PROSEDUR EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN   BERDASARKAN UU. NO. 4/1996

Oleh: Dr. Hj. Harijah D., M.H.

 

A.        Pendahuluan

           Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, menghapus adanya dualisme Kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah antara Peradilan Umum dan Peradilan Agama.  Hal itu berarti bahwa Peradilan Agama merupakan satu-satunya lembaga litigasi yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi  syariah berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

           Undang Undang  No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang Undang  No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menambah ruang lingkup tugas dan wewenang peradilan agama untuk memeriksa, mengadili, maupun menyelesaikan perkara  antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syariah meliputi: Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

           Orang-orang yang beragama Islam yang dimaksud, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

          Pada pasal 55 ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga disebutkan penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.  Khusus menyangkut sengketa Perbankan Syariah tercakup di dalamnya tentang eksekusi hak tanggungan dalam pembiayaan syariah. Fungsi bank secara umum adalah menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman atau kredit (lending). Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. ( http://id.wikipedia.org, akses pada tanggal 17 Januari 2017)

         Pada pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa : "Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, tersirat bahwa jaminan merupakan salah satu faktor dan syarat dalam pertimbangan pemberian kredit.  Penilaian dilakukan bank biasanya terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), jaminan (collateral), dan prospek usaha debitur (condition of economic).

           Barang jaminan yang biasanya digunakan berupa tanah,  mengingat tanah merupakan benda yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena dari tahun ke tahun nilai tanah akan semakin meningkat. Tanah yang menjadi obyek jaminan dapat tanah yang merupakan milik debitur secara pribadi maupun tanah milik pihak ketiga sebagai penjamin hutang debitur.

            Tanah yang digunakan jaminan hutang tersebut akan diikat dalam suatu perjanjian yang disebut pengikatan hak tanggungan, sejalan dengan itu kredit macet merupakan salah aspek yang wanprestasi karena pembayaran kredit yang tidak lancar. Pengikatan hak tanggungan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan terhadap perjanjian pokok, karena perjanjian pokok pada perkara tersebut akadnya didasarkan kepada syari’ah. maka pengadilan agama berwenang untuk melakukan ekseksui hak tanggungan.  Oleh sebab itu, sangat penting untuk memahami prosedur eksekusi hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

B.        Pengertian Hak Tanggungan

           Hak tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak-hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.  (Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996).

           Selain jaminan dibebankan pada tanah, Hak Tanggungan dapat juga dibebankan kepada benda-benda atau bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, apabila benda-benda atau bangunan tersebut adalah juga milik dari pemilik atas tanah yang dibebankan hak tanggungan tersebut. Tetapi apabila benda-benda atau bangunan yang ada diatas tanah yang dibebani hak tanggungan itu bukan milik dari pemilik tanah yang dianggungkan, maka pembebanan hak tanggungan atas benda-benda atau bangunan yang diatas tanah tersebut dan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik benda-benda atau bangunan tersebut atau yang di beri kuasa olehnya dengan akta otentik dan ikut bertanda tangan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan. (Pasal 4 ayat (4 dan 5) UU. No. 4 Tahun 1996).

C.  Spesipikasi Hak Tanggungan

         Sebagai jaminan pemenuhan kewajiban debitur kepada bank, Hak Tanggungan  mempunyai ciri yang spesipik sebagai berikut:

1.        Hak Tanggungan memberikan hak preference (Droit De Preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dari pada kreditur lain. Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain akan sangat menguntungkan pada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali pinjaman uang yang diberikannya kepada debitur yang cidera janji (wanprestasi).

2.        Hak Tanggungan mengikuti tempat benda berada (Droit De Suite). Ini merupakan salah satu kekuatan lain Hak Tanggungan. Jadi, walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak lain atau orang lain (dalam hal ini misalnya di jual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan (dalam praktiknya dikenal dengan istilah dilakukan “roya”) oleh pemegang Hak Tanggungan dimaksud. Peralihan Hak Tanggungan bisa terjadi melalui proses hukum: merger (penggabungan perusahaan), akuisisi (pengambil alihan perusahaan), hibah, maupun pewarisan.

3.        Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada. Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada saat di buat dan ditandatangani akta pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan jumlah ataupun bentuknya.

4.        Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui penjualan dimuka umum.

5.         Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas. Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak preference kreditur. Dengan adanya publisitas tersebut, pihak ketiga bisa mengecek status tanah melalui kantor pertanahan setempat. Tujuannya untuk menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan (Sumarto, 2014).

6.        Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak Tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu. Jadi apabila perjanjian pokok berakhir maka secara otomatis perjanjian Hak Tanggungan juga berakhir.

D.   Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan

            Eksekusi Hak Tanggungan dilakukan apabila debitor cidera janji (wanprestasi).   eksekusi hak tanggungan dilakukan dengan cara  obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum.  Adapun  jenis eksekusi obyek hak tanggungan adalah:

1.        Parate executie.

Parate executie (eksekusi langsung) obyek hak tanggungan diatur pada:

-          Pasal 6 UUHT sebagai berikut:  apabila debitor wanprestasi maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu”. 

-          Pasal 11 hurup (e) sebagai berikut: “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hakuntuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitorcidera janji”

-          Pasal 20 ayat (1) hurup a sebagai berikut: hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6”.

            Dari pasal-pasal tersebut di atas dipahami bahwa  parate executie  mensyaratkan adanya janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi (beding van eigenmachtig verkoop).  eksekusi parate dilakukan apabila debitor wanprestasi.

           Apabila debitor wanprestasi, maka kreditor sebagai pemegang hak tanggungan berhak  untuk langsung mohon kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).  Walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitor wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”,  namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak tanggungan, tetapi harus dilakukan oleh pejabat lelang pada KPKNL, karena pejabat lelang inilah yang oleh peraturan diberi wewenang melakukan lelang eksekusi.

           Pejabat lelang memproses pelaksanaan lelang berdasarkan permohonan eksekusi pemegang hak tanggungan, yang diawali dengan pengumuman lelang sebanyak dua kali diikuti dengan penjualan lelang dan pembagian hasil lelang. Apabila hasil lelang setelah dikurangi selulruh biaya dan pelunasan utang kepada para kreditor masih ada sisa, maka sisa tersebut harus diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.

2.        Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan

              Eksekusi penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan diatur pada:

-          Pada pasal 20 ayat (2)  UUHT disebutkan:  Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengandemikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan semuapihak”.

-          Pada pasal 20 ayat (3) UUHT disebutkan: Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukansecara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepadapihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua)surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massasetempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan”.

         Pasal tersebut mengatur eksekusi penjualan di bawah tangan dapat dilakukan apabila  ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan bahwa penjualan di bawah tangan obyek hak tanggungan akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dengan kata lain penjualan di bawah tangan dilakukan bilamana diperkirakan bahwa penjualan melalui pelelangan atau penjualan di muka umum melalui eksekusi parat atau eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksud Pasal 20 (1) a dan b UUHT tidak akan mencapai harga tertinggi.

            Penjualan di bawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/ atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar pada daerah  yang bersangkutan  serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. (Rum Nessa, dkk., 2015, P 269)

3.        Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Melalui Pengadilan

         Eksekusi obyek hak tanggungan melalui Pengadilan di atur pada:

-          Pasal ayat 20 (1) hurup b UUHT sebagai berikut: “titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungandijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalamperaturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungandengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya”.

-          Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT sebagai berikut: (3) “Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANANYANG MAHA ESA".

(3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah

          Prosedur eksekusi  melalui Pengadilan dilakukan dengan cara kreditor mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan, selanjutnya Pengadilan melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang sudah mencapai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI KEADILAN BERDSARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

           Prosedur eksekusi hak tanggungan melalui Pengadilan berpedoman pada Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg.

 

E.   Sita Eksekusi Hak Tanggungan

           Eksekusi Hak Tanggugan termasuk  eksekusi pembayaran sejumlah uang, hal ini disebabkan  bentuk eksekusi jaminan terhadap hak tanggungan, pada umumnya merupakan eksekusi yang di akhiri dengan pembayaran sejumlah uang, dan hal ini biasanya bersumber dari suatu perjanjian bisnis atau penghukuman membayar ganti kerugian yang timbul dari wanprestasi berdasarkan pasal 1243 jo Pasal 1246 KUHPerdata atau yang timbul dari perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. 

           Eksekusi pembayaran sejumlah uang secara keseluruhan bersumber dari penghukuman pembayaran utang.  Apabila debitor lalai melunasi pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan secara sukarela, terbuka kewenangan pengadilan menjalankan putusan secara paksa melalui eksekusi, dengan jalan penjualan lelang atas obyek jaminan hak tanggungan di depan umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak kreditor.  

           Oleh karena itu, eksekusi hak tanggungan pada akhirnya merupakan eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka prosedurnya harus melalui tahapan Peringatan (aanmaning) terlebih dahulu.

            Peringatan atau teguran merupakan tahap awal proses eksekusi. Proses peringatan merupakan prasyarat yang bersifat formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil maupun pembayaran sejumlah uang.    Apabila debitor cidera jani untuk pelunasan pembayaran jumlah uang yang dihukumkan kepadanya secara sukarela, terbuka hak bagi kreditor untuk mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.    Adanya pengajuan permohonan eksekusi, merupakan dasar hukum bagi Ketua Pengadilan untuk melakukan tindakan peringatan dalam persidangan insidentil dengan jalan memanggil pihak tergugat untuk hadir pada tanggal yang ditentukan guna diperingatkan agar menjalankan pelunasan pembayaran yang dihukumkan kepadanya.

           Pada persidangan peringatan, Ketua Pengadilan memberi batas waktu pemenuhan pembayaran yang disebut masa peringatan, dan masa peringatan tidak boleh lebih dari delapan hari sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 196 HIR atau pasal 207 RBG.

         Tahap selanjutnya apabila pihak yang kalah tidak melaksanakana putusan adalah Pengadilan mengeluarkan surat penetapan sita eksekusi. (Mardani, 2010, P.145) . Ketua Pengadilan mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau jurusita untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta kekayaan tergugat, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RB.

          Sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang. Tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal 208 RBG.    Sita eksekusi adalah penyitaan obyek jaminan hak tanggungan setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada kreditor.   Cara untuk melunasi pembayaran sejumlah uang tersebut, dengan cara menjual lelang  obyek jaminan hak tanggungan yang telah disita. Kemudian, sita eksekusi itu dilakukan berdasarkan surat perintah yang menyusul peringatan, baru merupakan penahapan proses sita eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan. Penahapan proses sita eksekusi harus lagi disusul dengan penahapan proses surat perintah penjualan lelang, dan disusul penjualan lelang oleh kantor lelang.

            Tata cara sita eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 197, Pasal 198, dan Pasal 199 HIR atau Pasal 208, Pasal 209, dan Pasal 210 RBG. Sebagai berikut:

1) Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan;

2) Dilaksanakan panitera atau jurusita;

3) Pelaksanaan dibantu dua orang saksi;

4) Sita eksekusi dilakukan di tempat;

5) Pembuatan berita acara sita eksekusi.

F.  Perlawanan Eksekusi Hak Tanggungan

           Upaya hukum yang dilakukan untuk melawan eksekuis adalah Partij Verzet jakni perlawanan eksekusi ini diajukan oleh debitor/ pemberi hak tanggungan, atau diajukan oleh pihak ketiga yang disebut dengan derden verzet.  Namun demikian, perlawanan terhadap eksekusi hak tanggungan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan:

1.      Hak Tanggungan mengikuti tempat benda berada (Droit De Suite). Ini merupakan salah satu kekuatan lain Hak Tanggungan. Jadi, walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak lain atau orang lain (dalam hal ini misalnya di jual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan.

2.      Berdasarkan Pasal 207 (3) HIR atau 227 RBg. Disebutkan: “Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi”.

G.  Kesimpulan

          Hak tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak-hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Eksekusi Hak Tanggugan termasuk  eksekusi pembayaran sejumlah uang.  Hal itu disebabkan  bentuk eksekusi jaminan terhadap hak tanggungan, pada umumnya merupakan eksekusi yang di akhiri dengan pembayaran sejumlah uang sehingga salah satu tahapan eksekusi hak tanggungan adalah sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan tahap lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran sejumlah uang.  Perlawanan terhadap eksekusi hak tanggungan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan spesipikasi Hak Tanggungan mengikuti yang tempat benda berada (Droit De Suite), sehingga walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak lain atau orang lain (dalam hal ini misalnya di jual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum di ”roya”.

DAFTAR PUSTAKA

Mardani, 2010, Hukum Acara Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika.

Nessa, Rum, dkk., 2016, Membumikan Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. I; Yokyakarta: UII Press.

Sumarto, 2014, Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996, diakses dari http://mas-marto.blogspot.co.id/2014/11/eksekusi-hak-tanggungan. html.

http://id.wikipedia.org/wiki/kredit_(keuangan), akses pada tanggal 17 Januari 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA

Analisis Putusan Kasus Hadhanah