KEMANDIRIAN LEMBAGA PERADILAN

Dr. Hj. Harijah D., M.H.

HAKIM TINGGI PTA. Makassar

E-mail: harijahdamis@gmail.com

 

I.              PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang

          Dalam perjalanan sejarahnya, jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia dituangkan pada padal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang”. Selanjutnya, dipertegas bahwa jaminan kemerdekaan bagi pelaksana kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana di atur pada pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen, pada pasal 1, bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

        Pada pasal 24 ayat (2) dijelaskan:  Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.   Dari pasal tersebut dipahami bahwa Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri berikut lembaga peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama Peradilan Militer dan Peadilan Tata Usaha Negara.    

                  Adanya jaminan atas kemandirian Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dalam empat lingkungan di bawahnya sangat perlu untuk dipahami agar dapat terwujud penegakan hukum yang bebas dan mandiri tanpa campur tangan dan atau intervensi dari berbagai pihak.

B.            Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah:

1.             Apa itu kemandirian lembaga Peradilan ?

2.             Apa itu kebebasan hakim ?

3.             Bagaimana urgensi kemandirian lembaga Peradilan ?

C.            Tujuan

1.     Untuk mengetahui  kemandirian lembaga Peradilan di Indonesia.

2.    Untuk mengetahui kebebasan/kemandirian hakim

3.    Untuk mengetahui  urgensi kemandirian lembaga Peradilan dan kebebasan hakim di Indonesia

D.      Tinjauan Pustaka

1.             Dasar Hukum Kemandirian Lembaga Peradilan

        Konsep dasar kemandirian lembaga peradilan dituangkan pada pasal 24 ayai 1 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, yang menegaskan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dari pasal tersebut dipahami bahwa kekuasaan kehakiman  adalah kekuasaan yang merdeka/bebas dari pengaruh lembaga lainnya agar dapat terselengara peradilan yang diperuntukkan meneggakkan hukum dan keadilan.

        Kemandirian Kekuasaan kehakiman dipertegas lebih lanjut pada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, selengkapnya sebagai berikut:Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggarakannya negara hukum republik Indonesia.”.

       Adapun penyelenggara kekuasaan kehakiman dijelaskan pada pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

        Pasal tersebut merupakan dasar hukum penyelenggara kekuasaan kehakiman Indonesia, yaitu sebuah Mahkamah Agung dan empat lingkungan badan peradilan di bawahnya, yaitu lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan tata usaha negara yang terdiri dari Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan tingkat pertama, juga terdapat Mahkmah Konstitusi.

       Pasal tersebut juga merupakan landasan konstitusional yang kuat bagi pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan yang bebas dan merdeka. Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa di Indonesia kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan sudah diniatkan sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden.  (Jimly Asshiddiqie, 2007: hlm. 511-512)

2.    Dasar Hukum Kebebasan Hakim

         Konsep kemandirian kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan dalam hal kekuasaan menerima, memerika, dan memutus serta menyelesaikan perkara atau sengketa, berimplikasi pula pada kebebasan hakim dalam pelaksanaan tugas pokok.  Kemandirian/kebebasan hakim diatur pada pasal 3 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa “Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”.

          Ketentuan pasal tersebut mewajibkan hakim dalam melaksanakan tugas pokoknya, senantiasa menjaga kemandirian peradilan  rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka.  Kebebasan hakim dijelaskan lebih lanjut pada penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis.

          Kebebasan hakim dari campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial ditegaskan pada pasal 3 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009, yaitu: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang…..”. Kebebasaan dimaksud, hakim dalam melaksanakan tugas pokoknya  tidak berada di bawah pengaruh atau kekuasaan manapun. Jaminan akan kebebasan hakim tersebut dalam pelaksanaan tugasnya diperkuat dengan dengan adanya sanksi pidana bagi  yang melanggar ketentuan tersebut. Hal itu diatur selanjutnya pada pasal 3 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang selengkapnya sebagai berikut: “Setiap yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

         Jaminan kebebasan hakim dalam melaksanakan tugas yudisial, juga tidak dapat dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi atau sebagai tersangka sebagaimana dijabarkan dalam Surat Edaran Nomor 4 tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan TugasYudisial Tidak Dapat Diperiksa Sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang Ditentukan Oleh Undang-undang.  Ketentuan pokok SEMA tersebut adalah pejabat pengadilan tidak perlu memenuhi panggilan pihak kepolisian  yang dapat merupakan hambatan terhadap pelaksanaan tugas menyangkut perkara yang sudah diputus maupun yang sedang diproses pemeriksaan pengadilan.

         Namun demikian, kebebasan hakim dimaksud bukanlah kebebasan mutlak, tetapi kebebasan dimaksud bertujuan dapat meunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya agar putusan perkara yang diadilinya berpijak pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Pada penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas uraikan bahwa kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

             Kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, akan tetapi kebebasan terbatas  untuk menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasan dari setiap putusannya melalui perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.

3.                                Asas-Asas Hukum Proses Penyelenggaraan Peradilan

         Asas hukum adalah bukanlah norma-norma hukum yang konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar pemikiran umum atau petunjuk-petunjuk hukum yang berlaku. (Ahmad Ali, 2007: 55).   Asas (principle) atau (legal principle ) bukanlah peraturan hukum melainkan  pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari hukum positif yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukumyang terjelma dalam peraturan perundang-undangan. (Sudikno Mertakusumo, 2008: 33).

         Adapun asas-asan hukum dimaksud adalah:

a.    Asas cepat, sederhana dan biaya ringan.

        Asas cepat, sederhana dan biaya ringan jabarkan pada pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan” Pada penjelasan pasal tersebut diuraikan bahwa yang dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efektif dan efisien.  Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.  Namun demikian, asas cepat, sederhana dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkaradi Pengadilan, tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

        Amran Suadi menyatakan bahwa pengertian asas cepat merupakan proses pemeriksaan perkara  sejak dari persidangan, pembuatan berita acara persidangan, pembuatan putusan,  dan penyerahananya kepada para pihak sesuai dengan hokum acara byang berlaku dan meminimalisir upaya pihak yang sengaja menunda-nunda proses persidangan  tanpa alasa yang jelas sehingga hakim/ketua majelis mengendalikan jalannya perkara sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan. (H. Amran Suadi,  2020: 28).

        Implementasi/penerapan pasal ini, khusunya di lingkungan Badan Peradilan Agama adalah dimasukkannya salah satu point penilaian dalam setiap eksaminani terhadap putusan hakim.  Kategorinya adalah apabila suatu perkara dapat diselesaikan dalam tenggang waktu satu bulan, maka nilainya A.  Implikasi dari penyelesaian perkara dengan tenggang waktu relative cepat tanpa mengesampingkan ketelitian dan kehati-hatian, dengan sendirinya biaya perkara menjadi ringan.  

b.    Asas semua orang sama di depan hukum.

        Asas semua orang sama di depan hukum (equality before the law), dijabarkan pada pasal 27 ayat UUD 1945.  Makna equality before the law ditemukan hampir semua konstitusi negara.  Inilah norma yang melindungi hak. Asasi warga negara.  Kesamaan di depan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.  Setiap penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik. (Haris Azhar, 2018).  Ditegaskan pula dalam A-Qur’an S. Al-Maidah ayat (8) yang terjemahannya:

         Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.  Dan jangan sekali-kali kebenciannmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu tidak adil.  Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.  Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

         Asas semua orang sama di depan hukum diatur pada pasal 3 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang selengkapnya sebagai berikut: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Implementasi asas ini dalam sidang Pengadilan (Ibid: 21) adalah:

1.        Equality before the law sebagai sebuah persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan peradilan.

2.        Equality Protection on the law menyangkut perlindungan hak yang sama oleh hukum.

3.        Equality justice under the law yakni memperoleh hak perlakuan sama oleh hukum. 

c.    Asas hakim pasif.

         Paradigma hakim hakim pasif, khususnya dalam hukum acara perdata adalah pasif untuk tidak mencari-cari perkara, karena inisiatif untuk gugatan/permohonan kep Pengadilan beserta cakupan hal-hal yang dituntut ditentukan dari dari pihak yang berperkara.  Batasan hakim adalah mengadili apa yang dituntut pihak saja, dan dilarang mengabulkan melebihi daripada sesuai ketentuan pasal 178 HIR, 189 RBg. (Ibid: 26).

        Namun demikian, apabila perkara sudah dalam tahap proses persidangan, maka hakim dituntut untuk aktif demi kelancaran perkara dan terwujudnya asas peradilan, yakni  asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Dijelaskan pada pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

        Hakim Aktif artinya hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya  peradilan yang baik. Hakim aktif dalam pengertian ada kewenangan memberi petunjuk  dan bantuan dalam menyusun gugatan atau permohonan, sehingga lebih tepat hakim bersikap tutwuri.  Kahim secara aktif memimpin sidang, dan membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tapi dilarang tetapi dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut. (Ibid).

d.    Asas Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih tidak ada hukumnya, sehingga hakim dituntut untuk menemukan hukum dalam mengadili perkara yang belum jelas aturan hukumnya atau belum diatur hukumnya. Aturan hukum yang menjadi dasar penemuan hukum oleh hakim dalam mengadili perkara yang belum diatur hukumnya adalah:

a.         Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”.

b.        Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

        Dari kedua pasal tersebut di atas menjadi acuan khususnya bagi hakim dalam dua hal, yakni:

1.    Bahwa adanya larangan menolak untuk memeriksa, mengadil dan memutus perkara diajukan ke Pengadilan.

2.    Bahwa adanya perintah wajib memeriksa dan mengadili perkara/kasus  meskipun tidak ada atau kurang jelas aturan hukumnya.

e.    Asas obyektivitas (obyektif dan tidak memihak)

       Tugas pokok hakim adalah menerima, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.  Proses pengajuan perkara dimulai pendaftaran/ adanya gugatan atau permohonan oleh pihak berperkara yang disebut dengan Penggugat dan atau Pemohon dan pihak yang digugat disebut sebagai Tergugat dan atau Termohon. Dalam perkara perdata, selain ada perkara yang mengandung sengketa, juga terdapat perkara yang tidak mengandung sengketa.

      Proses selanjutnya adalah proses persidangan yang dimulai dengan pembacaan gugatan yang antara lain meneliti identitas para pihak yang berperkara.  Selanjutnya adalah proses mediasi, jawab menjawab, pembuktian, kesimpulan sampai pada pembacaan putusan.  Rangkaian proses persidangan tersebut dimaksudkan agar hakim yang menyidangkan perkara dapat merumuskan pokok sengketa atau pokok masalahnya, kemudian dari pokok masalah itu harus dibuktikan oleh para pihak dan dalil yang dapat dibuktikan dalam sidang (kontatir), selanjutnya diterapkan hukumnya.  Rangkaian proses tersebut dilakukan agar hakim benar-benar obyektif dalam menentukan hukum yang kemudian dituangkan dalam putusan akhir hakim.

         Asas obyektivitas (obyektif dan tidak memihak) dijabarkan pula pada Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim yang telah menetapkan 10 aturan prilaku hakim, yakni point (1) adalah berprilaku adil.  Penerapannya pada point 1.1 (5) diuraikan bahwa:  Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keperpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik dan mental, usia, atau status ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan baik melalui perkataan maupun tindakan.

        Dari penerapan pasal tentang prilaku adil tersebut di atas memberikan pedoman bagi hakim untuk tidak berpihak kepada para pihak dalam sidang apapun kedudukannya (status sosialnya), dari manapun asalnya, sukunya, jenis kelaminnya, usianya termasuk kemanpuan mental dan fisiknya.  Sikap hakim dimaksud meliputi perkataan (ucapan) maupun tindakannya dalam sidang.

         Selanjutnya, larangan untuk tidak memihak dalam tugas hakim memeriksa dan mengadil perkara dimplementasikan juga dalam bentuk mendengar kedua belah pihak yang dijabarkan pada Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI pada point 1.2 (1) dan (2), yaitu:

(1). Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.

(2). Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung Pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar perinsip persamaan dan ketidak berpihakan.   

f.      Asas hakim dianggap mengetahui hukumnya (ius curia novit)

        Dalam proses pengajuan perkara di pengadilan, hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih tidak ada hukumnya dan hakim juga karena kedudukannya dianggap mengetahui hukumnya setiap perkara yang diajukan kepadanya di bidangnya masing-masing.

g.    Asas terbuka untuk umum.

        Asas terbuka untuk umum diatur pada Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan: “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”.

        Ketentuan pasal tersebut menjadi aturan umum dalam proses sidang di Pengadilan, dan secara umum pula setiap perkara di 4 lingkungan Mahkamah, untuk sidang pembacaan putusan harus dinyatakan terbuka untuk umum.  Pegeculian terhadap sidang terbuka untuk umum adalah untuk perkara-perkara tertentu, misalnya pada lingkugan peradilan agama.  Sidang pokok perkara pada perkara perceraian dinyatakan tertutup untuk umum karena mengadili masalah-masalah keluarga, namun untuk proses sidang pembacaan putusan tetap dinyatakan terbuka untuk umum.

        Pada pasal 68 dan 80 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan “Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum… Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum”.

II.      METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, aturan-aturan dan pendapat yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang diteliti. (Ranny Kautan, 2000, hal 38)  Sifat penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif, yakni penelitian hukum  yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.(Soerjono Soekanto, 1985: 15). 

III.        Pembahasan/Urgensi Kemandirian Lembaga Peradilan

           Kemandirian Lembaga peradilan di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat penting/urgen, dan bahkan telah terjamin dalam UUD 1945, dan hal itu merupakan konsekwensi Indonesia sebagai negara hukum. Acuan kemandirian dapat terlihat pada tidak adanya intervensi dan atau campur tangan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang berupaya mempengaruhi jalannya proses peradilan.  Kemandirian lembaga peradilan sebagai pelaksanan kekuasaan kehakiman di Indonesia menurut Bagir Manan meliputi:   

1.    Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang dibuat.

2.    Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak obejektif, jujur, dan tidak berpihak.

3.    Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum biasa atau luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.

4.    Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman.

5.    Semua tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang. (Bagir Manan, 1999: 29-30).

Oleh sebab itu, sangat penting untuk tetap mempertahankan kemandirian Lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman termasuk adanya jaminan kebebasan hakim dari rasa khawatir dan rasa takut dari akibat suatu putusan perkara yang telah diputuskan dengan cara obyektif, jujur, tidak memihak serta bebas dari campur tangan pihak luar demi tegaknya hukum dan keadilan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku.

 IV.  KESIMPULAN

1.    Kemandirian lembaga peradilan sebagai pelaksanan Kekuasaan kehakiman adalah mandiri dan merdeka/bebas dari pengaruh lembaga lainnya agar dapat menyelenggarakan proses peradilan dengan tujuan meneggakkan hukum dan keadilan.

2.    Kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, akan tetapi kebebasan terbatas  untuk menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasan dari setiap putusannya melalui perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.

3.    Kemandirian Lembaga peradilan di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat penting, dan bahkan telah terjamin dalam UUD 1945, dan hal itu merupakan konsekwensi Indonesia sebagai negara hukum. Acuan kemandirian dapat terlihat pada tidak adanya intervensi dan atau campur tangan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang berupaya mempengaruhi jalannya proses peradilan.

 

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly.  2007,  Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Ali, Ahmad, 2007, Menguak Teori Hukum legal theory dan Teori Peradilan Judicialprudance, Makassar: Kencana.

Azhar, Haris, S.H., MA., 2018, Equality Before The Law Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, diakses dari https://lokataru.id.

Kautan, Ranny, 2000, Metoden Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, Bandung: Taruna Grafika.

Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yokyakarta: Pusat Studi.

Sudikno, Mertakusumo, 2008, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Yokyakarta; Liberty.

Suadi, Amran, Dr.Drs. H. S.H., M.Hum., M.M., 2020, Pembaharuan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cet. III, Jakarta: Kencana.

Undang-Undang dasar 1945 setelah amandemen.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-TAKHARRUJ DAN PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN SECARA DAMAI DI PENGADILAN AGAMA

Analisis Putusan Kasus Hadhanah