajukan permohonan
eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan melalui Pengadilan Agama.
2. Mengajukan permohonan
eksekusi Grose Akta Pengakuan utang melalui Pengadilan Agama.
3. Pihak kreditur mengajukan
gugatan wanprestasi ke Pengadilan Agama
e. Penetapan limit
harga dalam proses eksekusi hak Tanggungan
Nilai Limit
adalah harga minimal barang yang akan dilelang dan ditetapkan oleh pemohon
lelang. Penetapan limit harga merupakan merupakan syarat yang harus dipenuhi
oleh pemohon lelang pada setiappelaksanaan lelang. Pada pasal 74 PMK Nomor 213/PMK06/2020
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, dijelaskan sebagai berikut:
Ayat (1): Setiap pelaksanaan lelang disyaratkan harus
terdapat nilai limit”.
Ayat (2): “Nilai limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penetapannya menjadi kewenangan dan tanggun jawab penjual”.
Ayat (4): “Nilai
limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus dicantumkan dalam pengumuman
lelang”.
Pemohon
lelang bertanggung jawab terhadap penetapan nilai limit.[10] Pada pasal 13 ayat (1) hurup e PMK nomor 213/PMK06/2020
ditegaskan bahwa penjual bertanggung jawab terhadap kebenaran formil dan
materil nilai limit.
2. Pilihan
Penyelesaian Sengketa dalam klausula Baku
a.
Klausula Baku
Klasula baku
adalahisi atau keketentuan yang terdapat dalam kontrak baku.[11] Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standar
kontract, baku berarti patokan atau acuan.[12]Menurut
Mariam Darus Badrulzaman klausula
baku dapat didefinisikan suatu perjanjian
yang telah dibakukan atau
dituangkan dalam bentuk
formulir Klausula baku.[13]
Klausula baku diatur pada Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen bahwa “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokemendan /atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Dari
ketentuan pasal tersebut dipahami bahwa Klausula baku merupakan salah satu
jenis dari bentuk perjanjian, namun perjanjian tersebut telah dipersiapkan
lebih dahulu dalam bentul formulir, sehingga bentuk dan isi perjanjiannya
ditetapkan hanya secara sepihak oleh pelaku usaha. Akibat dari perjanjian baku
beserta klausula baku yang terdapat dalam perjanjian itu menjadikan kedudukan
pelaku usaha lebih dominan dan lebih kuat, sehingga klausula-kalausula dari
perjanjian baku tersebut dirancang dan dirumuskan untuk melindungi hak-hak atau kepentingan
pelaku usaha atau pihak pemberi jasa.
Penerapan
perjanjian yang tidak seimbang hanya
menguntungkan pelaku usaha sering muncul
dalam bentuk perjanjian baku dan/atau klausula baku karena format dan isinya
telah ditentukan sebelumnya secara sepihak.
Perjanjian semacan ini umumnya dicantumkan dalam setiap dokumenyang
dibuat salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku karena baik
perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dan tidak mungkin
dinegosiasikan oleh pihak lainnya.[14]
Perjanjian
baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir dan hampir seluruh klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak
lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan[15]. Perjanjian baku
yang berkembang dalam masyarakat antara lain:
1.
Bentuknya tertulis
Bentuk
perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku. Kata-kata atau
kalimat pernyataan kehendak yang termuat
dalam syarat-syarat baku, dibuat secara tertulis berupa akta outentik atau akta
di bawah tangan.
2.
Formatnya
dibakukan
Format
perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran dibakukan, artinya sudah
ditentukan model, rumusan dan ukurannya. Sehingga tidak dapat diganti, dirubah
atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blangko naskah
perjanjian lengkap atau blangko formulir yang dilampiri dengan naskah
syarat-syarat perjanjian atau dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku.
3.
Syarat-syaratnya
ditentukan oleh pelaku usaha secara sepihak
Syarat-syarat
perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara sepihak
oleh pelaku usaha atau organisasi pelaku usaha karena ssyarat-syarat perjanjian
itu dimonopoli oleh pelaku usaha, maka sifatnya lebih menguntungkan pihak
pelaku usaha dari pada pada pelaku konsumen.
Hal ini tergambar dalam klausula eksonerasi berupa pembebasan tanggung
jawab tersebut beralih menjadi beban konsumen.
4.
Konsumen hanya
dapat menerima atau menolak
Apabila
konsumen menerima syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan kepadanya, maka
harus menandatangani perjanjian tersebut.
Penadatanganan Perjanjian tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia
memikul beban tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajiban pelaku usaha.
Jika konsumen tidak setuju dengan syarat-syarat perjanjian yang ditawarkan
tersebut, ia dapat menolak, namun tidak dapat melakukan negoisasi syarat-syarat
yang sudah distantarisasikan tersebut.
5.
Isinya selalu
menguntungkan pelaku usaha
Perjanjian
baku dirancang secara sepihak oleh pelaku usaha, sehingga perjanjian yang
dibuat dengan cara demikian isinya akan selalu menguntungkan pihak pelaku
usaha.[16]
Klausula
baku banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam
bahasa umum disebut juga sebagai disclaimer, yang bertujuan untuk melindungi
pihak yang memberikan jasa tertentu.[17] Oleh sebab itu, pada Pasal 18 ayat (3 dan 4)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa
“Setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2
dinyatakan batal demi hukum. Pelaku
usaha wajib menyusaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
ini”
b. Pilihan Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah.
Pilihan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat ditempuh dengan dua cara, litigasi
dan non litigasai. Penyelesaian sengketa
melalui litigasi mejadi kewenangan mutlak Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama. Hal tersebut diatur pada pasal 49
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 perubahan pertama
Undang-Undang No. 7 tahun 1989
TentangPeradilan Agama.
Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 secara normatif memberi kepastian hukum penyelesaian sengketa
ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan mutlak
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal tersebut berarti, Pengadilan
dalam lingkungan peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litagasi yang
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Kewenangan
mutlak tersebut menjadi sebuah polemik pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pada pasal 55 menentukan bahwa:
1.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
2.
Dalam hal para pihak memperjanjikan penyelesaian sengketa
sebagaiman dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad.
3.
Penyelesaian sengketa senagaiman dimaksu pada ayat (2)
tidak bertentangan dengan perinsip syariah.
Konflik
pilihan penyelesaian sengketa ekonomi syariah lahir akibat dua Undang-Undang
yang isinya terdapat disharmonisasi, terselesaikan dengan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012,
yang menghapus adanya dualisme kewenangan sengketa ekonomi syariah antara
peradilan umum dan peradilan agama.
Penyelesaian sengketa melalui non litigasi dapat ditempuh dengan cara:
a.
Musyawarah.
b.
Mediasi perbankan
c.
Melalui Badan Arbutrasi Syariah Nasional atau lembaga
arbitrasi lainnya.
II.
METODE
Metodologi
merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh peneliti untuk melakukan suatu
penelitian. Salah satu tujuan dilakukan
penelitian adalah untuk menemukan penemuan-penemuaan baru serta
informasi-informasi yang dianalisis bertujuan memperoleh dalaman data.[18] Metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode yuridis emperis.
Penelitian hukum emperis (emperical law research) adalah
penelitian hukum positif mengenai prilaku (behavior) anggota masyarakat
dalam hubungan hidup bermasyarat.[19].
Metode ini
dipilih dalam tulisan ini karena mengetahui hak-hak nasabah (debitor) dalam
penetapan limit harga obyek jaminan dalam proses eksekusi hak tanggung yang
cenderung menimbulkan permasalahan antara dibitor dan kreditot dalam
implementasinya di masyarakat.
Deminikian juga tentang pilihan penyelesaian sengketa yang tertuang
dalam klausula baku pada akad baku yang masih menimbulkan persepsi yang berbeda
oleh para pihak yang terkait.
III. PEMBAHASAN
A. Hak Nasabah (debitur) Dalam penetapan limit harga Dan
Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam Klausula Baku
1. Hak Nasabah
(debitur) Dalam Penetapan Limit Harga Obyek Jaminan
Penetapan limit harga obyek jaminan merupakan bagian dari salah satu
syarat untuk mengajukan permohonan
lelang ke Kantor KPKNL.
Penentapan nilai limit oleh penjual seharusnya ditetapkan berdasarkan
nilai yang layak dan dapat dipertanggung jawabkan agar terpenuhi asas-asas
dalam yang harus dipenuhi dalam proses lelang.
Adapun asas yang dimaksud adalah:
a. Asas
keterbukaan. Asas ini menghendaki agar
seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya rencana lelang dan mempunyai
kesempatan yang sama mengikuti lelang sesuai dengan aturan yang yang
berlaku. Karenanya, setiap lelang
didahului pengumuman lelang. Asas ini
untuk mencegah terjadi rekayasa lelang antara pihak-pihak yang terkait dan
mencegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). (pasal 1 ayat 3 UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan
Nepotisme). Penjabarannya, diatur pada pasal 1 ayat (4) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020
tentang Petunjuk Pelaksanaan lelang
disebutkan: “Pengumuman lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat
tentang akan adanya lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan
pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan”;
b. Asas keadilan mengandung pengertian bahwa
proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara
proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini mencegah terjadinya keperpihakan
pejabat lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya kepada
kepentingan penjual, khusus menyangkut lelang eksekusi, penjual tidak boleh
menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak
tereksekusi. Penjabaran asas ini,
penentuan limit berdasarkan metode yang dapat dipertanggung jawabkan. Hal tersebut djabarkan pada pasal 47 ayat (3) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020, yakni penegasan
penentuan limit dengan metode yang dapat dipertanggung jawabkan, agar pihak
terutama pemilik obyek jaminan tidak dirugikan dan mendapatkan keadilan harga
yang ditentukan oleh penjual;
c. Asas kepastian hukum. Asas ini menghendaki
agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat risalah
lelang oleh pejabat lelang yang merupakan akte otentik. Risalah lelang digunakan penjual/pemilik
barang, pembeli dan pejabat lelang untuk mempertahankan hak, melaksanakan hak
dan kewajiban. Kewajiban membuat
risalah lelang diatur pada pasal 87 ayat (1) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020;
d. Asas
Efisiensi. Yaitu asas yang akan menjamin pelaksanaaan lelang dilakukan dengan
cepat dan biaya ringan/relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan
waktu yang telah ditentukan.
Pembeli/pemenang disahkan pada saat itu juga.
e. Asas akuntabilitas menghendaki agar lelang
yang dilaksanakan oleh pejabat lelang dapat dipertanggung jawabkan kepada semua
pihak yang berkepentingan.
Pertanggungjawaban pejabat lelang meliputi adminitrasi lelang dan
pengelolaan uang lelang.[20]
Asas keadilan dalam proses
lelang dimaksudkan, dalam pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional
bagi setiap pihak yang berkepentingan.
Asas ini mencegah terjadinya keperpihakan pejabat lelang kepada peserta
lelang tertentu atau berpihak hanya kepada kepentingan penjual. Penjual tidak
boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak
tereksekusi. Dalam berbagai perkara yang
diajukan ke Pengadilan Agama yang menjadi sumber sengketa adalah penetapan nilai
limit yang sangat rendah dengan hanya mempertimbangkan kepentingan kreditor
berdasarkan sisa utang yang harus dibayar tanpa mempertimbangakan nilai
likuiditas obyek jaminan sesuai NJOP.
Tindakan sepihak seperti itu mengakibatkan Debitor (pihak tereksekusi tidak
mendapatkan keadilan dalam penentuan harga (penetapan limit) obyek jaminan,
karena hanya di tetapkan secara sepihak oleh pihak kreditor yang dengan
sendirinya dilandasasi kepentingannya tanpa memperdulikan kepentingan pihak
lain.
Permasalahan
yang muncul dalam penetapan limit harga obyek jaminan karena pihak kreditur
menetapkan limit harga yang terlalu rendah, sehingga pihak nasabah mersakan
adanya ketidak adilan. penetapan limit
harga obyek jaminan yang sangat rendah dan menjadi sumber sengketa disebabkan:
1.
Adanya hak yang tidak seimbang dalam menetukan limit
harga pada tataran hukum normatif. Hak menentukan limit harga menjadi
hak/kewenangan tanggung jawab penjual (kreditor) sebagaimana diatur pada pasal
47 ayat (2) PMK. RI No. 213/PMK.06/2020.
Hak seimbang
yang diperuntukkan bagi nasabah (debitor) untuk ikut serta dalam penentuan
nilai limit sama sekali tidak diatur dalam aturan normatif yang berlaku. Dengan tidak adanya perimbangan hak antara
Debitor dan Kreditor kaitannya dengan penetapan nilai limit tersebut,
menjadikan Debitor dalam posisi lemah dan rentang mendapatkan ketidak adilan
harga obyek yang dijadikan Hak Tanggungan.
2.
Metode yang digunakan oleh pihak Pembiayaan/Perbankan dalam
melakukan penilaian terhadap obyek jaminan debitur yang akan dilelang diatur
secara tegas dan jelas, yakni patokan penetapan limit harga apakah metode
penetapan nilai limit berdasarkan nilai likuiditas objek jaminan, atau sebatas
pada utang yang ditanggung oleh debitur atau menggunakan harga pasar yang
diperoleh dari survei langsung pasaran. Kecenderungan
penetapan limit harga obyek jaminan didasarkan pada nilai utang debitur tanpa
memperimbangkan kepentingan dan keadilan bagi debitur yang menimbulkan sebagai
sumber sengketa dalam penanganan kredit macet.
Pada praktiknya banyak
sekali ditemukan kreditor menetapkan limit harga barang jaminan hak tanggungan
di bawah harga yang wajar bahkan sering ditemukan kreditur menjual jaminan bukan menggunakan nilai likuidasi yang
sesungguhnya, namun nilai utang.[21]
Penetapan
nilai limit dalam proses lelang hak tanggungan berpeluang menimbulkan
permasalahan hukum (sengketa) ketika dalam menetapkan limit harga obyek jaminan
yang terlalu rendah, dimana pihak debitor (nasabah) merasa mendapat perlakuan
tidak adil dari pihak kreditor (pembiayaan).
Penetapan limit harga obyek sengketa hanya keputusan sepihak untuk
kepentingan pihak kreditor, tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak nasabah.
Contoh kasus
pada Akad
Pembiayaan Murabahah no. 65 yang di
buat di hadapan Hj. Siti Reynar, S.H., notaris di Lamongan pada tanggal 12
Desember 2013, diajukan gugatan oleh pihak nasabah (debitur) ke Pengadilan
Agama setempat karena pihak kreditor telah menetapkan limit harga obyek jaminan sebesar Rp.
80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), di lelang sebesar Rp. 74.795.000,-
(tujuh puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah)untuk
pembayaran sisa utang sebesar Rp. 65.346.620. (enam puluh lima juta
tiga ratus empat puluh enam ribu enam ratus dua puluh rupiah. Hasil lelang tersebut hanya cukup untuk
membayar sisa utang debitor berikut biaya-biaya yang dikeluarkan kreditor dalam
proses lelang dan biaya adminitrasi.
Atas penetapan limit harga obyek jaminan oleh
pihak kreditor (pembiayaan) tersebut,
nasabah (debitur) merasa sangat dirugikan dan atau tidak mendapatkan keadilan. Penetapan nilai limit oleh pihak kreditor
(penjual) dipandang hanya akal-akalan saja
untuk sekedar melunasi hutang debitor dan biaya-biaya adminitrasi lainnya
karena obyek jaminan berupa sebuah tanah Tanah seluas 1407 M2 dan atasnya
terdapat bangunan rumah dan penggilingan padi.
Dalam proses persidangan,
pada tahap pembuktian, pihak debitor mengajukan bukti surat berupa laporan
penilaian obyek sengketa dari Kantor Jasa Penilaian Publik Sugianto Prasodjo
dan Rekan dengan wilayah kerja KJPP. yang dilakukan pada tanggal 20 Februari
2019 terhadap Sebidang tanah berikut bangunan
yang terurai dalam sertifikat hak milik (SHM) nomor 297, seluas 1.407 M2 yang
menjadi jaminan dengan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) dan menyimpulkan
nilai pasar sejumlah Rp. 800.950.000,- (delapan ratus juta sembilan ratus lima
puluh ribu rupiah) dengan rincian:Tanah seluas 1407 M2 senilai Rp.
492.450.000,-Bangunan seluas 314 M2 senilai Rp. 304.000.000,- dan Sarana
pelengkap Rp.4.500.000.
Perbedaan harga ditetapkan
oleh penjual (kreditur) selaku pemohon lelang sangat jauh selisihnya dengan
penilaian obyek sengketa dari Kantor Jasa Penilaian Publik Sugianto Prasodjo
dan Rekan dengan wilayah kerja KJPP. Hal
tersebut diakibatkan pihak debitor tidak dilibatkan dan atau didengar
pendapatnya sebelum ditetapkan penetapan limit harga obyek jaminan. Penetapan limit harga obyeks jaminan oleh
penjual hanya didasarkan pada nilai utang debitor tyang tersisa ditambah dengan
biaya-biaya lainnya yang harus dikeluarkan pihak penjual dalam proses
lelang.
B. Pilihan Penyelesaian Sengketa Dalam Klausula Baku
Salah bagian yang tidak
seimbang antara hak nasabah (debitor) dengan hak kreditor dalam rumusan
klausula baku adalah tentang pilihan penyelesaian sengketa. Ketidak seimbangan
hak dalam menetapkan pilihan penyelesaian sengketa terdapat pada rumusan klausula penyelesaian
sengketa yang tidak tegas dan jelas.
Akibatnya, masih menimbulkan perbedaan pendapat atau penafsiran, menjadikan
adanya ketidak pastian bagi nasabah menentukan pilihan penyelesaian sengketanya.
Contoh kasus, pada Akad Jual Beli–Murabahah No.
009/ULS-MROS/PP-MRB/II/2019 tanggal 26 Februari 2019. Permasalahan pada Akad
Jual Beli tersebut diawali dari kredit macet. Pada proses laleng, pihak debitor
merasa sangat dirugikan dari hasil penjualan obyek jaminan dalam proses
lelang. Objek jaminan
berupa rumah dan toko dijual dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan
harga pasar. Obyek jaminan terjual dalam proses lelang dengan harga
Rp.220.000.000 (dua ratus dua puluh juta rupiah) sesuai nilai limit yang
ditetapkan penjual (kreditor).
Permasalahan nilai limit memunculkan permasalahan selanjutnya terkait
dengan pilihan penyelesaian sengketa.
Hal itu terjadi karena tidak disebutkan adanya hak seimbang antara
debitur dengan kreditur untuk menentukan pilihan penyelesaian sengketa dalam
akad yang diperjanjikan. Oleh karena
rumusan dalam klausula baku dalam perjanjian baku tersebut hanya menyebut “tidak mengurangi hak Penjual berdasarkan
pertimbangannya sendiri, untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan
tersebut melalui proses Pengadilan Agama Maros” tidak menyebut hak yang
sama bagi debitur untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa secara
litigasi.
Rumusan klausula pilihan penyelesaian sengketa pada akad tersebut
menimbulkan multi persepsi/penafsiran, sehingga pihak debitur mengajukan
sengketanya ke Pengadilan Negeri Maros. Namun demikian, Pengadilan Negeri Maros
menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara tersebut karena kewenangan
Pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama dengan putusan Nomor:
4/Pdt.Bth/2022/PN.Mrs yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim tanggal 30 Mei
2022 dan telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor :
255/PDT/2022/PT.MKS tanggal 25 Agustus 2022.
Selanjutnya, sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Maros, namun
eksepsi tentang kewenangan dari pihak kreditur dikabulkan dengan pertimbangan para pihak sepakat dalam hal terdapat sengketa
atau perselisihan yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan
secara damai, maka akan diselesaikan melalui dan menurut prosedur peraturan
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Pada akad/perjanjian baku tersebut terdapat klausula baku yang
merumuskan tentang penyelesaian sengketa bagi para pihak yang terikat dalam
perjanjian. Pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 dari isi perjanjian tersebut di
rumuskan penyelesaian sengketa sebagai berikut:
Ayat (1) “Para Pihaksepakatdalamhalterdapatsengketaatauperselisihan yang ada hubungannya
dengan Akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan
melalui dan menuru tprosedur peraturan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dimana putusan BASYARNAS merupakanputusan final dan mengikat Para
Pihak.”
Ayat (2) “Pemilihan prosedur penyelesaian sengketa dimaksud dalam ayat 1 tersebut di atas,
tidak mengurangi hak PENJUAL berdasarkan pertimbangannya sendiri, untuk menyelesaikan
sengketa atau perselisihan tersebut melalui Proses Pengadilan Agama Maros dimana
sengketa terjadi dalam wilayah Negara Republik Indonesia”.
Rumusan klausula baku terkait pilihan
penyelesaian sengketa, dipahami secara umum, pada tataran normatifnya mengikat debitur
dan kreditur serta mempunyai konsekwensi hukum yang harus dipatuhi berdasarkanPasal
1313 KUHPerdata bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Isi
perjanjian itu mengikat sebagai Undang-Undang bagi penggugat dan Tergugat yang
membuat perjanjian tersebut (pacta sunt servanda) berdasarkan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang isi pasalnya sebagai berikut:“semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Meskipun telah diperjanjikan, namun
secara teoritis kalausula baku masih mengandung perdebatan, khusus kaitannya
dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)dan syarat-syarat
perjanjian. Dalam perjanjian baku,
kebebasan dan pemberian kesepakatan untuk melakukan kontrak tidak dilakukan sebebas
dengan perjanjian secara langsung, dengan melibatkan para pihak untuk
menegoisasikan klausula perjanjian.[22]
Selain itu, klausula baku dalam
perjanjian baku seperti contoh kasus tersebut di atas tidak memenuhi asas
keadilan dan kebebasan berkontrak karena tidak terpenuhi tawar-tawar
para pihak yang seimbang. Isi
perjanjiannya tidak bisa dikompromikan lagi karena sudah dalam bentuk formulir,
hanya ada dua pilihan kemungkinan bagi calon nasabah (debitor), yakni setuju
atau tidak setuju. isi perjanjiannya
juga tidak dapat dinegosiasikan walaupun ada yang hak yang tidak seimbang
antara debitor dan kreditor dalam menentukan pilihan penyelesaian
sengketa. Kreditur dapat mengajukan
sengketa ke Pengadilan Agama setempat apbila atas kehendak dan atas
pertimbangannya sendiri, sementara debitor tidak disebutkan haknya dalam
klasula perjanjian.
Dari contoh kasus tersebut tidak selain tidak memenuhi asas
kebebasan berkontrak pada tataran hukum normatif juga tidak memenuhi asas
kebebasan berkontrak menurut hukum perikatan Islam.
Asas kebebasan berkontrak dalam hukum
perikatan Islam dituangkan dalam perinsip “antradhin minkum” sebagaimana
diatur dalam Q.S. al-Nisa (4)
ayat 29, dan hadis Nabi Saw yaitu sesuatu perkara atau perjanjian akan sah dan
mengikat kedua belah pihak apabila kesepakatan (antradhin) yang terwujud
dalam 2 (dua) pilar, yaitu ijab (penawaran) dan kabul (penerimaan).[23]
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkanpembahasan
tersebut di atas diperoleh simpulan sebagai berikut:
1.
Nasabah tidak mempunyai hak untuk ikut serta dalam
mentukan nilai limit (limit harga obyek jaminan) dalam proses pengajuan
permohonan eksekusi hak eksekusi hak tanggungan ke KPKNL. Hak mentukan atau membuat penetapan nilai
limit (limit harga obyek jaminan) menjadi hak sepihak oleh pihak kreditur
(penjual) selaku pemohon lelang berdasarkan ketentuan pada PMK. RI No.
213/PMK.06/2020, sehingga penetapan limit harga obyek jaminan hak tanggungan cenderung
untuk memenuhi kebutuhan kepentingan kreditur untuk pemenuhan pembayaran utang
nasabah.
2.
Hak nasabah menentukan pilihan hukum dalam penyelesaian
sengketa eksekusi hak tanggungan
terhadap klausula baku sesuai yang telah diperjanjikan dalam perjanjian yang
telah disepakati bersama masih tidak seimbang dengan hak kreditor.
3.
Solusi bagi nasabah untuk mendapatkan hak yang seimbang
terhadap penetapan nilai limit (limit harga obyek jaminan) yang tidak merugikan
baginya, seharusnya dibuat regulasi pada tataran normatifnya agar nasabah
diberi hak untuk memberikan pendapat dan atau masukan terhadap penetapan limit
harga obyek jaminan yang akan dilelang. Untuk mendapatkan hak yang seimbang
antara debitor dan kreditu dalam menentukan pilihan penyelesaian sengketa, maka
seharusnya dalam klausula baku dirumuskan secara jelas dan pilihan penyelesaian
sengketa litigasi dan non litigasi
dengan hak yang sama.
B.
Rekomendasi
1.
Penetapan nilai limit dalam proses eksekusi hak
tanggungan merupakan hak sepihak kreditor sebagaimana diatur pada PMK. RI No.
213/PMK.06/2020, dan dalam implementasinya ditemukan permasalahan yang
berdampak pada tidak terpenuhinya asas keadilan berkontrak terutama dirasakan
oleh pihak debitor, sehingga dibutuhkan adanya regulasi yang memberikana hak
seimbang kepada pihak debitor agar tercipta iklim berusaha yang seimbang pada
masyarakat.
2.
Agar terpenuhinya keseimbangan hak dalam menentukan
pilihan penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang telah dirumuskan dalam
klausula baku pada akad baku dan agar terwujudnya keadilan dan kebebasan
berkontrak, para pihak memperhatikan kedudukan masing, isi perjanjian yang
dilakukan serta adanya pemahaman terkait dengan klausula yang
diperjanjikan. Hak tersebut menghindari
terjadinya ada pihak merasa dirugikan, perlu digagas pertemuan ataupun seminar
tentang perumusan legal drafting terkait dengan perjanjian (akad) dengan
mempertegas pilihan hukum litgasi ke Pengadilan Agama dengan hak sama antara
debitor dan kreditor serta pilihan hukum melalui non litagisi yang kedudukan
terdapat didaerah- daerah yang dapat dijangkau oleh masyarakat ketika terjadi
sengketa.
3.
Masih perlu diadakan seminar atau FGD khususnya bagi para
hakim Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang dilaksanakan oleh HISSI
dan Badilag untuk memperdalam pemahanan terkait penyelesaian sengketa ekonomi
syariah dari berbagai sudut kajian agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum
tentang penyelesaian sengketa yang dirumuskan tidak tegas dan masih samar pada
klausula baku dan akad baku.
DAFTAR PUSTAKA
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Penemuan Hukum Dan Kaidah Hukum, Jakarta:
Predana Media Group, 2018.
----------, Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Penyelesaian sengketa
Ekonomi Syariah, Cet; I, Jakarta: Kencana, 2020.
Burhanuddin
S, Aspek Hukum Lembaga Keuanagan Syariah, Yokyakatra: GrahaIlmu, 2010.
Hamonangan, Analisis Perinsip 5 C Dalam Penyaluran Pembiayaan Pada Bank
Muamalat KCU Padang Sidempuang, Jurnal Ilmiah MEA Vol. 4 No. 2, Agustus 2020
Hariyani,Iswi Restrukturisasi &Penghapusan Kredit
Macet, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010.
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Oandang Hukum Bisnis), Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006.
Iskandar, M. Roji Pengaturan Kalusula Baku Dalam
Undang-Undang Perlindungan Kosumen dan Hukum Perjanjian Syariah, Jurnal
Ekonomi dan Keuangan Syariah, Vol. 1 No. 2, 2017.
Dewi, Gemala; Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan
Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007,
https://news,detik,com, Egran Eko Budianto, Utang Rp55 Juta, Rumah Mewah eks Kades Dilelang
Danamon Rp 55 Juta, , diakses pada tanggal
http://mas-marto.blogspot.co.id/2014/11/eksekusi-hak-tanggungan, Sumarto, 2014, PelaksanaanEksekusiHakTanggunganBerdasarkan
UU No. 4 Tahun 1996, diaksesdari. html.
http://id.wikipedia.org/wiki/kredit_(keuangan),
akses pada tanggal 17 Januari 2017.
https://journal.uinsgd.ac.id. Dudang Gojali, Implementasi Hukum Ekonomi SyariahPada Lembaga Keuanga
Syariah, akses
https://www.cermati.com. Perinsip 5 C Bank dan Cara Kredit, diakses
https://Journal.uho.ac.id/index.php/holresch. Penerapan Asas Keadilan Terhadap Penetapan Limitpada Proses Pelelangan
Hak Tanggungan Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLP) Kota
Kendari, diakses
https://ojs.unud.ac.id/index.ph/kerthasemaya/article/view/45887Ratna Sari, et.alPerlindungan HukumKepada Konsumen TerhadapPenggunaan Klausula Baku Yang
Tercantum Pada Toko Online,
https://www.kajianpustaka.com /2020/05/lelang-pengertian-fungsi-jenis-asas-dan-prosedur.htmlMuchlisinRiadi, Lelang/PenjualanUmum (Pengertian, Fungsi, Jenis, Asas dan
Prosedur), 2020,
Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Secara Online Berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, aks
https://www.kajianpustaka.com
/2020/05/lelang-pengertian-fungsi-jenis-asas-dan-prosedur.html,MuchlisinRiadi, Lelang/PenjualanUmum (Pengertian, Fungsi, Jenis, Asas dan
Prosedur), 2020, diakses pada tangga
Mardani,
2010, Hukum Acara Peradilan Agama &Mahkamah Syariah, Cet. II;
Jakarta: SinarGrafika
Muhammad, A. K., Perjanjian Baku Dalam Praktik
Perusahaan Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992
Nessa,
Rum, dkk., 2016, Membumikan Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
Cet. I; Yokyakarta: UII Press.
Kristiyanti, C.T.S. (Hukum Perlindungan Konsumen,
Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika,2009
Perwataatamaja,
Karnaenet al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Wjayanti & Ahmad, Strategi Penulisan
Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2011.
[1]. https://journal.uinsgd.ac.id. Dudang Gojali, Implementasi Hukum Ekonomi SyariahPada Lembaga Keuanga
Syariah, akses pada tanggal 7 Februari 2023.
[3]. KarnaenPerwataatamaja, et al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), halaman 17-18.
[4]. Amran Suadi, Wanprestasi Dan
Perbuatan Melawan Hukum Dalam Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah (Cet;
I, Jakarta: Kencana, 2020), halanan 41.
[5]. https://www.cermati.com. Perinsip 5 C Bank dan Cara Kredit,
diakses pada tanggal 7 Februari 2023.
[6].Hamonangan, Analisis Perinsip 5 C
Dalam Penyaluran Pembiayaan Pada Bank Muamalat KCU Padang Sidempuang, Jurnal
Ilmiah MEA Vol. 4 No. 2, Agustus 2020, Hlm 455.
[7]. Iswi Hariyani, Restrukturisasi
&Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010,
hlm 35.
[8]. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa
Penemuan Hukum Dan Kaidah Hukum (Jakarta: Predana Media Group, 2018), hlm
131-132
[10]. https://Journal.uho.ac.id/index.php/holresch. Penerapan Asas Keadilan Terhadap
Penetapan Limitpada Proses Pelelangan Hak Tanggungan Di Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLP) Kota Kendari, diakses pada tanggal 7
Februari 2023.
[11]. Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari
Sudut Oandang Hukum Bisnis, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm 76.
[12].M. Roji Iskandar, Pengaturan Kalusula
Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Kosumen dan Hukum Perjanjian Syariah, Jurnal
Ekonomi dan Keuangan Syariah, Vol. 1 No. 2, 2017, hlm. 203.
[13].https://ojs.unud.ac.id/index.ph/kerthasemaya/article/view/45887,, Ratna Sari, et.al PerlindunganHukumKepada Konsumen TerhadapPenggunaan Klausula Baku Yang Tercantum Pada Toko Online, akses pada tanggal 7
Februari 2023.
[14]. Ibid. h. 96
[15]. Kristiyanti, C.T.S. (Hukum
Perlindungan Konsumen, Cet. II, Jakarta: Sinar Grafika,2009), hlm. 139.
[16].Muhammad, A. K., Perjanjian Baku Dalam
Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 6.
[17].https://ojs.unud.ac.id, Ari Dwipayana, Kadek , Pengaturan
klausula Baku Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Secara Online Berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, akses
[18]
. Bambang Sunggono, Metode
Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 38.
Komentar
Posting Komentar