RENUNGAN
AKHIR TAHUN
Oleh: Hj. Harijah Damis
Diakhir Bulan Desember, di penghujung tahun dan
menyambut tahun baru, ada rutinitas yang sudah empat tahun saya lakukan, yaitu
menutup beberapa buku catatan dan mempersiapkan buku catatan baru, salah
satunya buku adalah buku catatan penerimaan perkara dan
pembagian perkara kepada majelis hakim.
Selama 5 kali menutup buku
catatan, ada hal yang sama, menarik perhatian sekaligus membuat hati saya galau
dan selalu merenung. Hal yang sama
adalah perceraian semakin meningkat, Perempuan lebih banyak mengajukan gugatan
cerai yang menghampiri 4 : 1, anak-anak
korban perceraian makin bertambah dan
perempuan sebagai kepala rumah tangga semakin meningkat.
Di tahun 2011, saya
pernah menulis artikel “Perceraian Meningkat, Solusi atau Tragedi”. Ketika itu
saya berpikir perceraian adalah solusi bagi pasangan suami istri yang rumah
tangganya sudah tidak dapat dipertahankan keharmonisannya, rumah tangganya
subah pecah dan terjadi perselisihan terus menerus yangtidak mungkin adajalan
keluarnya, dan tragedi bagi pasangan suami istri yang hanya dengan masalah
kecil, lalu mengajukan perceraian ke Pengadilan. Di akhir tahun 2012, saya
mencoba meneliti kembali alasan-alasan percerian yang diajukan para pihak
berperkara, saya merenung dan mengambil kesimpulan sementara bahwa percerian
meningkat adalah sebuah tragedi. Perceraian meningkat bukan lagi khusus
ditempat penulis bertugas, namun merata di seluruh Indonesia, sehingga
tragedinya bukan lagi tragedi daerah, namun tragedi nasional.
Asumsi itu
dilatarbelakangi oleh pemikiran:
- Perceraian meningkat akan menimbulkan persoalan bagi anak-anak bangsa. Biasanya perceraian terjadi bagi pasangan suami istri yang telah melahirkan 1 sampai 3 orang anak, bahkan ada pasangan suami istri yang telah dikarunia 6 sampai 7 orang anak. Hal itu akan menimbulkan permasalahan besar bagi pemenuhan kebutuhan dasar anak, menyangkut kebutuhan nafkah, pendidikan, figure yang dapat diteladani dalam rumah tangga, perlindingan dan pengawasan dari hal-hal negative dan dari segi fsikologi diperlukan pemdamingan untuk anak-anak korban perceraian.
- Perceraian juga menimbulkan dampak bagi pasangan suami istri (janda dan duda) terutama yang masih muda.
- Perceraian rentang menimbulkan konplik karena perebutan harta gonogini dan masalah-masalah yang terkait dengan gonogini, perebutan hak pemeliharaan anak dan lain sebagainya.
Permasalah-permasalah
yang ditimbulkan akibat dari perceraian, kini belum mendapat perhatian yang
serius, apalagi penanganan khusus bagi anak-anak korban perceraian daan
janda-janda yang hidup dalam prustasi, janda-janda yang harus hidup dengan
beban memelihara dan membiayai anak sendiri pasca perceraian. Persoalan
keluarga seperti ini sangat memungkinkan menjadi tragedi nasional karena dapat
menjadi salah satu sumber kemiskinan, kebodohan dan penganggugan karena
korbannya muda kehilangan semangat untuk menciptakan prestasi dan inovasi.
Rapuhnya
nilai-nilai sakralitas perkawinan yang pada gilirannya menyebabkan perceraian
semakin meningkat disebabkan:
- Perkawinan dilaksanakan tanpa kesiapan dari masing-masing pasangan. Dari segi ekonomi misalnya, tidak sedikit perempuan mengajukan gugatan cerai karena sejak menikah tidak pernah diberi nafkah oleh sang suami karena suami tidak mempunyai pekerjaan, perkawinan dilaksanakan pada usia masih muda dan belum siap untuk bekerja mencari nafkah. Dari segi kesiapan mental, tidak berbilang lagi cerai gugat atau cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama khususnya tempat tugas penulis karena alasan perbedaan keinginan mengenai tempat tinggal, sang istri tidak mau berpisah dengan orang tuanya demikian sebaliknya atau ada salah satu pihak yang ingin mandiri. Apabila perkawinan terlaksana oleh pasangan yang sudah matang pemikirannya dan memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga, perbedaan tentang tempat tinggal bersama tidak akan menjadi prahara dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian.
- Perubahan pola pikir. Pengaruh mas media. Suatu hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia kini adalah pengaruh mas media. Di berbagai tayangan dipertontonkan pasangan muda yang begitu mudahnya bercerai. Hal ini disadari atau tidak, sangat besar pengaruhnya untuk merubah pola pikir dan prilaku masyarakat umumnya menyangkut perkawinan dan rumah tangga, sehingga persoalan yang hanya sepele menjadi pemicu perselisihan dan perceraian. Misalnya, sang suami menerima telpon salah sambung, lalu sang istri mencurigai ada wanita lain, menjadi penyebab perselisihan dan tidak terselesaikan karena tidak ada komunikasi yang sehat dalam rumah tangga, berakhir dengan perceraian.
- Tanggung jawab terhadap anak tidak dipahami dan dampak perceraian tidak pernah dipikirkan.
Dari ketiga indikator tersebut, yang
perlu mendapat catatan khusus adalah dampak perceraian bagi anak-anak. Semakin meningkat perceraian semakin meningkat pula jumlah anak sebagai generasi
pelanjut yang secara psikis menderita.
Dari pengalaman penulis sebagai
praktisi, dampak yang paling ringan adalah menurunnya prestasi belajar anak
akibat perceraian orang tuanya. (anak
menjadi bingung mau ikut siapa, ayah atau ibu, kehilangan idola yang harus
diteladani dalam rumah tangga). Gejolak
hati tidak dipahami oleh para orang tua,
tetapi menjadi salah satu indikator ketidak seimbang anak dalam meniti hidup
dan kehidupannya. Ketika perceraian
makin meningkat, semakin meningkat pula anak yang broken home. Hasil akhirnya adalah mengurangi jumlah
generasi (anak bangsa) yang berkualitas.
Anak sangat memerlukan cinta dan kasih
sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana ia memerlukan makanan. Jiwa anak-anak sangat lembut dan mudah
terpengaruh. Anak adalah miniatur orang
dewasa yang belum memiliki jati diri dan identitas diri. Anak sangat butuh cinta dan kasih sayang
kedua orang tuanya dalam pembentukan jati diri dan indentitas diri. Anak memerlukan refleksi cinta dan kasih
sayang dari kedua orang tuanya dalam tindakan nyata.
Dengan latar belakang pemikiran itu,
meningkatnya perceraian merupakan tragedi, dan pantaslah apabila persoalan meningkatnya perceraian menjadi
keprihatinan banyak kalangan, namun bukan
keprihatian yang dibutuhkan kini, tetapi solusi mengatasi dan meredam
terjadinya prahara rumah tangga, menekan perceraian serta pemdapingan bagi anak
dan perempuan korban percraian.
Ada beberapa hal yang perlu
dikaji menyangkut masalah perkawinan:
1.
Tentang Usia Perkawinan. Pada Undang-Undang RI. Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan mengatur usia perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun
bagi laki-laki. Pada kenyataannya tidak
sedikit perkara yang penulis tangani
karena menikah dengan usia sekitar itu (usia masih belia). Usia belia, belum matang secara emosional, belum mandiri dari sisi ekonomi dan secara
spiritual (kecenderungan beragama) juga belum mantap.
Adanya kecenderungan beragama misalnya
merupakan hijab untuk berbuat sesuatu yang menjadi pemicu keretakan rumah
tangga. Agama mengajarkan untuk menjalin
komunikasi dengan baik (musyawarah), bertutur sapa dengan lemah lembut,
sederhana dalam segala hal dan lain sebagainya.[1]
Dari segi ekonomi, rumah tangga
dibangun sangat ditopang dengan kemampuan finansial, walau tidak berorientasi
materialistik. Rumah tangga tidak bisa
tenang apabila pada malam harinya pasangan suami istri masih memikirkan apa
yang akan dimakan esok harinya.
2.
Penyuluhan/Pembekalan tentang tujuan
perkawinan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga sebelum
menikah kepada calon mempelai pria dan wanita benar-benar dilakukan secara
bersunguh-sunguh.
3.
Penyuluh yang akan memberi pembekalan
bagi pasangan yang akan menikah adalah personal yang betul memahami masalah
perkawinan terutama tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan juga dapat
memberi keteladanan.
4.
Tayangan tentang kawin cerai di mas
media diminimalisir atau sekaligus ditiadakan.
Wallahualam bissawab
IDENTITAS
PENULIS:
Nama : Dr. Hj. Harijah Damis, M.H.
Pekerjaan : Ketua Pengadilan Agama Sengkang kelas
1 B
Alamat
Kantor : Jl. Beringin I Sengkang Kab. Wajo.
Email : harijahdamis@yahoo.com
HP:
08524098562
Komentar
Posting Komentar