EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 PERUBAHAN   UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

(Analisis Usia Nikah Bagi Anak Perempuan)

 

Hj. Harijah Damis

 

ABSTRAK

          Perkawinan merupakan suatu perjanjian sakral dan kuat untuk mewujudkan keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal.  Upaya ke arah itu diawali dengan adannya kesiapan calon mempelai laki-laki dan perempuan termasuk pendewasaaan usia perkawinan. Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam telah menentukan batas usia menikah. Namun demikian, karena faktor-faktor tertentu yang dipandang mendesak sehingga perkawinan usia dini dapat dilegalkan melalui pengajuan permohonan Dispensasi Nikah ke Pengadilan Agama. Dispensasi Nikah menimbulkan dilemma tersendiri terkait masalah perkawinan anak di Indonesia, yakni melegalkan perkawinan anak dan atau pelanggaran hak-hak anak. Untuk menjawab hal tersebut, ada tiga masalah pokok yang diangkat dalam penelitian ini, yakni: Bagaimana Efektivitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?, Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan tingginya perkara Dispensasi Kawin (Diska) pada Pengadilan Agama di Indonesia dan bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam perkara mengabulkan perkara perkara tersebut ?. Adapun Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yakni menganalisis pertimbangan normatif terhadap putusan hakim.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan belum efektik dan faktor utamanya adalah adanya penambahan usia minimal untuk menikah dan pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi Nikah adalah demi mencegah kerusakan yang lebih banyak yang terkait dengan kepentingan anak dan anak yang dikandungnya.       

Kata Kunci:

Perkawinan, Umur, Dispensasi dan anak.

       
 

 

I.     PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang suci dan kuat antara seorang laki-laki  dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal (Harijah Damis, 2008, P. 2). Ikatan yang suci, yang sangat kuat, ter4hormat dan bersih tidak dapat dicampuradukkan dengan hal-hal yang dapat menodainya (Harijah Damis, 2009, P. 121).  Upaya untuk mewujudkan keluarga atau rumah tangga yang kuat dan kokoh dalam membina rumah tangga dimulai dari kesiapan masing-masing pasangan suami istri untuk memasuki gerbang perkawinan termasuk di dalamnya pasangan suami istri telah mencapai usia dewasa, matang dan mandiri. Usia dewasa atau pembatasan usia menikah sebagai salah syarat untuk melangsungkan perkawinan dimaksudkan agar masing-masing pasangan dalam membina, mengelolah dan menata rumah tangganya menuju rumah tangga yang bahagia dan langgeng.

Pembatasan usia perkawinan baik untuk laki-laki maupun perempuan telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang semula 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi perempuan, lalu dirubah menjadi 19 tahun baik untuk pria maupun untuk perempuan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun demikian perubahan usia tersebut tidak dapat meredam terjadinya melalui perkawinan anak melalui Dispensasi Nikah pada Pengadilan Agama.

Perkawinan perkawinan di bawah umur masih saja terjadi dari waktu ke waktu, termasuk pasca perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan perkawinan di bawah umur atau perkawinan dini rentang terjadinya perceraian karena belum mampu membina rumah tangga yang pada gilirannya dapat mengguncang harmoni sosial disebabkan menambah tingginya angka perceraian, menambah angka kemiskinan perempuan dan menambah masalah-masalah baru bagi anak yang dilahirkan.

Kasus perkawinan anak di bawah umur bukanlah persoalan baru. Praktek ini sudah berlangsung lama dengan banyak pelaku yang tidak hanya masyarakat tradisional dan pedalaman saja, namun juga di kota dan Kabupaten. Penyebabnya pun bervariasi, mulai dari faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, rendahnya pemahaman nilai agama, budaya dan akibat pergaulan bebas. Pernikahan dini merupakan satu bentuk pelanggaran perkawinan karena Undang-Undang Perkawinan menentukan usia perkawinan diperbolehkan apabila seorang pria dan wanita berusia 19 tahun.

Pelanggaran perkawinan disebabkan faktor calon pasangan masih di bawah umur,  dapat dilegalkan setelah memperoleh dispensasi nikah dari Pengadilan Agama dengan alasan-alasan khusus dan pertimbangan-timbangan tertentu. Berdasarkan data perkara Dispensasi Nikah yang masuk ke Pengadilan Agama Indonesia dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa angka permohonan Dispensasi Nikah sangat meningkat.  Hal itu berarti perkawinan Dini di Indonesia masih tinggi.  Penomena tersebut menimbulkan kegelisahan penulis untuk meneliti faktor-faktor penyebab dan melatar belakangi pengajuan perkara permohonan dispensasi nikah yang tentunya menjadi kajian teori untuk mendapatkan solusi serta menekan jumlah dispensasi dan selanjutnya untuk menekan terjadinya pernikahan dini.

B.  Rumusan Masalah

          Berdasarkan latar belakang di atas, rumasan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah:

1.      Bagaimana Efektivitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

2.   Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan tingginya perkara Dispensasi Kawin (Diska) pada Pengadilan Agama di Indonesia meningkat sangat tinggi pasca efektifnya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?

3.      Bagaimana pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi Nikah ?

C.  Tujuan Dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian  

         a. Untuk mengetahui dan menganalisis Efektivitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

         b. Untuk Mengetahui dan menganalisis Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan tingginya perkara Dispensasi Kawin (Diska) pada Pengadilan Agama di Indonesia ?

c, Untuk Mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi Nikah ?

         2.  Kegunaan Penelitian

                      Kegunaan atau manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah untuk mendapat solusi menekan terjadi pernikahan dini.

E.  Studi Pustaka

1.                  Batasan Umur Perkawinan Menurut Hukum Islam.

         Dalam berbagai kitab Fikih, tidak ditemukan kaidah yang menentukan batas usia atau umur untuk menikah, baik bagi anak laki-laki maupun untuk anak perempuan. Para Fuqoha hanya menentukan bahwa tolak ukur melakukan kebolehan menikah adalah kesiapannya untuk melakukan aktivitas seksual yang dapat mengakibatkan dia hamil, melahirkan dan menyusui yang ditandai dengan tibanya masa pubertas (Yusuf Hanafi, 2011, P. 12), dan definisi pubertas (baligh) tidaklah sama satu anak dengan anak yang lainnya.  Adanya perbedaan masa pubertas antara satu anak dengan anak yang lain menjadikan umur perkawinan menjadi elastis dan tidak dapat ditentukan berdasarkan umur si anak. 

            Namun demikian Islam menetapkan anjuran menikah ketika sudah mampu.  Kemampuan dimaksudkan agar dapat masing-masing pasangan suami istri dapat mewujudkan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Hal-hal yang menopang terwujudnya rumah tangga yang kokoh adalah  personal pasangan suami istri haruslah dewasa, matang dan mandiri. (Harijah Damis, 2009 P. 122).

          Di usia dewasa, seorang suami dapat menjadi seorang kepala rumah tangga yang dapat membina dan memberikan perlindungan bagi istri dan anak-anaknya.  Di usia dewasa pula pasangan suami istri dapat mandiri dari segi ekonomi karena membangun rumah tangga sangat ditopang oleh ekonomi yang mapan walau perkawinan tidak berorientasi pada materialistik.

          Di usia dewasa pula dapat terbentuk pribadi yang matang.   Matang dari segi emosional yang dapat dinilai ketika pasangan suami istri dapat melepaskan diri dari ketergantungan dari orang tuanya.  Dari segi sosial, dapat teruji apabila setiap individu dapat berinteraksi dengan orang lain, memahami kondisi orang lain dan dapat menerima kelebihan dan kekurangan orang laian termasuk pasangannya, dan dari segi spritual terkait dengan memahami ajaran agama dana mengamalkannya, terutama dalam menata kehidupan berumah tangga. (Harijah Damis, 2009, P.124)

2.    Batasan Umur Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas  Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

          Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-Undang pertama di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan secara nasional. Sebelumnya urusan perkawinan di atur oleh beragam sistem hukum yang ada di masyarakat seperti hukum adat dan agama yang bermacam-macam.  

          Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 telah merumuskan rinsip-prinsip perkawinan termasuk mengatur batas usia perkawinan bagi calon suami dan calon istri. Penentuan batas usia perkawinan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan.  Hal itu dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari segi fisik, psikis dan mental melangsungkan perkawinan. (Sofia Hardani, 2015, P. 130), dan juga dimaksudkan agar masing-masing pasangan suami istri memahami apa itu perkawinan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawab masing-masing dalam membina rumah tangga. 

         Batas usia perkawinan bagi seorang laki-laki dan perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun. Ketentuan tersebut ditetapkan pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 sebagai berikut:

“perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun”.

3.                  Batasan Usia Perkawinan menurut INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

         Kompilasi hukum Islam merupakan rujukan yang dipakai oleh hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia. Dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam ditetapkan batasan usia bagi yang ingin melangsungkan pernikahan, yaitu usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.  Hal tersebut tertuang pada pasal 15 ayat 1, yang sama redaksinya dengan 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1991 tentang Perkawinan.

4.              Batas Usia Dewasa

     Usia dewasa dalam tataran normatif, tidak seragam.  Usia dewasa dan atau dipandang bukan anak-anak lagi  diatur dalam antara lain:

a.  UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 1 angka 5 disebutkan anak adalah  setiap manusia yang belum berumur 18 tahun.

b.  UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Fornografy Disebutkan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun.

c.   UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak menyebutkan anak adalah yang belum berumur 18 tahun.

d.  UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada pasal 1 ayat (1) menyebutkan anak adalah seorang yang belum berumur 18 tahun

e.  19 tahun berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

f.     19 tahun berdasarkan INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

g.  SK Mendagri 1977 tertanggal 13 Juli 1977, dewasa seksual batas umur 19 tahun

h.  Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebut 18 tahun.

i.     Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan disebutkan 18 tahun.

j.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, belum berumur 18 tahun .

k.   17 tahun berdasarkan SK Mendagri 1977 dewasa politik.

l.     Pasal 330 KHUPerdata menyatakan kedewasaan  seseorang ketika berumur 21 tahun

5.              Perinsip Dan Hak Anak pada Tataran Normatif

           Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

         Ada empat perinsip yang tertuang dalam Undang-Undang ini dan dirumuskan pada pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:

a.       Non diskriminasi.

b.      Kepentingan terbaik bagi anak.

c.       Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan berkembangan.

d.      Penghargaan terhadap pendapat anak.

         Selain empat perinsip tersebut, juga ditetapkan hak-hak anak  yang harus dipenuhi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 yaitu:

a.       Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar.

b.      Hak identitas diri dan status kewarganegsaraan.

c.       Hak untuk beribadah, berpikir dan berekspresi.

d.      Hak mengetahui orang tuanya.

e.       Hak memperoleh pelayan kesehatan dan jamonan sosial.

f.       Hak untuk mendapatkan pendidikan.

g.      Hak untuk menyampaikan pendapat.

h.      Hak untuk memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, berekspresi dan berkreasi.

i.        Hak untuk mendapatkan perlindungan.

       

II.      METODE PENELITIAN

        Penelitian ini adalah pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research). library research berati penelitian yang menggunakan dokumen tertulis sebagai data, dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.  Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat hukum, meliputi produk hukum yang menjadi bahan kajian dan produk hukum sebagai alat kritiknya.  Bahan hukum sekunder meliputi penjelasan bahan hukum primer berupa kajian fikih, pemikiran ulama yang ditemukan dalam buku, jurnal dan dalam website. Penelitian lapangan dengan mengambil data dispensasi nikah pada Pengadilan Agama di Indonesia..

III.        HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.      Data Perkara Dispensasi Nikah di Indonesia.

Tahun 2017

13.103

Tahun 2018

13.822

Tahun 2019

24.862

Tahun 2020

64.196

 

         Pada tahun 2020, dari 64.196 perkara yang masuk di Pengadilan Agama seluruh Indonesia, diputus sebanya 63.231 perkara, dicabut sebanyak 1.470 perkara dan menjadi perkara sisa akhir tahun adalah 572 perkara.

B.       Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Mengabulkan Perkara Dispensasi Nikah

Pada umumnya, alasan klasik pengajuan permohonan Dispensasi Nikah adalah:

1.  Anak yang dimohonkan Dispensasi Kawin telah berumur lewat 18, tetapi belum sampai 19 tahun.  Alasan pengajuannya adalah sudah tamat SMU, dewasa, tidak kuliah, telah bekerja dan mampu untuk menjali kehidupan rumah tangga.

2.  Hamil di luar nikah, sehingga untuk perlindungan anak dalam kandungan.

3.  Sudah saling mencintai dan putus sekolah.

4.  Sudah berhubungan layaknya suami istri.

5.  Takut terjerumus.

6.   Takut melanggar norma sosial.

7.  Takut tidak menikah.

8.  Menjadi beban keluarga.

9.  Sudah tamat SMU, dewasa, tidak kuliah, telah bekerja dan mampu untuk menjali kehidupan rumah tangga

          Adapun paktor yang menyebabkan meningkatnya  permohonan Dispensasi Kawin yang terdaftar pada Pengadilan Agama di Indonesia adalah:

1.    Anak yang dimohonkan Dispensasi Kawin telah berumur lewat 18, tetapi belum sampai 19 tahun.  Alasan pengajuannya adalah sudah tamat SMU, dewasa, tidak kuliah, telah bekerja dan mampu untuk menjali kehidupan rumah tangga.

2.    Anak di bawah usia 18 tahun, namun kedua orang tuanya telah bercerai, dan ibunya ingin lepas tanggung jawab.

3.    Anak telah hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas.

4.    Faktor budaya dan takut anaknya tidak menikah.

            Dari 4 (empat) faktor di atas, yang paling berpengaruh adalah pada point 1 (satu).  Hal tersebut sangat terkait dengan batas usia seseorang dianggap dewasa.  Dari berbagai Undang-Undang yang ada, kategori anak adalah mereka yang masih di bawah umur 18 tahun,  Sehingga seseorang yang diajukan untuk dimohonkan Dispensasi Kawin dan telah berumur di atas 18 dipandang oleh masyarakat sebagai bukan perkawinan anak lagi.

          Untuk faktor point 2 (dua) sampai dengan point 4 (empat) merupakan alasan klasik yang selama ini menjadi alasan pengajuan Dispensasi Kawin.  Pengajuan Dispensasi Kawin dengan alasan tersebut berkurang dari tahun sebelumnya.  Hal itu disebabkan adanya sosialiasi di masyarakat tentang resiko kawin dan di bawah umur.  Selain itu, upaya majelis hakim menasehati orang tua dan anak yang dimohonkan Diska banya yang berhasil.

           Oleh sebab itu, adanya pertentangan usia dewasa dan penetapan batas usia masimal untuk menikah bagi perempuan dalam berbagai Undang-Undang yang berlaku berakibat pada tingginya angka Dispensasi Kawin dan menjadi tren pasca berlaku efektif Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019.  Hal itu juga menjadi trend di  Pengadilan Agama di Indonesia

C.      ANALISIS

1.        Faktor-faktor yang melatar belakangi permohonan dispensasi.

faktor yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan dini melalui Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama sebagai berikut:

a.         Pergaulan bebas dari nilai agama, anak dibawah umur antara laki-laki dan perempuan pada fase usia remaja. Zakiyah Darajat mendefinisikan remaja sebagai anak pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju usia dewasa, dan mebatasi usia remaja antara 13 tahun sampai 24 tahun. (diakses dari http://kumpulan-coretanpena.blogspot, tanggal 3 Oktober 2017).

         Dari data perkara yang telah dianalisis, terungkap bahwa fase rata-rata anak dimohonkan Dispensasi Nikah karena prilaku pergaulan bebas bahkan kasusnya lebih banyak hamil di luar nikah adalah ketika anak memasuki fase remaja, yakni usia 13 tahun sampai 15 tahun bagi anak perempuan dan usia 17 tahun sampai 18 tahun bagi anak laki-laki.

         Di usia remaja, kondisinya dilema dan rentan karena pada masa itu pertumbuhan seks mengalami peningkatan yang cukup hebat dan tidak jarang mengakibatkan goncangan mental.  Pada masa itu seolah berada di dunia baru yang belum dikenalnya, namun uniknya mereka tidak sadar apa yang terjadi.  Karenanya remaja pada umumnya bertingkah laku tanggung kadang sok jagoan, cari perhatian, bergerombol dengan rekan satu ide, dan tidak jarang memberontak terhadap orang tua maupun gurunya karena dianggap mencampuri urusannya.  Di fase itu, sangat rentan seperti sekarang banyak remaja sudah melakukan prilaku “dewasa”; memperkosa, mencuri merampok, kumpel kebo yang terpisah dengan realitas moraal lingkungannya. (diakses dari http://kumpulan-coretanpena.blogspot, tanggal 3 Oktober 2017).

b.        Lingkungan pendidikan yang rendah, baik orang tua masing-masing orang tua masing-masing dengan pendidikan paling tinggi adalah sekolah menegah pertama (SMP), maupun anak yanag dimohonkan Dispensasi Nikah dengan pendidikan SD., SMP. dan paling tinggi SMA., sehingga para orang tua tidak mampu mengatasi prilaku anak-anaknya dan lebih memilih jalan pintas untuk menikahkannya meskipun di bawah umur. 

c.         Kehidupan sosial dalam garis kemiskinan dengan tingkat penghasilan rata-rata baik anak yang dimohonkan Dispensasi Nikah, maupun calon suaminya adalah berpenghasilan Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) sampai 2.000.000,- (dua juta rupiah) dengan pekerjaan kuli bangunan, dagang dan petani.

2.    Pertimbangan majelis hakim mengabulkan permohonan dispensasi Nikah.

           Dispensasi adalah penyimpangan atau pengecualian dari suatu peraturan. (R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1996, P. 36). Dispensasi nikah adalah penyimpangan terhadap batas minimun usia perkawinan bagi anak laki-laki maupun anak perempuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.  Batas usia perkawinan menurut dua aturan tersebut adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.  Penetapan batas usia perkawinan agar calon pasangan suami istri betul matang, sehingga setelah terwujud keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah sesuai dengan tujuan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah berarti keluarga yang damai, tenang, tentram dan bahagia dalam merajut kasih sayang dan kekal. (harijah Damis, 2016, P. 5).

           Penetapan Batas usia perkawinan juga memberi ruang gerak bagi anak untuk menikmati haknya untuk mendapatkan pendidikan, bergaul dengan teman sebaya berfikir dan berekspresi. Akan tetapi alasan dan fakta yang terungkap dipersidangan yang selanjutnya menjadi pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan perkara permohonan Dispensasi Nikah merupakan legalistas perkawinan anak di bawah umur, yang pada sisi lain ada hak anak yang terlanggar, yaitu:

1.      Hak anak untuk melanjutkan pendidikan.

         Perkawinan anak yang masih di bawah umur tentu akan menghambat berlangsungnya pendidikan formal si anak dan  nantinya akan bergantung pada suaminya.  Apabila suami dan lingkungannya masih membolehkan untuk melanjutnya pendidikan, maka masih ada peluang untuk melanjutkan pendidikan.  Sebaliknya apabila suami dan lingkungan keluarganya tidak membolehkan lagi melanjutkan pendidikan, maka anak tersebut akan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan.

2.      Hak anak untuk tumbuh, berkembang dan berkespresi.

         Perkawinan anak di bawah umur berekses pada hilangnya kesempatan pada anak untuk tumbuh dan berkembang serta bergaul dengan teman sebayanya, yang berakibat pula pada hilangnya kesempatan untuk mengekpresikan diri, berprestasi dan lain sebagainya, sehingga hilang pula kesempatan bagi anak  mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal agar mampu bertanggung jawab dalam kehidupannya sesuai amanah yang tertuang dalam konsiderans dalam UU. Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak poin (d) sebagai berikut:
Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi”.

             Akan tetapi alasan mengajukan Dispensasi Nikah adalah anak telah bergaul menyimpang dari nilai-nilai yang dianut, bahkan telah hamil di luar nikah menjadi alasan darurat bagi majelis hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi Nikah yang selanjutnya sebagai legalisasi perkawinan di bawah umur.

           Terjadi pertentangan antara hak-hak anak yang harus terpenuhi sesuai dengan Undang-Undang dan pada sisi lain memberikan perlindungan hak-hak anak untuk anak-anak bermasalah dan juga anak yang dikandungnya dipandang oleh majelis hakim lebih didahulukan untuk dilindungi demi kepentingan anak dan kebaikan anak.

            Perempuan di bawah umur yang hamil, kemudian diberi dispensasi untuk menikah akan terlindungi hak-haknya sebagai anak bermasalah sebagai berikut:

1.      Hak mendapatkan perlindungan hukum.  Anak yang hamil di luar nikah akan terlindungi harga dirinya apabila segera dinikahkan dengan laki-laki menghamilinya, walau dalam membina rumah selanjutnya rentan menimbulkan masalah dan tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian, namun setelah bercerai statusnya sudah jelas di masyarakat sebagai seorang janda. 

         Berbeda dengan kasus anak di bawah umur yang hamil dan tidak segera dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, maka statusnya tidak jelas, janda atau perawan  dan melahirkan tanpa ikatan perkawinan yang sah.  Di lingkungan sosialnya, perempuan yang melahirkan tanpa ikatan perkawinan yang sah akan berakibat diremehkan dalam masyarakat.  Untuk itu, perkawinan perempuan hamil telah diatur pada pasal 53 INPRES Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

2.      Hak identitas diri dan hak mengetahui orang tua.  Anak yang ada dalam kandungan anak di bawah umur yang dimohonkan Dispensasi Nikah oleh Pengadilan Agama dan menikah secara sah, kelak setelah anak tersebut lahir akan  jelas identitas hukum, yakni jelas ayah dan ibu kandungnya dan tidak tekendala dalam mengurus indentitas anak sebagai warga negara seperti hak Akta Kelahiran dan hak untuk mengetahui orang tuanya.

          Demikian juga, anak akan terlindungi haknya untuk meperoleh hak-haknya sebagai anak, yakni antara lain hak nafkah dari ayah kandungnya. Di samping itu, tindakan aborsi merupakan tindak pidana berdasarkan pasal 45 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 bahwa “Setiap orang dilarang melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tatacara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Untuk ancaman pidananya diatur pada pasal 77 A ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan perundang-undangan dalam pasal 45 A, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)tahun dan / atau denda  paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar).

           Berbeda dengan kasus anak di bawah umur hamil dan tidak segera dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, maka sepanjang masa menderita akan statusnya melahirkan tanpa ikatan perkawinan yang sah.  Demikian juga, anak yang dilahirkan terhambat memperoleh hak-haknya seperti hak nafkah dari ayah kandung dan dapat berlanjut hilangkan hak waris dari ayah biologisnya akibat lahir tanpa perkawinan yang sah ibu yang mengandungnya dan ayah biologisnya 

3.      Hak menyampaikan pendapat.

      Anak di bawah umur yang di mohonkan Dispensasi Nikah telah dihadirkan dalam sidang untuk didengar pendapatnya, dan beringinan kuat untuk menikah dengan laki-laki calon suaminya.

IV.   KESIMPULAN:

 

1.    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan belum efektif. Tren meningkatnya perkara dispensasi nikah pada Pengadilan Agama di Indonesia disebabkan bertambahnya usia maksimal calon pengantin wanita. Perubahan usia maksimal dari 16 tahun ke 19 tahun.  Perubahan usia tersebut diatur pada Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019. Penetapan usia dewasa berbeda dengan berbagai Undang-Undang lainnya yang berlaku., bahkan jumlah perkara Dispensasi nikah sangat meningkat tajam pasca di sahkannya Undang-Undang tersebut.

2.    Faktor-Faktor yang menyebabkan tingginya perkara Dispensasi Kawin (Diska) pada Pengadilan Agama di Indonesia, adalah anak yang dimohonkan Dispensasi Kawin telah berumur lewat 18, tetapi belum sampai 19 tahun.  Alasan pengajuannya adalah sudah tamat SMU, dewasa, tidak kuliah, telah bekerja dan mampu untuk menjali kehidupan rumah tangga, anak di bawah usia 18 tahun, namun kedua orang tuanya telah bercerai, dan ibunya ingin lepas tanggung jawab, Anak telah hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas dan Faktor budaya dan takut anaknya tidak menikah.

3.     Pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi nikah adalah untuk kepentingan anak, termasuk anak dalam kandungannya dan agar anak di bawah umur tidak melakukan pelanggaran nilai-nilai agama secara terus menerus.  Di samping itu, pemenuhan hak anak terkait dengan hak mendapatkan perlindungan hukum, hak identitas diri sebagai warga negara, hak untuk mengetahui orang tua dan hak untuk didengar dan menyampaikan pendapat.  Pada sisi lain, tindakan aborsi dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar).

   

V. REKOMENDASI.

1. Perlu penguatan rumah tangga dengan pembinaan keagamaan dari seluruh pihak terkait, terprogram dan berkesinambungan, agar setiap keluarga mampu untuk mendidik anak-anaknya tentang nilai-nilai moralitas agar terhindar dari prilaku negatif, terutama pada fase peralihan anak-anak menjadi remaja sebagai fase yang paling rentan dan dilema.

2. Pemberdayaan ekonomi agar mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi minimal dalam satu keluarga ada satu orang anak yang kuliah sampai S. 1 dan mampu mendapat pekerjaan yang layak untuk menjadi contoh dan sebagai motivator dalam keluarga.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Damis, Harijah, 2009, Meredam prahara melawan Perceraian, Cet. I; Jakarta: MT. Al-Itqon.

 

............., Harijah, 2008, Menguak Hak-Hak Wanita, Cet. I; Makassar: Ghina Pustaka.

 

Hardani, Sofia, 2015, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Cet: V; Jakarta: Sinar Grafika.

 

Hanafi, Yusuf, 2011, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur, Bandung: CV. Mandar Maju.

 

Coretan Pena, 2015, artikel: Pernikahan Dini, akses dari:  http://kumpulan-coretanpena.blogspot.co.id.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA

Analisis Putusan Kasus Hadhanah