PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
Dr. Hj. Harijah D., M.H.
A. Pendahuluan
Penulis teringat ketika kuliah S. 2, dengan mata kuliah sosiologi hukum yang ketika itu diajar oleh Prof. Dr. Ahmad Ali. Salah satu topik materi kuliah yang didiskusikan adalah sebuah motto hukum yang klasik. Motto hukum itu adalah “Hukum tertatih-tatih mengejar pakta”. Motto hukum itu dapat diartikan lebih lanjut bahwa masyarakat itu dinamis, tumbuh dan berkembang secara terus menerus, dan seiring dengan itu muncul berbagai pakta atau peristiwa yang harus diselesaikan secara hukum, namun aturan hukum yang mengatur belum terinci atau belum jelas ataupun sama sekali belum di atur.
Aturan hukum
itu merupakan buatan manusia yang dibuat untuk menjawab seluruh seluruh
permasalahan hukum pada masanya, sehingga masalah-masalah hukum yang timbul
kemudian mungin saja belum diatur dalam peraturan perundang-undangang yanag
berlaku. Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan
perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada
peraturan perundang-undangan yang mencakup keseluruhan kegiatan manusia,
sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap
lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. (Sudikno Mertokusumo, 2007: 36).
Itulah sebabnya, hakim di
Pengadilan akan diperhadapkan pada pada peristiwa konkret, namun peristiwa-peristiwa
konkret tersebut masih belum jelas aturan hukumnya dalam aturan
perundang-undangan yang berlaku atau sama sekali belum di atur sama
sekali. Dalam kondisi seperti itu dan
atau untuk memecahkan kasus seperti itu, hakim harus mencari atau menemukan
hukumnya, agar terhadap kasus atau peristiwa yang peristiwa-peristiwa konkret
tersebut masih belum jelas aturan hukumnya dalam aturan perundang-undangan yang
berlaku atau sama sekali belum di atur yang sedang diadilinya dapat
diselesaikan dalam bentuk putusan akhir yang memberikan keadilan kepada
masyarakat
Hakim secara khusus mempunyai
peranan penting dalam memutuskan perkara atau kasus kasus tertentu yang belum
diatur dalam aturan hukum yang berlaku terhadap peristiwa yang terjadi
tersebut, sehingga seorang hakim harus
mempunyai kemampuan untuk menemukan hukumnya dan atau membentuk hukumnya.
Oleh karenanya, sangat penting untuk memahami secara detail apa itu penemuan hukum, bagaimana metode penemuan hukum dan bagaimana aliran dalam penemuan hukum.
- Permasalahan
Dari latarbelakang masalah yang dipaparkan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
1. Apa itu penemuan hukum ?
2. Bagaimana metode penemuan hukum ?
3. Bagaimana aliran dalam penemuan hukum ?
- Tujuan
dan Kegunaan
1. Untuk memahami apa itu penenuan hukum.
2. Untuk mengetahui metode penemuan hukum.
3. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam penemuan hukum
Kegunaan yang diperoleh adalah untuk menambah refrensi ilmu dalam bidang hukum praktis.
- METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, aturan-aturan dan pendapat yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang diteliti. (Ranny Kautan, 2000, hal 38) Sifat penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.(Soerjono Soekanto, 1985, hal 15)
E. Pembahasan
1. Dasar Penemuan Hukum
Penemuan hukum, lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukumnya pada
peristiwa kongkrit. Lebih lanjut dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi
peratauran hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkrit (das sein) tertentu. (Sudikno Mertokusumo, 2007: 36). Jadi pada dasarnya penemuaan hukum
itu adalah penemuan/pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya
terhadap suatu kasus atau peristiwa konkret yang belum diatur hukumnya secara
rinci ataupun belum di atur sama sekali dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Penemuan hukum merupakan salah satu tugas
hakim ketika mengadili suatu perkara yang
oleh undang-undang yang berlaku belum diatur secara jelas terinci ataubelum
diatur sama sekali. Oleh sebab itu, Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan atas perkara yang diajukan kepadanya atau
perkara yang sedang diadili, juga berfungsi sebagai penemu/pembentuk hukum.
Aturan hukum yang menjadi dasar penemuan hukum oleh hakim dalam mengadili perkara yang belum di atur hukumnya secara rinci ataupun belum di atur sama sekali dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah:
a. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Pasal tersebut mewajibkan Pengadilan untuk tetap menerima pendaftaran perkara meskipun hukumnya tidak ada atau kurang jelas aturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya hakim yang telah ditetapkan untuk memeriksa, mengadili perkara tersebut wajib memutus dan menyelesaikan perkara tersebut dalam bentuk menemukan atau membentuk hukumnya.
b. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Dari kedua pasal
tersebut di atas menjadi acuan khususnya bagi hakim dalam tiga hal, yakni:
1. Bahwa adanya larangan bagi hakim untuk menolak memproses perkara (memeriksa, mengadili dan memutus perkara) yang telah diajukan oleh para pihak ke Pengadilan.
2. Bahwa adanya perintah wajib memeriksa dan mengadili perkara/kasus meskipun tidak ada atau kurang jelas aturan hukumnya dengan cara menemukan dan atau membentuk hukumnya.
3. Bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan peundang-undangan yang lengkap selengkap-lengapnya dan jelas selas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan. (Sudikno Mertokusumo, 2007: 36).
2. Metode penemuan hukum
Seperti diketahui, penemuan hukum merupakan salah satu tugas hakim dalam melaksanakan tugas pokok pengadilan (menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya) terhadap suatu peristiwa konkrit yang belum diatur hukumnya dalam aturan hukum yang berlaku atau belum terinci atau belum jelas. Abdul Manan menyatakan bahwa pembentukan hukum dapat dilakukan oleh suatu organ yang diberi kewenangan untuk membentuk hukum, juga dapat dilaksanakan oleh jabatan tertentu yang diberikan otoritas untuk membentuk hukum melalui putusan hakim dalam lembaga peradilan, dalam hubungan ini posisi, fungsi dan peran hakim sangat penting, karena melalui suatu putusan hakim suatu norma hukum akan dapat dijalankan, juga dapat ditemukan. (Abdul Manan, 2006: 30)
Untuk penemuan hukum, ada beberapa metode yang berkembang yang dapat menjadi dasar/pedoman bagi hakim dalam penemuan hukum. Metode yang dimaksud adalah:
a.
Interpretasi/penafsiran
Interpretasi/penafsiran
merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hokum
untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas
hal-hal kongkrit. (Jimly Asshiddigie, 2006: 273).
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan
dengan beberapa metode, yaitu secara:
1) Gramatikal, yaitu penafsiran menurut
bahasa sehari-hari. Untuk mengetahui
makna ketentuan undang-undang, maka ketentuan undang-undang itu ditafsirkan
atau dijelaskan dengan menguraikan bahasa umum sehari-hari. (Sudikno Mertokusumo, 2007: 57)
2) Historis, yaitu penafsiran berdasarkan
sejarah hukum. Penafsiran secara
historis meliputi : penafsiran sejarah
perumusan Undang-Undang, yang menfokuskan diri pada latarbelakang sejarah
perumusan naskah. Bagaimana perdebatan
yang terjadi ketika naskah itu dirumuskan, dan penafsiran sejarah hukumnya,
yakni mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. (Jimly Asshiddigie, 2006: 275-276).
3) Sistimatis, yaitu merupakan
penafsiran menurut system yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri. Penafsiran dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan-ketenuan lain dalam naskah hukum yang sama. Penafsiran sistematis
dapat juga terjadi jika naskah hokum yang satu dan naskah hukum yang lain,
dimana keduanya mengatur hal yang sama, dihubungkan dan dibandingkan satu sama
lain. (Ibid: 281)
4) Teleologis,
yaitu menafsirkan dengan cara mengacu pada formulasi norma hukum mengandung
tujuan dan jangkauaannya. Fokus
perhatian dalam menafsirkan adalah fakta bahwa pada norma hukum mengandung
tujuan atau asas yang menjadi dasar sekaligus menpengaruhi interpretasi. Dalam
melakukan penafsiran teologis, juga memperhitungkan terhadap konteks fakta
kemasyarakatan aktual. (Ibid: 282).
5) komparatif,
yaitu menafsirkan dengan cara membandingkan berbagai system hukum. (Ibid: 285)
6) Futuristik, yaitu
menafsirkan undang-undang dengan cara melihat pula rancangan Undang-Undang yang
sedang dalam proses pembahasan. (Ibid.)
b. Konstruksi hukum.
Selain penafsiran, penemuan
hukum yang digunakan oleh hakim apabila dalam mengadili suatu perkara tidak
atau belum ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang
terjadi, juga digunakan metode konstruksi hukum. Metode konstruksi hukum bertujuan
agar hasil putusan hakim/pengadilan dalam peristiwa konkrit yang ditanganinya
dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari
keadilan.
Salah metodenya adalah dengan konstruksi hukum
yang dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara:
1)
Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi.
Ada kalanya peraturan perundang-undangan
terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang
pada peristiwanya hakim akan meperluas dengan metode argumentum per
analogiam (analogi). Dengan analogi, peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip
dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. (Sudikno Mertokusumo, 2007: 69)
Argumentum per analogiam (analogi). Metode penemuan hukum di mana hakim
mencari esensi yang lebih umum dari suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum
baik yang telah diatur oleh undang-undang, maupun yang belum ada pengaturannya.
Dalam metode ini dianalogikan bahwa suatu peristiwa yang berbeda namun serupa,
sejenis, atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
Misalnya, jusal beli tidak memutus hubungan sewa menyewa seperti di atur pada
pasal 1576 KHUPerdata. Dalam hibah dan tukar menukar dan sebagainya tidak
tersedia peraturan khusus. Dengan jalan
analogi, yaitu dengan memperluas pengertia “jula beli” menjadi setiap peralihan
hak milik. (Ibid).
2)
Penyempitan hukum.
Pada
penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya atau ruang lingkupnya terlalu luas
atau umum maka perlu dipersempit untuk dapat menerapkan peristiwa konkret
tertentu. Rumusan perbuatan melawan
hukum dalam pasal 1365 KHUPerdata itu
luas dan umum ruang lingkupnya, merpakan norma yang kabur, sehingga untuk
diterapkan pada peristiwa konkrit
terelebih dahulu dipersempit ruang lingkupnya. (Ibid: 72) Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau
menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum,
agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
3) Argumentum a contrario atau
sering disebut a contrario, digunakan jika ada ketentuan
undang-undang yang mengatur hal tertentu untuk peristiwa tertentu, sehingga
untuk untuk hal lain yang sebaliknya dapat ditafsirkan sebaliknya. (Jimly
Asshiddigie, 2006: 307) Hal ini
berarti bahwa metode ini
menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara
peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang
yang telah ada/ditetapkan.
4). fiksi hukum.
c.
Aliran
dalam Penemuan Hukum (Rechtvinding).
Terdapat beberapa aliran dalam
penemuan hukum, diantaranya sebagai berikut:
a.Legisme.
Aliran legisme berpandangan bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan
lengkap yang berisi semua jawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga hakim hanya berkewajiban
menrapkan peraturan hukum pada peristiwa konkritnya dengan bantuan metode
penafsiran terutama gramatikal. Peradilan yang dilakukan adalah semata-semata
merupakan penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit. (ibid: 95).
Aliran ini menempatkan hakim di
Pengadilan pada posisi hanya menerapkan semua peristiwa konkrit/perkara yang
sedang diadili pada aturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh
kapastian hukumnya. Apabila dianilisis,
aliran ini
b. Begriffsjurisprudenz.
Aliran Begriffsjurisprudenz ini lebih
memberikan kebebasan kepada hakim dari pada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi
Undang-Undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan
hukum yang tersirat dalam Undang-Undang.
Dengan demikian peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum, maka kegiatan
hakim bersandar pada ilmu hukum. Maka
kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengelolaan
hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan perundang-undangan dengan
berbagai asas hukum (ibid: 98).
Aliran ini berpandangan bahwa hakim
tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang dalam penerapan hukum atas perkara
yang sedang diadilinya, tetapi hakim dapat melakukan penafsiran-penafsiran maupun
konstruksi hukum terhadap aturan hukum yang berlaku. Aliran ini berbeda dengan aliran legisme yang
hanya menempatkan hakim sebagai corong undang-undang. Aliran ini menempatkan hakim pada posisi
hanya menerapkan hukum atas peristiwa konkrit yang sedang dihadapinya pada
aturan perundang-undangan yang berlaku.
Aliran ini memandang bahwa aturan hukum
yang berlaku tidak lengkap, sehingga hakim seharusnya berperan aktif dalam
menggali hukum yang tumbuh dalam masyarakat sebagai solusi menyelesaiakan perkara
yang sedang diadili, terhadap peristiwa konkrit yang hukumnya tidak jelas dan atau
tidak terinci diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku dan atau
hukumnya sama sekali belum diatur.
c. Interessenjurisprudenz.
Aliran Interessenjurisprudenz berpendapat
bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis
belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya.
Aliran ini berpendapat bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk
melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata. (Ibid: 100). Jadi pada dasarnya aliran ini menitik beratkan pada
tujuan hukum yang akan capai dalam penemuan hukum atau pembentukan hukum.
d. Freirechtbewegung.
Aliran ini berpendapat tidak
seluruh hukum terdapat dalam Undang-Undang.
Di samping undang-undang masih terdapat sumber lain yang dapat digunakan
oleh hakim untuk menemukan hukumnya.
Hakim tidak hanya mengabdi pada fungsi kepastian hukum, tetapi tetapi
mempunyai tugas tersendsiri merealisasi keadilan. (Ibid).
Jadi aliran ini menuntut hakim dalam
memberikan keputusan atas perkara yang diadili, tidak hanya didasarkan kepada
kepastian hukum, tetapi harus mempertimbangkan keadilan hukumnya. Misalnya pada
atauran pasal 97 Inpres nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Mengatur
kepastian hukum tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan apabila
terjadi perceraian, yakni masing-masing suami istri mendapat sebagian
(seperdua). Akan tetapi apakah pembagian
harta bersama tesebut adil apabila yang bekerja sekaligus melaksanakan
kewajibannya sebagai ibu rumah tangga sementara suami tidak bekerja.
F. KESIMPULAN
1.
Penemuaan hukum itu adalah pembentukan hukum oleh hakim
atau aparat hukum lainnya terhadap suatu kasus atau peristiwa konkret yang
belum diatur hukumnya secara rinci ataupun belum di atur sama sekali dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penemuan hukum merupakan salah satu
tugas hakim ketika mengadili suatu perkara yang oleh undang-undang yang berlaku belum diatur secara
jelas terinci ataubelum diatur sama sekali.
Oleh sebab itu, Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan atas perkara
yang diajukan kepadanya atau perkara yang sedang diadili, juga berfungsi
sebagai penemu/pembentuk hukum.
2.
Metode penemuan hukum terbagi kepada terbagi kepada
penafsiran dan Konstruksi
hukum. Adapun metode penafsiran terdiri
dari: penafsiran menurut bahasa,
penafsiran secara historis, penafsiran secara sistematis, penafsiran secara
teleologis/sosiologis. Konstruksi hukum
terdiri dari: Argumentum per analogiam, Penyempitan hukum, Argumentum a
contrario dan fiksi hukum.
3.
Aliran
dalam penemuan hukum Aliran legisme
berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
Aliran Freirechtbewegung berpendapat bahwa hakim memang
harus menghormati undang-undang, tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan
mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana
untuk untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima, Aliran ini berpandangan bahwa hakim
tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang dalam penerapan hukum atas perkara
yang sedang diadilinya, tetapi hakim dapat melakukan penafsiran-penafsiran
maupun konstruksi hukum terhadap aturan hukum yang berlaku dan Aliran
Interessenjurisprudenz berpendapat bahwa hukum tidak boleh dilihat oleh hakim
sebagai formil-logis saja, akan tetapi harus dinilai menurut tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Jilid I, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Cet. I, Jakarta: Sekertariat Jenderal Kepaniteraan Mashkamah Konstitusi RI.
Manan, Abdul, Dr. H. S.H., S.IP. M.Hum., 2006, Refoermasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan Dari Aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mertokusumo, Sudikno, Prof. Dr.S.H., 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yokyakarta: Liberty.
Komentar
Posting Komentar