PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Dr. Hj. Harijah D., M.H.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Issue perkawinan beda agama kembali mengemuka
di Indonesia setelah Hakim Tunggal
Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan Pemohon kawin beda
agama antara seorang perempuan Islam dengan seorang laki-laki non Islam
berdasarkan putusan PN Surabaya nomor 916/Pdt. G/2022/PN. Sby.
Pro kontra itu terjadi terkait seputar permasalahan
keabsahan perkawinan beda agama, akibat hukum dari perkawinan itu, termasuk
masalah kemaslahatan bagi pasangan suami istri dan keturunan yang dilahirkan. Hal
itu dilatarbekangi dengan pemahaman bahwa perkawinan tidak sekedar hubungan
perdata, tetapi perkawinan mengadung nilai sakralitas keagamanan. Perkawinan itu sendiri merupakan merupakan
suatu akad (perjanjian) yang suci dan kuat antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal (Harijah Damis,
2008, P. 2). Akad (perjanjian) dalam perkawinan tidak saja sekedar menghalalkan
bersatunya seorang laki-laki dan perempuan dalam membina rumah tangga, tetapi
juga ada tujuan yang akan diwujudkan dengan akad
tersebut, yakni membentuk keluarga yang kekal dan bahagia sebagaimana tujuan
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan. Oleh sebab itu, dimensi
ritual keagamaan masih menjadi sangat dominan menjadi takaran terjadinya suatu akad
(perjanjian) perkawinan di banding sekedar sebagai perjanjian perdata.
Salah satu indikator perkawinan itu dapat langgeng dan tentram apabila pasangan suami
istri punya cara pandang yang sama (Harijah Damis, 2013, P. 30). jika terdapat
kesesuaian pandangan hidup antara suami istri, karena jangankan perbedaan
agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat
pendidikan pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan.
Di Indonesia, dengan masyarakat yang majemuk
terdiri dari berbagai suku, etnis dan agama sangat berpeluang terjadinya kawin
beda agama dari masa ke masa. Kenyataan
masih terjadi di masyarakat perkawinan beda agama, yang menyisahkan permasalahan tersendiri karena tidak ada ruang
pada tataran aturan yang membolehkannya, baik dalam pandangan hukum Islam
sebagai agama mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia maupun dalam tataran
hukum positif yang berlaku, yakni dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 maupun dalam INPRES Nomor 1 Tentang
Kompilasi Hukum Islam.
Namun demikian, dengan regulasi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ada peluang untuk mencatatkan perkawinan beda agama, yakni ada opsi dengan mengajukan perkara permohonan perkawinan beda agama ke
Pengadilan Negeri. Apabila dikabulkan dalam bentuk penetapan
yang memberi izin perkawinan beda agama dan memerintahkan pegawai kantor
Catatan Sipil untuk mencatakan Perkawinan Beda Agama tersebut kedalam Register
Pencatatan Perkawinan. Oleh sebab itu, sangat menarik untuk
menganalisis kembali tentang keabsahan perkawinan beda agama, pencatannya dan
akibat hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah:
1.
Bagaimana keabsahan perkawinan beda Agama menurut hukum Islam
dan hukum positif ?
2.
Bagaimana pencatatan dan akibat hukum dari perkawinan
beda agama ?
C.
Tujuan
1. Untuk menganalisis dan menjelaskan dasar hukum perkawinan beda agama menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif di Indonesia.
2. Untuk mendeskripsikan pencatatan dan akibat hukum dari perkawinan beda agama.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Keabsahan Perkawinan Menurut
Hukum Positif di Indonesia
Perkawinan merupakan suatu lembaga yang menyatukan seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan, sebagai langkah awal membangun sebuah rumah tangga. Penyatuan seorang laki-laki dan seorang wanita dalam ikatan perkawinan dimulai dengan adanya sebuah akad yang keabsahan telah diatur dalam agama maupun dalam aturan perundang-undang yang berlaku.
Di Indonesia, keabsahan perkawinan
diatur pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut: “perkawinan
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan”.
Dengan demikian, sahnya sebuah perkawinan khususnya dalam perkawinan Islam apabila memenuhi rukun dan syaratnya yang telah dituangkan pada pasal 14 INPRES Nomor 1 Tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa “untuk melakukan perkawinan harus ada a. calon suami b. calon istri c. wali nikah d. dua orang saksi e. ijab Kabul. Adapun syarat perkawinan, diatur pada Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun 1974 Tentang Perkwinan Jo. Perubahannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Pasal 6 s/d Pasal 11 yang pada pokoknya mengatur syarat perkawinan sebagai berikut:
a.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya.
c.
Apabila
orang kedua orang tuanya sudah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.
d.
Perkawinan
hanya diijinkan apabila sudah
mencapai umur 19 tahun.
e.
Seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali telah mendapat izin untuk berpoligami dari Pengadilan Agama.
f.
Apabila
suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya.
g.
Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Dalam
Perkawinan Islam terdapat orang-orang yang dilarang melangsungkan satu dengan
yang lainnya dan hal tersebut diatur pada pasal 8 Undang-undang No. I/1974
sebagai berikut:
-
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
-
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
-
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
-
Berhubungan sesusuan, yaitu
orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
-
Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
-
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Keabsahan perkawinan sangat terkait pula dengan pencatatan perkawinan agar setiap pasangan suami isteri mempunyai bukti nikah dan perkawinannya mempunyai akibat hukum baik terkait dengan pasangan suami istri itu sendiri, kepada anak-anaknya dan juga terhadap harta-harta mereka. Pada ayat 2 disebutkan lebih lanjut bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku”. Ketentuan pasal tersebut pada ayat (satu) dan (dua) harus dipahami sebagai satu kesatuan, berimplikasi pada perkawinan yang mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum, yaitu apabila dilaksanakan menurut ajaran agama masing-masing dan dicatatkan.
Dijelaskan lebih lanjut pada pasal 5 ayat (1) INPRES
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus
dicatat”. Dari ketentuan pasal tersebut dipahami bahwa latar belakang
kewajiban pencatatan perkawinan yang dinyatakan mempunyai kekuatan hukum adalah
untuk ketertiban masyarakat dalam membina rumah tangganya masing-masing.
Pencatatan
perkawinan dilakukan dan dalam pengawasan pegawai pencatat nikah pada Kantor
Urusan Agama. Pada pasal 2 Peraturan
Pemerintah RI nomor 9 Tahun 1974 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan: ayat (1) “pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pada ayat (2) disebutkan: Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan
kepercayaan itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Pasal tersebut menegaskan
bahwa bagi yang akan melangsungkan
perkawinan dan beragama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama setempat, sementara bagi mereka
yang selain beragama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan pada kantor
Catatan Sipil.
2.
Perkawinan Beda Agama
Menurut Hukum Islam
Larangan
menikah beda agama dalam Islam didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221,
yang artinya:
“Dan janganlah kamu nikahi
perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih
baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik
(dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih
baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke
neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Ayat tersebut di atas merupakan dasar
hukum tidak diperbolehkannya seorang lak-laki Islam kawin dengan perempuan non
Islam, demikian juga dengan perempuan Islam tidak diperbolehkan menikahi
laki-laki non Islam.
Pada ayat lain,
QS. Al-Mumtahanah (60) ayat 10, disebutkan yang artinya
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu menguji, maka Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka diberikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah minta kembali mahar yang telah kamu berikan dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan isterinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana).”
Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa
ayat ini mengandung larangan bagi orang muslim untuk menikahi wanita musyrik
(Wanita kafir penyembah berhala). Dan apabila telah terjadi pernikahan, Allah
memerintahkan untuk menceraikan mereka. ( At-Thabari, 2000, P. 329)
Pada ayat lain (S. Al Maidah ayat: 5) disebutkan
yang artinya
“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bkan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Kaitannya
dengan perkawinan beda agama di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia telah
mengeluarkan fatwa nomor 4/MUNAS VII/MUI/2005 tanggal 28 Juli 2005 dalam
Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta
memutuskan dan menetapkan bahwa:
1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah;
2) Perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah
3. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif di Indonesia
Di
Indonesia, perkawinan secara normatif telah diatur dalam UU RI No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi
Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam. namun demikian, di dalamnya tidak mengatur
tentang perkawinan beda agama. Undang-Undang Pekawinan hanya mengatur
tentang perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran. Pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai
berikut: “perkawinan sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan”
Rumusan pasal tersebut mempertegas
bahwa perkawinan hanya dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan tidak
ada perkawinan diluar agama dan kepecayaan masing-masing. Pada pasal 4 Instruksi Presiden
(Inpres) No.1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dipertegas pada Pasal 40 ayat (c) bahwa “Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam keadaan tertentu:
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Dan pada Pasal 44 disebutkan:”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”, dan pada Pasal 61 disebutkan bahwa : "Tidak sekufu
tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien".
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka pada tataran hukum
normatif di Indonesia, tidak mengenal perkawinan beda agama. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan sesuai
dengan agama dan kepecayaan masing-masing.
Hal itu berarti bahwa ketika perkawinan beda agama dilangsungkan berarti
perkawinannya tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan yang
berkalu. Pernikahan
pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan
pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor
Catatan Sipil (KCS) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani
pencatatan pernikahan.
II. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku, aturan-aturan dan pendapat yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang diteliti. (Ranny Kautan, 2000, hal 38) Sifat penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.(Soerjono Soekanto, 1985: 15).
III.
Pembahasan
A.
Sebab Terjadinya Perkawinan Beda Agama.
lndonesia adalah
Negara plural yang terbangun dari keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Salah
satu sisi pluralisme bangsa Indonesia yang paling mendasar adalah adanya
kemajemukan agama yang dianut oleh penduduknya. Agama maupun aliran kepercayaan
yang hidup dan berkembang di Indonesia tidaklah tunggal namun beragam. Masyarakat Indonesia memeluk dan menghayati beragama agama
dan kepercayaaan. Ada enam agama besar
di Indonesia, yaitu: Islam,
Protestan, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Konghucu. (https://www.detik.com, Tentang Pluralisme
dan contohnya di Indonesia). Jaminan eksistensi agama dan kepercayaan
telah diatur Negara dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Beragamnya
agama dan aliran kepercayaan di Indonesia dapat menimbulkan implikasi
terjadinya perkawinan antar pemeluk agama dan aliran kepercayaan. Perkawinan
beda agama memang bukan merupakan hal yang baru dan telah berlangsung sejak
lama bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Meskipun demikian, tidak
berarti bahwa kasus perkawinan beda agama tidak menimbulkan permasalahan,
bahkan cenderung selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Berdasarkan
data yang dihimpun oleh Indonesian
Conference On Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 hingga awal Maret 2022 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia. (https://populis.id/read13644/jangan-kaget-ini-jumlah-pasangan-nikah-beda-agama-di-indonesia.
Perkawinan beda agama
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama
maupun Negara menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat
dan tata cara pelaksanaan sesuai hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan yang Maha Esa.( Rusli dan R.
Tama, 2000, P. 16)
Indonesia belum memiliki payung hukum yang eksplisit mengatur persoalan perkawinan beda agama yang sangat kompleks. Sehingga selama ini pasangan perkawinan beda agama harus berjuang lebih, baik melalui upaya legal maupun ilegal agar perkawinannya mendapat legalitas di Indonesia. Kaitan itu, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) nomor 2 tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Berbeda Agama Dan Kepercayaan yang memberikan petunjuk dalam dua hal, yaitu:
1. Perkawinan yang sah
2. Pengadilan
Sema tersebut tidak lagi memberikan peluang bagi Pengadilan untuk pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan dengan berpatokan pada ketentruan pasal pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu “perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan".
Pasca
lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ada peluang untuk mencatatkan perkawinan beda agama, yakni ada opsi dengan mengajukan perkara permohonan perkawinan beda agama ke
Pengadilan Negeri. Apabila dikabulkan dalam bentuk penetapan
yang memberi izin perkawinan beda agama dan memerintahkan pegawai kantor
Catatan Sipil untuk mencatakan Perkawinan
Beda Agama tersebut kedalam Register Pencatatan Perkawinan.
Pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan:
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;
Kemudian Penjelasan Pasal 35 huruf a memjelaskan bahwa:
Yang dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Selanjutnya Pasal 36 mengatur bahwa :
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Penjelasan
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Adminstrasi Kependudukan jelas memberi peluang untuk perkawinan beda
agama meskipun telah diatur secara
tegas dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dianggap tidak sah. Hal itu disebabkan ketentuan penjelasan
pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut
hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Pasal Pasal 35 huruf
a berikut penjelsan pasal Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, hadir dan menjadi sebuah konplik hukum
(pertentangan yuridis) yang pada gilirannya juga menimbulkan disparitas hukum
hakim dalam menangani perkara permohonan izin perkawinan beda agama.
B.
Pencatatan Kawin Beda Agama Dan Akibat Hukumnya
Seperti telah diuraikan terlebih dahulu
bahwa perkawinan yang sah adalah apabila perkwinan itu dilaksanakan menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Pada pasal 10 PP 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa “dengan
mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat nikah
dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Berdasarkan pasal tersebut, perkawinan
yang sah apabila dilakukan menurut
tatacara agamanya masing-masing, dan bagi yang beragama Islam pencatatan
perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah kantor urusan agama Kecamatan
setempat dan bagi selain beragama Islam, dilakukan pada Kantor Pencatatan
Sipil. Dengan demikian, keabsahan perkawinan dan pencatatannya merupakan
perintah Undang-Undang berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing yang
akan melaksanakan perkawinan.
Ketentuan pasal tersebut juga, menegaskan
adanya dua instansi yang melakukan pencatatan pernikahan, yakni Kantor Urusan
Agama dan Kantor pencatatan sipil.
Ketentuan pasal tersebut tidak mengakomodir pencatatan nikah bagi mereka
yang berbeda agama. Pada tahun1989
melalui Jurisprudensi Mahkmah Agung nomor 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari
1989, dalam pertimbangan hukum dinyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan hukum
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatus secara tegas terkait dengan
perkawinan beda agama, maka sebagai solusi hukumnya permohonannya dapat
diterima pada kantor catatan sipil sebagai instansi yang berwenang untuk
membantu terlaksananya perkawinan calon suami istri yang berbeda agama.
Apabila dinalisis pendapat tersebut di
atas, maka penulis berpendapat perkawinan beda agama kusususnya Islam dan non
Islan yang dilakukan di Kantor Pencatatan sipil dipahami bahwa tatacara yang
dilakukan tidak sebagaimana menikah pada pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. Kalau demikian, maka salah satu dari calon
suami atau istri yang beragama Islam menunndukkan diri pada agama calon
pasangan.
Implikasi dari penundukkan diri pada
agama salah satu pasangan, maka akibat perkawinan juga tunduk pada aturan agama
yang dianut calon pasangannya yang non Islam.
Akibat hukumnya adalah meski salah satu pasangan adalah Islam, namun
karena perkawinan dicatat oleh Kantor Pencatataan Sipil, maka hal itu berarti
perkawinannya dilakukan menurut tatacara diluar agama Islam, karena tatacara
perkawinan menurut Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama dan akibat hukumnya
pun tunduk pada ahak dan kewajiban sebagaimana hukum yang mengatur
perkawinannya.
C.
Solusi
Perkawinan beda agama dalam dalam hukum
Islam dilarang, meski demikian kenyataan yang terjadi masyarakat masih terjadi
perkawinan beda agama yang dilakukan baik oleh laki-laki Islam maupun perempuan
Islam. Bagi laki-laki Islam maupun
perempuan Islam yang telah melakukan perkawinan beda agama, berarti telah
meninggalkan salah satu bagian dari ajaran agama yang dianutnya.
Perkawinan beda agama dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentan Perkawinan tidak diatur secara jelas, namun pelaku
kawin beda agama di Indonesia masih tetap ada.
Meskipun telah ada putusan Mahkamah Agung 1400 K/Pdt/1986 sebagai
Yurisprudensi yang mengakomodir perkawinan beda agama dengan dapat meminta
Penetapan Pengadilan, lalu kemudian mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan
Sipil, bukan mengesahkan.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 35 huruf a memberi ruang yang
semakin luas untuk mengizinkan
adanya pencatatan perkawinan beda agama, namum kehadiran aturan tersebut
memberi ruang terjadinya konplik hukum dengan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan dan
INPRES Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Oleh sebab itu, sudah sangat
perlu untuk melakukan perubahan kedua tentang Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinanyang
mengatur secara tegas larangan perkawinan beda agama. Kalaupun masih ada warga negara Indonesia
yang melakukan perkawinan beda agama maka perlu juga di atur pasal tambahan
yang memuat aturan tersebut, yakni meskipun perkawinan beda agama dilarang,
namun apabila ada pihak yang akan melangsungkan perkawinan beda agama, maka
akan tunduk pada salah satu agama pasangan calon dan menyatakan diri
meninggalkan bagian dari ajaran agamanya yang mengatur tatacara perkawinan yang
sah menurrut agamanya dan kepercayaannya.
IV. KESIMPULAN
1.
Perkawinan beda agama tidak dibenarkan baik
menurut hukum Islam maupun menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia. perkawinan
dapat dikategorikan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melangsungkan perkawinan
tersebut. Dengan demikian, penentuan boleh tidaknya perkawinan
tergantung pada ketentuan agama, karena landasan hukum agama dalam melaksanakan
perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974. Apabila hukum agama menyatakan suatu perkawinan tidak sah, begitu pula
menurut hukum negara perkawinan tersebut juga tidak sah.
2.
Pencatatan perkawinan beda agama pada kantor Catatan Sipil dipahami bahwa tatacara
yang dilakukan tidak sebagaimana menikah pada pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan. Seingga, salah satu dari
calon suami atau istri yang beragama Islam menunndukkan diri pada agama calon
pasangan. Implikasi dari penundukkan diri pada agama salah satu pasangan, maka
akibat perkawinan juga tunduk pada aturan agama yang dianut calon pasangannya
yang non Islam. Akibat hukumnya adalah
meski salah satu pasangan adalah Islam, namun karena perkawinan dicatat oleh
Kantor Pencatataan Sipil, maka hal itu berarti perkawinannya dilakukan menurut
tatacara diluar agama Islam, karena tatacara perkawinan menurut Islam dilakukan
di Kantor Urusan Agama dan akibat hukumnya pun tunduk pada hak dan kewajiban
sebagaimana hukum yang mengatur perkawinannya.
Daftar Pustaka
at-Thabari,
Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil
Al-Quran, t.tp: Muassah Ar-Risalah, 2000.
Damis, Harijah, 2009, Meredam prahara melawan Perceraian, Cet. I; Jakarta: MT. Al-Itqon.
Damis, Harijah, 2016, Munuju
Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah, Menyikapi Tingginya Angka Perceraian di
Indonesia Cet. I; Jakarta: MT.
Al-Itqon.
https://www.detik.com,
Tentang Pluralisme dan contohnya di Indonesia.
https://populis.id/read13644/jangan-kaget-ini-jumlah-pasangan-nikah-beda-agama-di-indonesia
Kautan, Ranny, 2000, Metoden Penelitian Untuk Penulisan Skripsi Dan Tesis, Bandung: Taruna Grafika.
Rusli dan
R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan
Masalahnya, Bandung, Penerbit Pionir Jaya, 2000, hlm.16
Komentar
Posting Komentar