Perbuatan Melawan Hukum Sebagai Salah Satu Sumber Sengketa Dalam Kegiatan Ekonomi Syariah

 

A.   PENDAHULUAN

        Hukum Ekonomi syariah adalah serangkaian aturan yang mengikat mengenai kegiatan ekonomi dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dengan perinsip syariah berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.[1] Kegiatan ekonomi merupakan bagian dari aktivitas (hubungan) antar manusia dengan manusia lain kaitan dengan ekonomi syariah yang terimplementasi dalam bentuk hubungan untuk mengadakan perjanjian, hubungan dengan obyek ekonomi atau hukum yang berkaitan dengan benda-benda yang menjadi obyek ekonomi.

        Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sangat maju seiring  dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, baik pada tataran hukummnya maupun bidang produksi, distribusi, dan komsumsi.  Di bidang hukum misalnya, lahirnya Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Surat berharga Syariah Negara sebagai landasan yuridis melakukan kegiatan ekonomi syariah terkait dengan perbankan syariah dan surat-surat berharga syariah.

       Meningkatnya kegiatan ekonomi syariah di Indonesia merupakan salah satu bagian dari semakin meningkatnya kesadaran sebagian umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah,  Perkembangan ini memberikan harapan baru bagi pelaku usaha untuk menjalankan bisnis yang tidak hanya beroerintasi pada keuntungan materil semata, tetapi juga sesuai spirit hukum syariah yang menjanjikan kebutuhan batiniyah.[2] Antusias masyarakat terhadap pertumbuhan praktek ekonomi syariah sangat tinggi, terlebih dengan menjamurnya pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik dalam bentuk Bait at-Tamwil, BPRS atau perbankan syariah.  Perbankan syariah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai perinsip syariah.  Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah merupakan perinsip utama bagi bank syariah. Oleh karena itu bank syariah menerapkan ketentuan dengan menjauhkan diri dari unsur riba dan menjalankan prinsip bagi hasil dan sistem jual beli.[3]

          Kehadiran lembaga-lembaga keuangan syariah sekarang yang menunjukkan adanya perkembangan sangat signifikan, berpeluang terjadinya sengketa menjadi semakin meningkat.  Penyebab terjadinya sengketa ekonomi syariah sama halnya dengan sengketa pada umumnya. Lazimnya sengketa pada perbankan syariah terjadi setelah kedua belah pihah melakukan akad atau perjanjian dengan perinsip syariah, namun salah satu pihak melakukan wanprestasi atau perbuatan melawan hukumsehingga mengakibatkan pihak yang lainnya merasa dirugikan.[4]

         Untuk kepastian hukum penyelesaian sengketa dan penegakan hukum atau penyelesaian sengketa terkait ekonomi syariah, telah diperkuat dengan amandemen pertama Undang-Undang  No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang menambah ruang lingkup tugas dan wewenang peradilan agama untuk memeriksa, mengadili, maupun menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah meliputi: Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, suratberhargaberjangkamenengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiunlembagakeuangan syariah, dan bisnis syariah.

        Orang-orang yang beragama Islam yang dimaksud, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang beragama Islam yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

         Undang-Undang No. 3 tahun 2006 secara normatif memberi kepastian hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan mutlak Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal tersebut berarti, Pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litagasi yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dalam implementasinya, kewenangan tersebut juga diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang menghapus adanya dualisme kewenangan sengketa ekonomi syariah antara peradilan umum dan peradilan agama.

         Sengketa yang pada umumnya terjadi dalam lembaga pembiayaan syariah dan atau kegiatan ekonomi syariah, lazimnya menyangkut PMH maupun wanprestasi. Misalnya  di beberapa putusan Pengadilan Agama. Sengketa terjadi biasanya setelah pihan pemilik modal mengirimkan surat peringatan III kepada penggugat disertai surat akan melakukan pendaftaran lelang jaminan. Penggugat dalam hal ini telah meminta restrukturisasi akad dikarenakan adanya kendala dalam melakukan pembayaran. Tetapi permintaan tersebut tidak diindahkan oleh Tergugat, maka dari itu Penggugat mengajukan gugatan PMH dengan alasan Tergugat sudah berbuat perbuatan melawan hukum yakni karena melanggar ketentuan Peraturan Bank Indonesia No. 13/9/PBI/2011 yang mengatur upaya perbaikan perkreditan akibat debitur yang kesulitan memenuhi kewajibannya (Bank Indonesia, 2018). Ketentuan lain yang dianggap dilanggar oleh Tergugat adalah Pasal 52 PBI No.14/15/PBI/2012 yang mengatur bahwa restrukturisasi kredit bagi debitur yang mengalami kesulitan pembayaran (Bank Indonesia, 2012).

        Sengketa lain yang terjadi seperti misalnaya dilakukan oleh lembaga pembiayaan syariah. Penggugat yang bersepakat atas akad pembiayaan Al-Murabahah dengan Tergugat I. Dua tahun kemudian Penggugat diperlihatkan surat somasi ke-3 dari Tergugat II, mengenai cidera janji antara Tergugat I dan Tergugat II. Penggugat sewaktu diminta untuk menandatangani kelengkapan berkas oleh Tergugat I, ternyata Penggugat juga menandatangani APHT, yang memberikan hak kepada Tergugat I untuk memindahtangankan dan/atau menjaminkan objek jaminan rumah milik Penggugat kepada pihak lain, yang sebenarnya tidak ada dalam perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I. Jaminan rumah milik Penggugat akhirnya dilelang oleh Tergugat III dan Tergugat IV, sehingga Penggugat merasa dirugikan oleh perbuatan tersebut.

         Onrechtimage daad atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Perbuatan melawan hukum (PMH), merupakan perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan kewajiban hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. PMH diatur dalam KUH Perdata Pasal 1365-1380. Pasal 1365 KUHPdt (Soesilo, & Pramudji, 2008) “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa


kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”Pasal 1365 tersebut mengatur ketika seseorang mengalami kerugian yang disebabkan karena orang lain kepada dirinya yang ia diberikan kesempatan untuk mengemukakan tuntutan untuk mengganti kerugian.

        Ada tiga kategori perbuatan melawan hukum yang disebutkan oleh Munir Fuady (Fuady, 2005) yaitu “perbuatan melawan hukum disebabkan oleh kesengajaan; perbuatan melawan hukum tidak dengan kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian; perbuatan melawan hukum lantaran kelalaian.” Unsur PMH : adanya suatu perbuatan, yang berawal dari perbuatan seseorang yang berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (pasif). Kondisi yang diartikan tidak berbuat sesuatu adalah ketika pelaku tidak melakukan sesuatu yang seharusnya padahal itu merupakan suatu kewajiban hukum baginya; perbuatan tersebut melawan hukum, dapat diartikan luas seperti pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyalahi hak orang lain yang telah terjamin oleh hukum, tindakan yang bertentangan dengan keharusan pelaku, melanggar kesusilaan, maupun yang berlawanan dengan norma yang hidup dalam suatu masyarakat; ada kesalahan/kealpaan, unsur kesalahan atau kealpaan disini tentunya harus memenuhi beberapa unsur juga yaitu kesengajaan, kelalaian, tidak ada dasar pembenar atau pemaaf yang bisa ditemukan oleh pelaku; ada kerugian yang ditimbulkan, kerugian disini bukan hanya kerugian materil tetapi berlaku juga kalau kerugian immateril yang ujung-ujungnya juga penilaiannya dengan uang; adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian, hubungan causal ini dapat ditinjau dengan dua jenis teori, yakni hubungan faktual yang mana merupakan sebuah masalah fakta atau secara faktual telah terjadi dan teori penyebab kira-kira untuk mencapai sebuah kepastian hukum juga hukum yang lebih adil walaupun hal ini pasti memicu perbedaan pendapat (Fuady, 2017).

Berdasarkan beberapa permasalahan dalam putusan Pengadilan, penulis tertarik untuk meneliti hal tersebut, yaitu menganalisis putusan Pengadilan Agama terkait perbuatan melawan hukum dengan diawali gugatan perbuatan melawan hukum dalam akad musyarakah. Dari latar belakang tersebut penulis ingin mengkaji mengenai bagaimana analisis terhadap putusan sengketa ekonomi syariah dalam perbuatan melawan hukum, yang mana dalil segala gugatan penggugat tersebut telah memenuhi unsur perbuatan hukum atau tidak.

B.   METODE PENELITIAN

  Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis emperis.  Penelitian hukum emperis (emperical law research) adalah penelitian hukum positif mengenai prilaku (behavior) anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarat.[5]. dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan, dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Sumber bahan hukum ada dua yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan pemerintahan, termasuk didalamnya amar putusan yudisial, yang diperoleh berdasarkan hierarki perundang-undangan yang berhubungan dengan rumusan masalah dalam tulisan ini, di antaranya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/Pbi/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, Putusan Pengadilan Tentang Perkara Ekonomi Syari’ah PMH Akad Musyarakah Antara PT. Intan Mas Indonesia dengan PT. Bank Panin Dubai Syariah Tbk. Putusan Pengadilan Tentang Perkara Ekonomi Syariah PMH Akad Murabahah Antara Muhammad Ardy Said dan BMT Al-Hijrah Telkom.

 

C.   HASIL DAN PEMBAHASAN

1.    Sengketa Ekonomi Syariah, Kompetensi Peradilan Agama daN Eksekusi Hak Tanggungan

Untuk kepastian hukum penyelesaian sengketa dan penegakan hukum atau penyelesaian sengketa terkait ekonomi syariah, telah diperkuat dengan amandemen pertama Undang-Undang  No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang menambah ruang lingkup tugas dan wewenang peradilan agama untuk memeriksa, mengadili, maupun menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah meliputi: Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, suratberhargaberjangkamenengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiunlembagakeuangan syariah, dan bisnis syariah.

        Orang-orang yang beragama Islam yang dimaksud, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang beragama Islam yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

         Undang-Undang No. 3 tahun 2006 secara normatif memberi kepastian hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan mutlak Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal tersebut berarti, Pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama sebagai satu-satunya lembaga litagasi yang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dalam implementasinya, kewenangan tersebut juga diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, yang menghapus adanya dualisme kewenangan sengketa ekonomi syariah antara peradilan umum dan peradilan agama.

Sengketa Ekonomi syariah merupakan pertentangan yang terjadi antar orang yang kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip ekonomi syariah atau perjanjiannya tunduk pada prinsip- prisnip syariah, yang disebabkan oleh perbedaan pandangan atau persepsi tentang kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi para pihak dan bisa diberikan sanksi hukum

terhadap salah satu diantaranya. Salah satu sebab yang sering terjadi adalah adanya ingkar janji atau   salah satu pihak tidak dapat melakukan sesuatu yang disepakati. Bisa juga karena melakukan keterlambatan pembayaran, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian atau pihak lain merasa dirugikan (Jannah, 2017)

Secara garis besar terdapat dua sistem dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, pertama yaitu secara litigasi, kedua yaitu secara non litigasi. Secara litigasi merupakan penyelesaian yang diselesaikan di lembaga pengadilan dengan berbagai hukum acaranya, sedangkan non litigasi diselesaikan diluar lembaga pengadilan. Ada beberapa lembaga diluar pengadilan yang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), atau melalui lembaga arbitrase, atau melalui lembaga konsumen (Suadi, 2017).

2.    Kompetensi Peradilan Agama

Peradilan agama memiliki kompetensi absolut yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor.

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi absolut tersebut tertuang dalam pasal 49 Undang-Undang ini yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam penjelasan pasal tersebut, ekonomi syariah merupakan “perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah”, lebih lanjut klausul “antara orang-orang yang beragama islam” termasuk juga diantaranaya adalah orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela kepada hukum islam mengenai hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal 49 tersebut. Peradilan agama memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan perkara antara para pihak ketika terjadi sengketa. Sengketa tersebut dapat terjadi antara lain: para pihak yang bertransaksi mengenai gugatan wanprestasi, gugatan pembatalan transaksi; dan pihak ketiga dan para pihak yang bertransaksi mengenai pembatalan transaksi, pembatalan akta hak tanggungan, perlawanan sita jaminan dan/atau sita eksekusi serta pembatalan lelang. Dalam pemeriksaan itu Pengadilan Agama harus meneliti akta akad yang dibuat oleh para pihak, sebab jika dalam akta tersebut terdapat klausul bahwa jika terjadi sengketa akan memilih penyelesaian di Badan Arbitrase Syariah Nasional, maka Pengadilan Agama secara ex officio harus menyatakan tidak berwenang (Hasan, 2010).


Kewenangan Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syariah, Mahkamah Agung menetapkan empat kebijakan untuk merespon hal tersebut, yaitu : “Memperbaiki sarana dan prasarana lembaga peradilan agama; meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia bekerjasama dengan perguruan tinggi; membentuk hukum formil dan materil agar menjadi pedoman bagi aparat peradilan agama dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa ekonomi syariah; dilaksanakan secara sederhana, mudah dan biaya ringan” (Atikah, 2017). Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, menjadi rujukan bagi aparat peradilan agama untuk memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah.

Pasca-lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 093/PUU-X/2012, hilanglah quo vadis tentang dualisme kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi. Peradilan agama secara legal konstitusional menjadi satu-satunya institusi yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi. Dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, peranan peradilan agama paling tidak harus diwujudkan dalam dua hal: pertama, memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa sehingga mereka merasa puas dengan putusan yang dihasilkan; kedua, memberikan sumbangsih positif bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. (Suadi & Candra, 2016)

3.    Eksekusi Hak Tanggungan

             Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak-hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. (Pasal 1 ayat(1) UU No. 4 Tahun 1996).

                  Selain jaminan dibebankan pada tanah, hak tanggungan dapat juga dibebankan kepada benda-benda atau bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, apabila benda-benda atau bangunan tersebut adalah juga milik dari pemilik atas tanah yang dibebankan hak tanggungan tersebut. Tetapi apabila benda-benda atau bangunan yang ada di atas tanah yang dibebani hak tanggungan itu bukan milik dari pemilik tanah yang dianggungkan, maka pembebanan hak tanggungan atas benda-benda atau bangunan yang di atas tanah tersebut dan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik benda-benda atau bangunan tersebut atau yang di berikuasa olehnya dengan akta otentik dan ikut bertanda tangan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan. (Pasal 4 ayat(4 dan 5) UU. No. 4 Tahun 1996)

a.       Spesifikasi Hak Tanggungan

        Sebagai jaminan pemenuhan kewajiban debitor kepada bank, Hak Tanggungan mempunyai ciri yang spesipik sebagaiberikut:

-         Hak Tanggungan memberikan hak preference (Droit De Preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu dari pada kreditur lain. Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor memperoleh hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditor yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain akan sangat menguntungkan pada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali pinjaman uang yang diberikannya kepada debitor yang cidera janji (Pasal 6 UU. No. 4 Tahun 1996).

-         Hak Tanggungan mengikuti tempat benda berada (Droit De Suite). Hal tersebut merupakan salah satu kekuatan lain Hak Tanggungan. Jadi, walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak lain atau orang lain (dalam hal ini misalnya di jual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan (dalam praktiknya dikenal dengan istilah dilakukan “roya”) oleh pemegang Hak Tanggungan dimaksud. Peralihan Hak Tanggungan bisa terjadi melalui proses hukum: merger (penggabungan perusahaan), akuisisi (pengambil alihan perusahaan), hibah, maupun pewarisan (Pasal 7 UU. No. 4 Tahun 1996).

-         Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada. Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada saat di buat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya (Pasal 2 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996).

-         Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan dengan cara penjualan di muka umum (Pasal 14 ayat (3) UU. No. 4 Tahun 1996).

-         Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas. Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak preference kreditur. Dengan adanya publisitas tersebut, pihak ketiga bisa mengecek status tanah melalui kantor pertanahan setempat. Tujuannya untuk menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan (pasal 13 ayat (1) UU. No. 4 Tahun 1996).

-         Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu. Jadi apabila perjanjian pokok berakhir maka secara otomatis perjanjian Hak Tanggungan juga berakhir.

b.      Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan.

      Eksekusi Hak Tanggungan dilakukan apabila debitor cidera janji (wanprestasi). Eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan cara obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum.  Adapun  jenis eksekusi obyek hak tanggungan adalah:

1.  Parateexecutie. (eksekusilangsung) obyek hak tanggungan diatur pada:

       Pasal 6 UUHT sebagai berikut: “apabila debitor wanprestasi maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu”. 

       Pasal 11 hurup (e) sebagai berikut: “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”

        Pasal 20 ayat (1) hurup a sebagai berikut: “hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6”.

         Dari pasal-pasal tersebut di atas dipahami bahwa parate executie mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van eigenmachtig verkoop). Eksekusi parate dilakukan apabila debitor wanprestasi.

         Apabila debitor wanprestasi, maka kreditor sebagai pemegang hak tanggungan berhak untuk langsung mohon kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).  Walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun demikian, pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur pemegang hak tanggungan, tetapi harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi Hak Tanggungan.

         Pejabat lelang memproses pelaksanaan lelang berdasarkan permohonan eksekusi pemegang hak tanggungan, yang diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.

4.    Analisis Terhadap Putusan Sengketa Ekonomi Syariah dalam Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Sengketa ekonomi syariah dapat diartikan sebagai suatu perselisihan yang terjadi diantara dua pihak atau lebih dalam usaha ekonomi yang kegiatan usahanya dijalankan berdasarkan prinsip dan asas hukum ekonomi syariah yang lantaran adanya persepsi yang berbeda mengenai satu kepentingan atau hak milik yang dapat memicu akibat hukum terhadap keduanya dan bisa diberikan sanksi hukum kepada salah satu di antara keduanya (Soemitra, 2018). Dalam  kasus gugatan yang dianalisis oleh penulis, merupakan gugatan perbuatan melawan hukum, satunya majelis hakim memutus menolak gugatan tersebut dan satunya majelis hakim menerima gugatan tersebut.

Perkara ekonomi syariah yang terjadi antara PT. Intan Mas Indonesia (Penggugat) melawan PT. Bank Panin Dubai Syariah Tbk (Tergugat). Adapun pokok perkaranya yaitu, antara kedua belah pihak terjadi sebuah akad pembiayaan musyarakah sejumlah dua ratus miliar rupiah


dengan fasilitas pembiayaan empat puluh miliar rupiah dengan jangka waktu yang diberikan adalah tiga puluh enam bulan, seratus miliar rupiah beserta jangka waktu dua belas bulan, dan enam puluh miliar rupiah dengan jangka waktu enam puluh bulan. Pada akhir tahun, tergugat mengirimkan surat pemberitahuan perilah kondisi wanprestasi/ingkar janji yang dilakukan oleh penggugat.

Ada beberapa pertimbangan pokok hakim dalam putusan tersebut, Gugatan penggugat tidak ada satupun dalil serta bukti yang kuat yang menyebutkan Perbuatan Melawan Hukum seperti apa yang dilakukan tergugat. Tergugat padahal telah memberikan restrukturisasi pembiayaan berupa perpanjangan jatuh tempo kepada penggugat sebanyak empat kali. Tergugat sebenarnya telah melakukan perbuatan yang benar sebagaimana peraturan yang ada. Sehingga tergugat tidak benar telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dalil penggugat. Putusan akhir dari majelis hakim atas perkara ini adalah menolak eksepsi tergugat, menolak gugatan provisi penggugat dan menolak gugatan pokok perkara penggugat.

Upaya hukum yang dilakukan oleh PT. Intan Mas Indonesia mulai dari upaya permintaan restrukturisasi pembiayaan kepada PT. Bank Panin Dubai Syariah Tbk., dikarenakan para pelanggannya yang tidak lancar dalam membayar hutang-hutangnya sehingga PT. Intan Mas Indonesia tidak dapat memenuhi pembayaran kepada PT. Bank Panin Dubai Syariah Tbk. Seperti yang disebutkan bahwa PT. Intan Mas Indonesia dapat dikatakan mengalami kerugian yang tidak diinginkannya, para customer atau pelanggannya berdalih bahwa sedang terjadi bencana alam yang dalam gugatannya merupakan force majeure, yang mana penggugat sendiri tidak bisa memaksakan kehendak kepada pelanggan-pelanggannya untuk segera melakukan pembayaran.

Walaupun Pengadilan Agama memutus perkara tersebut dengan menolak segala gugatannya, tetapi bisa kita analisis apakah segala tuntutan perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Penggugat sudah memenuhi unsur yang ada dalam Pasal 1365 KUHPerdata sebagaimana yang disebutkan di kerangka teori sebelumnya. Maka diperlukan untuk menjabarkan unsur-unsur tersebut, adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, ada kesalahan/kealpaan, kerugian yang ditimbulkan, adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Dalih yang digunakan penggugat disini adalah perbuatan yang tidak memberikan restrukturisasi pembayaran pada penggugat. Perbuatan tersebut dinilai oleh Penggugat


merupakan perbuatan melawan hukum Pasal 5 PBI No. 13/9/PBI/2011, SE No. 13/16/DPbS dan Pasal 52 PBI No. 14/15/PBI/2012 yang mengatur mengenai restrukturisasi. Kerugian yang terjadi adalah menunggaknya pembayaran dan adanya denda. Hubungan causal antara perbuatan dan kerugian adalah tindakan tidak memberikannya restrukturasi pembayaran mengakibatkan kerugian bagi Penggugat berupa tunggakan pembayaran dan sejumlah denda. Dalam terjadinya masalah dalam pembiayaan ada beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu: Penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring), melalui tindakan persuasif kepada nasabah, memberikan surat peringatan dan somasi, mengeluarkan surat peringatan kedua dan ketiga, melakukan eksekusi terhadap jaminan, melayangkan surat lelang jaminan pada debitur dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), dan ditindaklanjuti KPKNL dengan memberikan surat kepada debitur bahwasannya jaminan akan dilelang pada hari yang sudah ditentukan (Yuniarti, 2018).

Putusan hakim yang menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah ketika semua unsur diatas tersebut terpenuhi. Penulis pun tidak melihat atau membaca satupun dalil yang membuktikan unsur PMH dan perbuatan melawan hukum seperti apa yang dilakukan oleh tergugat. Sekalipun hakim memaksakan kehendaknya bahwa Penggugat tidak dapat membayar karena adanya force majeure. Terdapat tiga faktor yang mesti dipenuhi agar dapat dikatakan force majeure, yakni: prestasi yang tidak terpenuhi, penyebabnya berada diluar kesalahan pelaku yang bersangkutan dan adanya faktor yang tidak terduga serta tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan (Soemitra, 2018). Dalam KHES sendiri keadan memaksa atau keadaan darurat diartikan sebagai keadaan dimana salah satu pihak yang mengadakan akad terhalang untuk melaksanakan prestasinya. Adapun syarat keadaan memaksa atau darurat adalah peristiwa yang menyebabkan terjadinya darurat tersebut tidak terduga oleh para pihak; peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi; peristiwa yang menyebabkan darurat tersebut di luar kesalahan pihak yang harus melakukan prestasi; pihak yang harus melakukan prestasi tidak dalam keadaan beritikad buruk.

Menurut penulis, walaupun force majeure terjadi pada pelanggan Penggugat sehingga Penggugat tidak dapat melakukan pembayaran pada Tergugat, tetapi keadaan tersebut tidak berakibat langsung pada Penggugat, dan itu diluar sepengetahuan Tergugat. Sehingga dalih force


majeure Penggugat memang tidak dapat diterima, kecuali yang bersengketa adalah Penggugat dan para pelanggannya dan yang mengdalihkan force majeure tersebut adalah para pelanggannya.

Kasus kedua penggugat  melawan Koperasi Syariah BMT al-Hijrah Telkom sebagai Tergugat I; Direksi PT. BNI cq PT. Kantor Cabang Syariah Makassar sebagai Tergugat II; Pemerintah RI cq Kementrian Keuangan RI cq Dirjen Kekayaan Negara cq Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang sebagai Tergugat III; PT Balai Lelang Star Regional Makassar Sebagai Tergugat IV; Kepala Kantor Pertanahan Makassar sebagai Tergugat V; dan Tamrin selaku pembeli sebagai Tergugat VI. Penggugat memohon peminjaman modal kerja kepada Tergugat I berupa uang tunai dengan jaminan adalah satu unit rumah permanen atas nama milik penggugat. Akad yang ditandatangani adalah akad pembiayaan Al-Murabahah yang memiliki jangka waktu lima tahun sejak agustus 2007 hingga agustus 2012. Dua tahun kemudian penggugat diperlihatkan surat somasi dari tergugat II perihal teguran/somasi ke-3. Somasi tersebut mengenai cidera janji (wanprestasi) Tergugat I kepada Tergugat II. Ternyata ketika Tergugat I meminta kepada Penggugat untuk menandatangani kelengkapan berkas waktu 2007 adalah menandatangani akta pemberian hak tanggungan (APHT) antara Tergugat I sebagai debitur dan Tergugat II selaku kreditur. Padahal dalam akad pembiayaan al-murabahah antara Penggugat dan Tergugat I tidak adanya klausula untuk memberikan hak kepada Tergugat I untuk memindah tangankan dan/atau menjaminkan objek jaminan rumah milik Penggugat kepada pihak lain. Setelah beberapa bulan Tergugat I mendapatkan surat dari Tergugat IV mengenai pemanggilan debitur dan pemberitahuan lelang. Pemberitahuan lelang tersebut tanpa ada juga penyampaian secara tertulis kepada Penggugat sebagai pemilik objek yang akan dilelang. Juli 2009 pemberitahuan hasil lelang ditujukan kepada Tergugat I dan tembusannya kepada Penggugat, dan betapa terkejutnya Penggugat ketika mengetahui bahwa aset Penggugat telah dilelang oleh Tergugat III dan IV.

Dalam pemeriksaan ditemukan suatu fakta kejadian perkara yang tidak lazim dalam suatu perikatan, yakni satu objek dijadikan agunan dalam dua transaksi akad. Pertama, Penggugat mengagunkan sebuah rumah miliknya dikoperasi baitul mal wat tamwil dalam perjanjian akad murabahah, yang kemudian Tergugat I mengagunkan rumah milik Penggugat pada Bank BNI


Syariah dalam sebuah akad mudharabah. Majelis berpendapat permasalahannya bukan pada masalah penyaluran dana koperasi dari Tergugat II kepada Tergugat I seterusnya kepada Penggugat, tetapi lebih pada proses hukum akad dalam hubungannya dengan objek yang menjadi agunan. Dalam rangkaian proses tersebut, adalah dipandang tidak benar perbuatan Tergugat I yang menjadikan jaminan barang milik Penggugat kepada Tergugat II yang tidak adanya surat kuasa untuk itu dan atau tanpa melibatkan Penggugat sebagai pihak dalam akad Mudharabah.

Dalam akad mudharabah antara Tergugat I dengan Tergugat II memang terdapat Sertifikat hak tanggungan, akta pemberian hak tanggungan dan perjanjian fidusia. Akan tetapi semua bukti tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan bukti yang mengikat, karena sejak semula Penggugat tidak terlibat dalam akad mudharabah antara Tergugat I dengan Tergugat II. Perbuatan Tergugat I yang mengagunkan rumah milik Penggugat kepada Tergugat II tidak ada surat kuasa dari Penggugat, merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum, yakni menyimpang dari asas-asas akad sebagaimana tersebut dalam pasal 21 huruf (g) peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2008 tentang kompilasi hukum ekonomi syariah. Pengadilan Agama memutus bahwa para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka dari itu perlu kita lihat bahwa unsur yang ada pada Pasal 1365 KUHPerdata diterapkan pada gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat terhadap para Tergugat. Selain melalui unsur yang ada pada Pasal 1365 KUHPerdata (adanya suatu perbuatan, terdapat kesalahan, adanya kerugian, hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian), kita bisa menelusuri juga asas dalam berakad yang ada dalam Pasal 21 KHES.

Adanya suatu perbuatan yang merupakan perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I, maupun Tergugat I dan Tergugat II, telah menenuhi unsur dalam pasal 1365 KUHPerdata. Perjanjian tersebut merupakan bukti dari adanya suatu perbuatan. Dalam hal ini perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang sah dihadap hukum dan mengikat para pihak yang terlibat. Tetapi perlu diketahui bahwa perjanjian yang ada antara Penggugat dan Tergugat I dengan Tergugat I dan Tergugat II merupakan perjanjian yang berbeda. Adapun antara Tergugat I dan Tergugat II adalah perjanjian mudharabah. Terdapat kesalahan, Tergugat I menjadikan jaminan barang milik Penggugat kepada Tergugat II,yang tidak adanya surat kuasa untuk itu. Adanya kerugian pada Penggugat, berupa jaminan yang menjadi kesepakatan dengan Tergugat I ternyata sudah di lelang oleh Tergugat II. Penggugat tidak mengetahui akan hal tersebut.


Hubungan causal yang terjadi sehingga Penggugat merasa dirugikan padahal dilakukan oleh Tergugat I. Secara tidak langsung menurut hemat penulis Tergugat I tidak menjelaskan lebih detail mengenai kelengkapan berkas ýang akan ditandatangani oleh Penggugat, maka ia telah melanggar asas itikad baik maupun kejelasan dalam KHES, karena ternyata yang ditandatangani oleh Penggugat adalah Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Penggugat hanya mengetahui melakukan pelengkapan berkas pada Tergugat II sebagaimana yang diminta oleh Tergugat I.

Oleh karena itu penulis sepakat dengan majelis hakim yang menyatakan bahwa perbuatan para tergugat adalah perbuatan melawan hukum. Walaupun perbuatan tergugat 3-6 menurut penulis, hanya korban imbas dari apa yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II. Tergugat I dapat dikatakan juga telah melakukan Ghasb, yang dalam KHES diartikan “mengambil hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa berniat untuk memilikinya.” Sebenarnya terbukti yang melakukan wanprestasi dalam perkara ini ialah Tergugat I, tetapi yang menanggung beban kerugian ialah Penggugat. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah terdapat ketentuan yang pada prinsipnya bahwa pelaksana usaha/karyawan/pegawai dalam sebuah lembaga ekonomi syari’ah tidak bertanggung jawab atau tidak menanggung resiko atas kerugian lembaga tersebut kecuali bila ada kecerobohan, wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, dan dalam hal ini dapat dituntut ganti rugi melalui pengadilan yakni Peradilan Agama. Prinsip-prinsip tersebut seperti termaktub dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah antara lain Pasal 579 dan 581.

Perbuatan Tergugat II yang melakukan transaksi akad mudharabah dengan Tergugat I tidak serta merta melibatkan Penggugat hingga kepada somasi dan pelelangan hak tanggungan milik Penggugat, merupakan penyimpangan dari asas kehati-hatian (ikhthiyathi) dan akibatnya merugikan hak Penggugat. Penulis pun melihat tidak adanya transparansi yang dilakukan oleh Tergugat I kepada Penggugat, mengingat Penggugat hanya disuruh untuk menandatangani kelengkapan berkas pada Tergugat II. Tidak adanya itikad baik dari Tergugat I juga telah menciderai asas akad dalam KHES. Itikad baik dalam pasal 21 KHES menyebutkan bahwa “akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.” Perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat I ini pun bisa dikatakan


bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari kedua kasus tersebut, penulis memperhatikan juga bahwa pertimbangan- pertambangan hukum yang diambil oleh hakim sangat sedikit yang berasal dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bahkan Hukum Islam sendiri yang merupakan sumber hukum dari Ekonomi Syariah. Walaupun demikian memang tidak terlarangnya menggunakan KUHPerdata atau peraturan perundang-undangan lain sebagai pertimbangan, mengingat peraturan mengenai ekonomi syariah di Indonesia masih sangat sedikit.

 

D.   SIMPULAN

Sumber sengketa yang digugat akibat penyimpangan dari akad yang telah diperjanjaikan adalah wanprestasi, sedangkan sengketa di luar akad merupakan perbuatan melawan hukum. Dari putusan yang telah diteliti. Untuk studi kasus yang sedang  diteliti,  penulis menilai tidak terbukti unsur perbuatan melawan hukum yang didalilkan oleh penggugat, akan tetapi pergugat dapat membuktikan sebaliknya sehingga putusan pengadilan menolak seluruh gugatan yang ada. Untuk kasus yang kedua, segala unsur yang ada dalam wanprestasi telah terpenuhi, sehingga gugatan dikabulkan sebagian.

DAFTAR PUSTAKA

Atikah, I. (2017). Eksistensi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Sebagai Pedoman Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah Di Pengadilan Agama. Muamalatuna, Vol. 9, (No. 2), p. 143–162.

Fuady, M. (2005). Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

              . (2017). Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Cetakan Ke). Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti.

Hasan, H. (2010). Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Depok:


Gramata publishing.

Jannah, N. M. (2017). Sengketa Ekonomi Syariah Studi Atas Putusan Hakim No.0459/Pdt.G/2016/PA.Sby Dalam Perspektif KHES. Maqasid: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 6, (No. 2).

Khatimah, H. (2020). Penyelesaian Sengketa Perbuatan Melawan Hukum Dalam Lembaga Keuangan Syariah (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 669/K/AG/2017). Universitas Islam Indonesia.

Norhadi. (2019). Perbuatan Melawan Hukum Dalam Sengketa Ekonomi Syariah ( Studi Analisis Yuridis Putusan MA Nomor 669 K/Ag/2017). Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/Pbi/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Pertaminawati, H. (2019). Bentuk Sengketa Ekonomi Syariah Dan Penyelesaiannya.  Dirasat: Jurnal

Studi Islam & Peradaban, Vol. 14, (No. 2), p. 59–83.

Putusan Nomor: 1352/Pdt.G/2019/PA.Sby Tentang Perkara Ekonomi Syariah PMH Akad Murabahah Antara Muhammad Ardy Said dan BMT Al-Hijrah Telkom.

Putusan Nomor: 384/Pdt.G/2017/PA.Mks Tentang Perkara Ekonomi Syari’ah PMH Akad Musyarakah Antara PT. Intan Mas Indonesia dengan PT. Bank Panin Dubai Syariah Tbk.

Soesila, R., & Pramudji. (2008). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Rhedbook Publisher.

Soemitra, A. (2018). Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah: Di Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Suadi, A. (2017). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana.

              . (2018). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah hukum. Jakarta: Kencana.

Suadi, A., & Candra, M. (2016). Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata Dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah (Edisi Pert). Jakarta: Kencana.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.


 

 

Yudha, A. K. (2018). Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum (Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah). Universitas Islam Indonesia.

Yuniarti, V. S. (2018). Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Perbankan Syariah. Jurnal Perspektif, Vol. 2, (No. 2), p. 215–243.

Zaidah, Y. (2015). Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan dan Arbitrasi Syariah di Indonesia.

Yogyakarta: Aswaja Presindo.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA

Analisis Putusan Kasus Hadhanah